Mohon tunggu...
Resta
Resta Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Perempuan yang suka membaca dan menulis. Mewujudkan mimpi lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akan Aku Buktikan, Bahwa Aku bisa!

23 Juni 2024   09:58 Diperbarui: 23 Juni 2024   10:03 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu nggak masuk 3 besar ya, Rin?"

Pertanyaan itu sontak membuat Arin menundukkan kepala, terdiam memandangi angka-angka yang ada di buku raportnya. 

"Padahal cuma selisih 10 angka sama Nia, tapi kamu nggak masuk 10 besar," ucap ibu dari sahabatnya, membuat Arini hanya bisa diam. 

"Iya tuh Mah, aku kan emang lebih pintar dari Arin," timpal Nia, sahabat Arin. 

Anak perempuan yang mengenakan seragam merah putih itu semakin tertunduk dalam. Hatinya perih mendengar dirinya terus dibanding-bandingkan. 

"Aku akan buktikan kalau aku juga bisa masuk 3 besar. Bahkan mengalahkan Nia," batin Arin. Dia bertekad akan lebih giat belajar. 

Hari ini adalah hari pembagian rapor bagi murid kelas satu sekolah dasar. Para orang tua yang sudah mengetahui hasil nilai dan peringkat anaknya, saling bertanya untuk membanggakan prestasi anak mereka. Para siswa berprestasi pun terlihat sangat senang saat orang tuanya membanggakan namanya di hadapan wali murid lain. 

Sungguh berbeda dengan Arin. Tak ada orang tua yang datang ke sekolah untuk mengambilkan raportnya. Anak perempuan kelas satu sekolah dasar itu mengambil sendiri buku rapornya. Bukan tidak mau orang tuanya datang. Namun, Arin adalah anak yatim piatu. Ia hanya hidup dengan sang nenek yang sudah tua renta dan sang adik yang masih berumur 3 tahun. 

"Arin, ayo pulang!" 

Tepukan di bahu kanannya membuat Arin tersadar dari lamunan. Ia mengangguk, lalu mengambil tas berwarna pink yang diletakkan begitu saja di dekat tiang. 

"Nanti jam dua, kita main, ya?" ajak Nia, yang langsung mendapat penolakan dari Arin. Bukan Arin tidak mau bermain, hanya saja ada kewajiban yang tidak bisa ia tinggalkan. 

"Ya sudah kalau gitu, aku main sama Nanda aja," timpal Nia pada akhirnya. Arin tidak peduli, baginya, yang paling penting adalah membantu sang nenek mencari kayu bakar dan menjaga adiknya. 

Kaki mereka terus melangkah meninggalkan sekolah, hingga kini mereka telah sampai di gubug bambu yang ada di ujung jalan. 

"Aku duluan, Ni," ucap Arin sambil melangkah mendekati gubug itu. Nia mengangguk, kemudian berlalu menuju sang ibu yang sudah menunggu di atas motor. Ia naik ke atas motor. Mereka pun pergi. 

Langkah Arin terhenti, matanya menatap gubug bambu yang sudah reot dan terdapat banyak lubang yang bisa dilalui kucing. Atapnya yang terbuat dari genteng juga sudah berlubang di mana-mana, sehingga setiap hujan datang, Arin, adiknya, dan sang nenek akan tidur berhimpitan dengan ember penadah air hujan. 

"Nia!" panggil Arin. Tak mendapat jawaban, Arin mendekati Nia yang sedang berkumpul bersama teman-temannya. 

"Ngapain kamu ke sini, sih Rin? Udah sana, kamu main aja sama Bila!! Kan rumah kalian sama-sama gubug reot, tuh," ujar Nia, membuat tawa teman-temanya pecah. 

Arin terdiam, hatinya perih mendapat ucapan pedas dari sahabatnya. Dia tak menyangka teman yang selama ini sudah dianggap keluarga, bisa mengucapkan kata-kata sepedas itu. 

"Udah lemot, miskin lagi," lanjut Nia. Arin memang sedikit lemot dalam memahami pelajaran, daripada Nia. 

Arin semakin tertunduk dalam. Matanya mulai memanas, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke tempat duduknya. 

"Mba Arin," panggilan dari sang adik, membuat Arin tersadar dari lamunan masa lalu. 

Yap, benar. Itu adalah kali pertama, Arin mendengar hinaan serta cacian yang dilontarkan oleh sahabatnya. Setelah hari itu, Arin sudah kebal mendengar kata-kata yang sama, yang diucapkan oleh teman-teman lainnya. 

"Kalian boleh menghinaku, tapi aku tidak akan membiarkan kalian menghina keluargaku. Aku akan buktikan, jika aku bisa sukses!!" Tekad Arin dalam hati. Ia beranjak dari tempatnya, melangkah mendakati sang adik, lalu masuk ke gubug reot. 

Sampai di ruangan yang hanya bersekatkan kain kelambu, Arin langsung mengganti seragamnya dengan kaos sehari-hari. Dengan bekal pisau dan golok, bocah berumur 7 tahun itu berangkat ke pekarangan kosong yang ada di belakang rumahnya untuk mencari kayu bakar, daun temu, dan daun pisang klutuk untuk dijual. 

****

Rembulan bersinar terang ditemani sang bintang. Binatang malam juga turut meramaikan malam. 

Di bawah temaramnya cahaya kuning dari lampu 5 watt, dengan semangat berkobar, Arin membaca kembali buku pelajarannya. Tak hanya itu, ia juga mengerjakan soal di buku paketnya. Rasa lelah setelah seharian mencari sumber penghidupan, tak membuatnya berleha-leha. Ia harus lebih giat belajar agar tidak ada kata hinaan, cacian, bullyan, dan demi masa depan dirinya, serta sang adik. Arin tak mau sampai sang adik merasakan sakitnya dihina dan dicaci. Cukup dirinya saja. 

****

Para murid SDN 1 Kapuk, sedang berkumpul di lapangan sekolah, menunggu pengumuman siapa saja yang masuk 3 besar dari kelas masing-masing. 

"Juara 3, kelas 6C, ananda Tia Rahmawati," ucap Pak Kepala sekolah mengumumkan siswa berprestasi dari kelas 6. Siswa yang dipanggil pun maju ke depan. Berbaris rapi menunggu pemberian hadiah dari para guru. 

"Ya Allah, semoga Arin masuk 3 besar," batin Arin berdo'a. 

Acara pengumuman siswa berprestasi terus berjalan, hingga sampai di kelas 2. Debaran jantung Arin semakin bertambah kencang, saat Pak Kepala Sekolah mulai menyebutkan nama-nama siswa berprestasi dari kelasnya. 

"Juara 2, kelas 2C, ananda Dwi Sisti Arini," ucap Pak Kepala. 

Arin terdiam. Kehilangan kata-kata. Benarkah ia juara 2? 

"Arin, itu dipanggil, kamu juara 2, sana maju!!" bisik teman yang berdiri di samping Arin. 

"Ini beneran, aku juara 2?" tanya Arin yang masih belum percaya. 

"Iya, udah sana, maju!!" 

Karena Arin tak kunjung maju, Pak Kepala Sekolah pun kembali memanggil nama Arin sebagai siswa berprestasi dari kelas 2C. 

"Bismillah," gumam Arin sembari melangkah menuju barisan siswa berprestasi lainnya. 

Acara pengumuman siswa berprestasi dan pembagian hadiah dari para guru telah usai. Kini, Arin dengan mendekap hadiah dari guru, berjalan pulang, bersama Nia yang nampak menekuk wajah. Nia kesal, karena Arin berhasil mengalahkannya, selain itu, juga karena ia tak masuk ke jajaran 3 besar. 

Arin sungguh bahagia, usahanya belajar lebih giat telah membuahkan hasil. Ia telah berhasil membuktikan pada teman-temanya kalau anak yatim piatu dan miskin sepertinya juga bisa masuk ke jajaran siswa berprestasi. 

Sejak hari itu juga, tak ada lagi hinaan, cacian, serta bullyan yang Arin dapat. Bahkan, Arin mendapat banyak teman karena kepintarannya. Walaupun begitu, Arin tak pernah sombong ataupun menghina orang lain. Ia selalu menerima siapa saja yang ingin berteman dengannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun