Hujan pertama di tahun ini, mengingatkanku pada perjumpaan pertama kita. Sore itu, ketika hujan sedang menyisakan rintiknya, kau datang dengan sepedamu mengetuk pintu rumahku. Rupanya, surat sakit kawanmu yang sekelas denganku menjadi alasanmu kala itu untuk bertandang.
Setelahnya, tak pernah kulihat sosokmu lagi.
Hingga hujan di bulan selanjutnya.
Aku yang sedang berdiri di depan sekolah menunggu angkot untuk pulang, tak juga bisa menghentikan mobil yang penuh sesak itu. Lalu seperti hujan, kau datang tiba-tiba di hadapanku.
“Mau ikut?” katamu singkat.
Bagai dihipnotis, aku mengangguk. Detik selanjutnya, kututup payungku, lalu duduk di sepedamu, menembus hujan.
Hari-hari selanjutnya kita lalui bersama. Menatap senja, menari di tengah hujan, menikmati bau tanah sesudah hujan, sampai berburu ujung pelangi. Kadang, kita hanya duduk diam, menikmati secangkir kopi dan sebuah buku, sambil mendengar alunan gerimis di luar jendela. Persis seperti yang kulakukan saat ini.
Entah berapa musim hujan yang sudah kita lalui bersama.
Hujan terakhir yang kuingat adalah kita berpayung berdua di depan pagar rumahku.
Dan kau berkata, mungkin saja itu hujan terakhir yang bisa kita rasakan bersama. Kau harus mengejar citamu, dan aku harus mengejar citaku juga, di sini, di negeri ini.
Kau memelukku erat. Dan aku bergeming. Air mata tiba-tiba meluncur tak bisa dibendung. Kuturunkan payungku, hingga hujan membasahi kita berdua. Biar saja, biar tetesan air hujan menyembunyikan tetesan air mata ini.