Mohon tunggu...
Resti Sari
Resti Sari Mohon Tunggu... Perawat - tie

Penulis amatir, pengkhayal profesional

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dua Tahun Laporan Penistaan Agama Megawati, Polisi Masih Belum Bernyali

30 Desember 2018   22:04 Diperbarui: 30 Desember 2018   22:12 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penistaan demi penistaan terhadap agama dipertontonkan di depan keseharian kita dengan arogansi luar biasa. Para pelakunya berseliweran sambil mencibir nurani publik yang terluka.

Mereka merasa aman berlindung di balik kekuasaan, sementara hukum mulai kehilangan sensivitasnya. Mereka merasa aman, bahkan kuat, menyuruk di belakang kekuasaan yang cenderung bersekongkol.

Sudah dua tahun berselang sejak Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dilaporkan ke polisi atas dugaan penistaan agama yang dilakukannya saat berpidato pada hari ulang tahun PDI Perjuangan, Selasa (10/1/2017).

Sayang, hingga kini Korps Bhayangkara tak juga bernyali mengusut pimpinan partai politik penguasa itu. Inikah yang mereka gembar-gemborkan sebagai hukum yang berkeadilan? Hukum yang tumpul kepada penguasa, meski ia telah melukai hati mayoritas rakyat Indonesia dengan ucapan penghinaannya?

Kita mungkin masih ingat, pidato Megawati saat hari ulang tahun PDIP Januari 2017 lalu. Kala itu ia menyebut ada pemimpin kelompok yang menganut ideologi tertutup, memosisikan diri mereka sebagai pembawa self-fulfilling prophecy, para peramal masa depan.

"Mereka dengan fasih meramalkan yang pasti akan terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, padahal, notabene mereka sendiri belum tentu melihatnya." Begitu katanya.

Banyak yang menduga apa yang dimaksud Megawati itu adalah ajaran rukun imam yang diyakini umat Islam, yakni percaya terhadap hari akhir. Kata-kata itu dinilai telah menyakiti perasaan umat Islam, sehingga sejumlah orang melaporkan Megawati ke polisi dan mendesak kasus ini diusut.

Salah satunya adalah Baharuzaman, humas LSM Aliansi Anak Bangsa Gerakan Anti-Penodaan Agama. Laporan Baharuzaman diterima Bareskrim Polri dengan nomor polisi: LP/79/I/2017/Bareskrim pada Senin (23/1/2017). Dalam laporan itu, Megawati diduga telah melanggar pasal 156 dan 156 (a) KUHP tentang penodaan agama.

Pada hari yang sama, sejumlah orang di Padang, Sumatera Barat, yang tergabung dalam Forum Masyarakat Minang (FMM), mendesak polisi segara menangkap Megawati. Pasalnya, pidato putri proklamator itu berpotensi menimbulkan perpecahan di masyarakat.

Meski dia merupakan pemimpin partai berkuasa, tetapi FMM meminta polisi harus berani memproses. Menurut mereka, rakyat tidak butuh pemimpin seperti itu, yang suka menimbulkan perpecahan dan membenturkan umat Islam dengan kelompok atau partai politik tertentu.

Namun apa dikata, namanya juga sedang berkuasa, polisi pun tidak berani mengusiknya. Megawati melenggang bebas dari konsekuensi ucapannya yang telah melukai hati sebagian besar rakyat Indonesia. Memang hal ini sudah bisa diduga sejak awal.

Di rezim ini, pedang hukum suka tebang pilih. Aparat hanya sigap terhadap lawan politik penguasa, sementara bagi orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan, mereka bak warga negara istimewa. Kasta mereka terlalu tinggi untuk bisa digapai oleh tangan hukum yang tak lagi berwibawa.

Padahal dulu Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian telah memastikan pihaknya bakal memproses laporan tersebut. Penyidik akan melakukan penyelidikan untuk menemukan dugaan tindak pidana dari pidato Megawati.

"Kalau ada pidana dilanjutkan menjadi penyidikan. Penyidikan untuk menemukan tersangka dan mengajukan ke kejaksaan," ujar Tito kala itu.

Tetapi setelah dua tahun lamanya, penyelidikan itu tak jelas ujung pangkalnya. Entah dikerjakan entah tidak, yang pasti tak ada lagi kelanjutannya.

Kondisi itu membuat 25 orang ulama dari Madura melaporkan kembali Megawati ke Polda Jawa Timur. Diwakili oleh Mohammad Ali Salim, para tokoh agama itu membuat laporan terkait pidato yang diduga menodai agama itu.

Laporan tersebut diterima dan ditandangani oleh Kepala Siaga A SPKT Polda Jawa Timur Komisaris Polisi Daniel Hutagalung dan diberikan nomor TBL/1447/XI/2017/UM/JATIM pada Rabu (8/11/2017).

Dalam laporan itu, Megawati disebut telah melanggar pasal 156 KUHP tentang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Indonesia.

Kini kita hanya bisa berdoa dan berharap, agar penegak hukum kembali menemukan nyali sehingga berani memproses laporan itu. Polisi hendaknya mampu menunjukkan jika mereka bukan budak politik penguasa. Buktikan bahwa negeri ini memang menganut paham equality before the law. Perlihatkan kalau memang hukum di negeri ini masih berdaya dan berwibawa, bukan hanya sebagai kacung penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun