Hiruk-pikuk pencalonan presiden kian terdengar nyaring bergema di ruang publik. Hanya 21 hari tersisa jelang waktu pendaftaran, membuat para politisi makin kasak-kusuk mencari dukungan guna menaikkan "NJOP" politiknya masing-masing. Tentu saja dengan harapan, ia bisa dilirik dan dijadikan pendamping oleh kandidat yang sudah hampir pasti maju dalam pemilihan.
Para pemimpin partai politik juga sedang berhitung cermat dalam memilih kandidat yang dirasa tepat. Sementara, kita sebagai rakyat biasa, menunggu dengan seksama, siapakah calon-calon yang nanti akan memimpin bangsa besar ini. Namun, tentu saja, kita berharap Indonesia akan dipimpin oleh tokoh yang arif bijaksana, yang bisa membuat negeri ini kembali menjadi terhormat di kancah internasional.
Sejak dulu, bangsa ini telah melahirkan banyak pemimpin besar yang membuat negara ini menjadi disegani. Soekarno, Soeharto, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah contoh nyata. Tiga presiden dari zaman berbeda, yang tidak hanya dianggap berjasa bagi rakyatnya, tetapi juga membuat Indonesia memiliki nama yang harum di pentas dunia.
Bahkan, nama terakhir, hingga kini masih menjadi satu dari sedikit figur yang paling dihormati, terutama di dalam pergaulan pemimpin Dunia Islam. Meski sudah pensiun selama empat tahun, SBY masih dianggap tokoh penting dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) atau yang sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan Organisasi Konferensi Islam.
Pada organisasi yang beranggotakan 57 negara, dan mempunyai perwakilan tetap di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini, SBY didapuk sebagai satu dari tiga wise person council. Bersama dua tokoh besar lainnya, mantan Presiden Turki Abdullah Gul dan mantan Presiden Nigeria Abdusalam Abubakar, SBY berperan memberi pandangan dan nasihat kepada OKI tentang mengelola Islam sedunia.
Bukan tanpa alasan SBY dinobatkan pada posisi yang sedemikian terhomat. Itu semua karena Dunia Islam menyadari, betapa besar jasa Presiden RI ke-6 itu, terutama dalam upaya mengatasi konflik Timur Tengah, seperti di Suriah dan Palestina, serta kejahatan kemanusiaan dan pembunuhan terhadap etnis Rohingya di Myanmar.
Jika menilik ke belakang, SBY termasuk pemimpin negara yang paling getol menyuarakan kemerdekaan bagi bangsa Palestina. Di beberapa forum internasional, ia kerap mendorong resolusi damai bagi kedua negara yang tengah berkonflik.
Seperti di forum pertemuan puncak US-ASEAN Summit tahun 2012 di Phnom Penh, Kamboja, SBY secara terang dan gamblang mendesak adanya gencatan senjata dan meminta negara-negara tertentu menghentikan kekerasan dan kekejaman tentara terhadap rakyat sipil.
SBY berpendapat, solusi paling realistis terhadap konflik yang terjadi adalah pendirian dua negara. Ia terus menyerukan agar Dewan Keamanan (DK) PBB segera mengambil langkah konkret untuk meredakan ketegangan di Gaza. Berdasarkan Piagam (Charter), DK PBB diharapkan mampu menyelesaikan konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina.
Begitu juga dengan konflik Rohingya. SBY cukup aktif mendorong terwujudnya perdamaian dan tegaknya demokrasi di Myanmar. Baik itu melalui kebijakan dalam negeri maupun upaya diplomasi luar negeri. Di dalam negeri, SBY sangat mendukung aksi-aksi penyaluran bantuan yang dilakukan sejumlah lembaga kemanusiaan, seperti PMI, ACT, Dompet Dhuafa, Pemuda Muhammadiyah dan lainnya.
Sedangkan dalam diplomasi luar negeri, SBY berkomukasi dan melakukan kunjungan, serta mengutus Jusuf Kalla sebagai special envoy (utusan khusus) guna menyelesaikan konflik kemanusiaan tersebut. Terhadap pemimpin Myanmar, SBY melakukan pendekatan ekonomi (investasi di bidang perdagangan, pendidikan, dan kesehatan) dan demokratisasi (diplomasi melalui pertemuan ASEAN).