Bab 5.
POV. Mamah Qila
"Agha, apa kurangnya Hana dimatamu, hah?" Aku sangat geram terhadap kelakuan anak lelaki ku itu.Â
Dia memperlakukan Hana semena-sema. Pergi pagi, pulang larut malam dalam keadaan ma*uk berat. Jika aku yang menjadi Hana, aku tak akan membukakan puntu untuknya. Biarkan saja Agha tidur diluar, biar kedinginan dan kulitnya panas, karena gigitan nyamuk.Â
"Sabar Bu, istighfar." Mba Ani, asisten rumah tanggaku mengingatkanku untuk tidak mara-marah.Â
"Apa yang harus saya lakukan, untuk menyadarkan Agha, Mba?" Aku merasa putus asa dalam mengurus Agha. Setelah bercerai dengan papahnya Agha, aku memutuskan untuk tidak menikah lagi, fokus ke Agha dan butikku.Â
Namun, ternyata waktuku habis untuk butikku, hingga aku tidak pernah memperhatikan pertemanan, pergaulan, dan segalanya tentang Agha, yang saat itu kelas 2 SMA. Hingga Agha terjerumus dalam pergaulan bebas, saat itulah aku sadar, jika aku sudah terlalu jauh mengabaikan Agha.Â
Mulai sejak itu, aku kembali mendekatkan diri dengan Agha. Mulai kembali peduli padanya. Tapi terlambat, Agha sudah melangkah terlalu jauh. Tinggalah penyesalan yang tersisa di dalam diri ini.
Maka dari itu, aku tidak pernah menyalahkannya seratus persen, ketika aku tau Agha menjadi seorang pecandu al***ol. Segala cara telah aku lakukan. Aku masukan Agha ketempat rehab, ke kyai, dan lain sebagainya, tak ada yang berhasil. Agha tetap menjadi pencandu al***ol, ya walaupun dia tetap bisa bekerja dengan baik dan tidak pernah membuat onar.Â
Pada akhirnya, aku memintanya untuk menikah dengan Hana, anak sahabatku. Dia gadis yang baik, sopan santun, lemah lembut, dan pekerja keras. Aku yakin Hana bisa merubah Agha menjadi lebih baik. Sekaligus menjadi penebus janjiku pada almarhum kakeknya Hana.Â
Dulu, saat aku belum sesukses sekarang, almarhum kakeknya Hana lah yang memberiku modal. Dengan perjanjian aku akan menikahkan anakku dengan cucunya.Â