“Duuk!!” terdengar suara benturan yang amat keras. Seketika,laki- laki itu sadar sendiri melihat darahnya mengalir. Tetapi ia tetap tak memperdulikannya. Telepon genggam di lemari kecil sudut kamar ia coba raih walau kepalanya sungguh terasa pusing. Terbata-bata tangannya mencari nama ‘Tasya’ di contactnya, mencari pilihan ‘create new message’, kemudian mulai mengetik sesuatu.
To : Tasya
Sya, kejadian ini terulang lagi. Tolong aku..
Jarinya menekan tombol send dan muncul laporan pengiriman. Tak lama ia menunggu, satu pesan baru masuk. Ia langsung membukanya.
From : Tasya
Maaf.
Hati Irfan semakin sakit membacanya. Ia menggerutu dalam hati.
Kenapa Tasya begitu? Apa dia pura-pura buta?! Padahal ia tahu aku sedang dalam masalah. Udah berkali-kali aku mengatakan hal ini kepadanya, tapi apa?? Gak pernah dia ada di sampingku! Gak pernah dia coba mendatangi aku! Apa dia tahu aku disini tersakiti? Apa dia tahu aku disini menangis? Apa dia tahu aku sangat membutuhkan sebuah perhatian? Sedangkan dia? Cuma bisa bilang maaf,maaf,dan maaf! Aku gak ngerti maksud jalan pikirannya yang bodoh itu! Aaaarggh, Tasya!!!
Dibantingnya hp berseries C7 itu keatas tempat tidur. Dengan menahan rasa perih, cowok berkaos hijau tersebut membongkar lemarinya, mengambil setumpuk pakaian, dan memasukkan semuanya ke dalam tas. Kunci motor diambilnya dan bergegas melarikan diri dari rumah.
“Gak ada yang peduli lagi dengan aku!” batinnya teriak mengakhiri langkahnya meninggalkan rumah.
Di sebuah pondok reot, di tengah-tengah perkebunan teh milik Sang Papa, Puncak tepatnya, Irfan kembali menyendiri. Tatapannyakosong tiada makna. Kali ini Irfan benar-benar merasakan sakit dan kesepian yang mendalam. Lebih dari sakit di dahinya dan bibirnya yang robek. Pemandangan sore itu pun seakan ikut mengerti keadaannya. Sosok papa yang selama ini ia banggakan, kembali menyiksanya tanpa sebab. Tadi yang kesekian kalinya Irfan mendapatkan perlakuan seperti itu. Entah apa yang membuat papa menjadi seseorang yang amat kasar. Yang Irfan tahu,papa akhir ini sedang dalam masalah berat. Papanya mengalami kerugian miliaran karena perkebunannya terserang hama penyakit besar-besaran. Namun, bagaimanapun , ia tetap tidak bisa menerima perlakuan papanya. Begitu juga dengan perasaannya terhadap Tasya. Di saat ia sangat membutuhkan ketenangan dari seorang sahabat, cewek berbau Sunda tersebut tak mampu menolongnya. Perempuan itu hanya semakin menambah beban pikiran Irfan dengan kata-kata mutiaranya, ‘maaf’.
Tetapi, tak bisa dia elakkan tangannya untuk membuka satu folder di handphonenya. Tertulis indah berjudul ‘Pesan Peri Imut’.
Fan , ini aku punya puisi bagus lhoo..
Tapi, jangan kamu kira aku nyeplak punya orang.
Aku sendiri yang membuatnya!
Ni khusus buat kamu, dibaca yaa..
Ketika kamu menjajaki seisi dunia dengan kakimu,
Kamu akan merasa lelah karena tiada topangan bagimu
Ketika kamu mengarungi seluruh lautan dengan nafasmu
Kamu akan memerlukan udara lebih banyak dari yang kamu kira
Ketika kamu harus terbang menuju awan
Namun sayapmu rapuh dan terluka
Kamu akan mencari seseorang yang dapat memulihkan sayapmu
Dan kamu tahu?
Kurasa kumampu
Karena aku ada di dekatmu
Hari ini, esok dan selamanya..
Bandung, 20 November 2006
Sahabatmu, Tasya..
“Tiss..” air matanya jatuh membasahi pipinya yang memar. Ditundukkan kepalanya sejenak. Teringat di benaknya sosok Tasya yang dahulu. Senyum manisnya, sikap manjanya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan cewek itu masih sangat jelas terekam dalam dirinya. Pernah waktu itu, saat Irfan sedang sakit , Tasya yang menemaninya selama satu minggu. Bahkan ia sampai rela-relain gak kuliah hanya demi kesembuhan Irfan. Bukan hanya itu, Tasya selalu saja bisa membuatnya tertawa. Entah mungkin karena kebiasaan bodohnya yang tak pernah hilang sejak kecil. Si gadis itu sangat suka menghitung tahi lalat yang ada di wajahnya. Dia pikir setiap harinya akan terus bertambah. Memang Sang Peri imut itu tidak akan terganti dalam hidup Irfan.
Namun, sekarang, hatinya tak cukup lagi tuk berharap bahwa dia kan kembali mengulang kepingan indah masa lalu tersebut. Hanya masa lalu. Rambut hitamnya ia jambak sekuat tenaga. Sebuah gelang kayu rangkaian Tasya yang selama ini dia kenakan pun dilepas dan dilemparnya sejauh mungkin. Ia tak peduli. Lalu, dengan segera ia tinggalkan tempat itu dan bergegas pergi.
Malam harinya, setelah selesai menunaikan solat Magrib di suatu mesjid, Irfan mulai kebingungan harus tinggal dimana. Berkali-kali sudah ia hubungi semua teman-temannya, tapi tak ada yang mau menerimanya. Cuaca malam itu pun membuatnya susah untuk bergerak. Hujan sungguh deras dan petir-putir tak kunjung berhenti bersahut-sahutan. Dalam keputus-asaannya, Sepintas dalam otaknya, teringat akan nama Tasya.
“Hhh..andai saja ada Tasya, pasti semua gak bakal kayak gini,” ucap bibirnya tanpa sadar.
“ Argh! Ngomong apa aku barusan?! Untuk apa aku memikirkan anak itu?!” keluh dirinya sendiri dan menepuk-nepuk mulutnya.
Tiba-tiba, handphone bernuansa black di dalam kantung celananya berbunyi. Dilihat ke layar handphonenya siapa gerangan yang menelepon. Ternyata, Taufik, teman sekampusnya yang paling ‘up to date’ kalau masalah informasi. Hanya saja,Irfan merasa sedikit terkejut. Tumben-tumbenan anak seperti Taufik menghubunginya.
“Ya, ada apa fik ? Loe mau nyari informasi? Salah tempat. Gue bukan tempat service information dan gue gak ada waktu buat loe,” jawab Irfan malas tanpa basa-basi.
“Loe ngomong apa sih? Siapa juga yang mau jadiin loe service information. Kali ini tuh, gue punya informasi penting!” balas Taufik penuh semangat.
“Hmm.. informasi apaan? Informasi tentang Pak Darso yang udah mau sekarat? Bagus la itu. Jadi gue gak perlu lagi datang ke kampus pagi-pagi cuma untuk ngikutin mata kuliah yang paling memusingkan, atau….. loe tau dimana kosan termurah???”
“Bukan! Bukan itu! Ini lebih penting! Ini menyangkut….”
Tut..tut..tut..Pembicaraan mereka terputus tiba-tiba.
“Sial, hpku low bat! Mana charger ketinggalan lagi!” kesalnya sambil meremas handphonenya tersebut. Ia coba tuk menghidupkan kembali, tetapi hasilnya tetap sama. Ia pasrah dan mencoba menunggu datangnya keajaiban. Namun, ia masih penasaran dengan apa yang ingin disampaikan Taufik. Batinnya mulai gelisah. Tak lama, hujan pun perlahan reda. Dengan secepat kilat ia berlari menuju motornya dan langsung tancap gas tanpa jelas arah tujuan.
Esoknya, tampaklah seorang pemuda yang tak asing lagi. Ia tertidur pulas di parkiran kampus. Tubuhnya lusuh dan banyak bintik-bintik merah di badannya akibat serangan nyamuk. Tak lain dan tak bukan ialah Irfan. Ternyata, semalam, sehabis dari mesjid laki-laki ini pergi ke kampus. Dia bermaksud menjumpai Taufik yang konon selalu ‘standby’ di perpustakaan sampai larut malam. Namun alhasil, belum sempat ia menaiki lantai dua dimana perpustakaan berada, ia bertemu dengan penjaga kampus yang mengatakan bahwa semua ruangan diatas telah dikunci. Lagi-lagi Irfan pasrah. Ia bingung mencari Taufik dimana. Lagipula, handphonenya tak menyala lagi.Semua hal itu lah yang membuat ia terpaksa tidur disitu.
“Hei, Fan! Irfaaaaaaaaaannnn!” teriak seseorang membangunkannya.
“Monyet loe!”
“Fan, ngapain loe tidur di sini? Gak sadar anak sekampus jadiin loe obyek rekreasi?!”
Irfan pun melihat keadaan sekeliling dengan mata yang masih menyisakan tahi. Sungguh kaget ia ketika didapatinya orang-orang pada menertawakannnya. Ia pun langsung mengambil siaga danberlari sekencang mungkin.
Nah, sampailah ia ke toilet kampus. Di sinilah dewi fortuna berpihak padanya.
“Eits, Bro, akhirnya jumpa juga! Ada apa tadi malam??” sapa Irfan sambil memegang erat lengan Taufik yang baru saja buang hajat.
“Loe ikut gue! Kita ke rumah sakit sekarang!” tegasnya sambil menarik tangan Irfan kuat. Tatkala itu, Irfan langsung naik spaning.
“heh, Loe pikir gue babu loe?! Loe kalo mau ke rumah sakit, loe pigi aja sendiri! Jadi ini maksud loe telpon gue tadi malam?? Cuma untuk nemenin loe ke rumah sakit?! Iya?! Loe kenapa sih buat susah gue aja?! Loe tau gak, tadi malam gue rela-relain nyariin loe , karena gue kira loe punya informasi penting bagi gue! Gara-gara loe gue tidur di parkiran dan ditertawai semua orang! Puas loe?! Mau gue hajar loe?!”
Taufik mencoba menenangkan Irfan. Ia paham bahwa Irfan pasti salah sangka.
“Fan, dengerin gue. Iya, gue memang punya informasi penting buat loe. Oke,oke, gue langsung aja bilang ama loe daripada loe berburuk sangka ma gue. Tasya masuk rumah sakit. Pagi ini juga ia bakal ngejalani operasi.”
Seketika keadaan menyepi. Hatinya mulai rapuh mendengarnya. Ada apa dengan Tasya?
“Kamu jangan tanya di sini. Gue bakal ngejelasin semuanya di jalan. Lebih baik kita ke rumah sakit sekarang!”
Tanpa pikir panjang, Taufik pun menarik tangan Irfan dan langsung menuju rumah sakit.
Di perjalanan, Taufik menceritakan semua apa yang sebenarnya terjadi pada Tasya.
“Begini, kemarin abis loe gak balas sms Tasya lagi, dia pergi ke rumah loe mau minta maaf karena sikap dia yang salah ke loe selama ini. Pas dia liat motor loe gak ada, dia langsung ke kampus nyariin loe. Tapi loe juga gak ada di kampus. Kebetulan waktu itu, dia jumpa ma gue di koridor kampus, gak tau kenapa, tuh anak minta gue anterin dia ke puncak. Dia tahu pasti loe di situ. Gue iyain aja habisan gue kasihan liat dia. Mukanya pucat banget. Pertama, gue nyuruh dia ngehubungin loe, tapi dianya bersih kukuh gak mau. Dia bilang, kalo dia telpon, loe pasti gak bakal angkat. Eh, ternyata, bener loe ada di puncak, di kebun teh bokap loe kan? Nah, yang parahnya, pas sampe sana, Tasya tuh ngeliat loe ngebuang gelang yang dikasihnya ma loe kan dan itu semakin membuat dia merasa bersalah!”
“Trus, kenapa Tasya bisa masuk rumah sakit?”
“Loe tau gak, semalaman dia cari tu gelang untuk bukti kalo dia mau minta maaf ma loe! Tasya gak mau loe membenci dia! Ia cari gelang tu di semua pelosok perkebunan papamu. Loe tau la, luasnya minta ampun! Dan loe pasti tahu, malam itu hujan lebat. Dia pingsan seketika karena dia gak sanggup lagi nahan sakit yang dideritanya.”
“Haa??? Sakit?? Tasya sakit??”
“Ya, Tasya mengidap gagal ginjal. Pagi ini juga, ginjalnya harus diangkat karena kondisi Tasya udah semakin parah.”
Mendengar hal itu, Irfan dilanda kebingungan yang amat dahsyat. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apa ia masih harus marah dengan Tasya? Kenapa selama ini Tasya harus berbohong? Batinnya terus bergejolak hingga tiba di rumah sakit. Sesampainya di sana, ia menanyakan pada resepsionis dimana Tasya dirawat. Namun sayang, Irfan hanya mendapati sebuah kamar kosong dengan sepucuk surat dan gelang yang amat ia kenal dia tas tempat tidur. Dia buka surat itu dengan perlahan dan hati kacau.
Untuk sahabatku, Irfan…
Aku yakin, hari ini kamu pasti menyusulku di sini
Aku yakin kamu masih mau datang untukku
Sama seperti kemarin
Akhirnya, aku berhasil kan ngedapetin gelang itu lagi?
Aku gak peduli walau aku sampai harus ngerelain ginjal aku
Aku cuma gak mau kamu membenci aku
Aku tau selama ini aku salah
Aku cuma bisa bilang maaf. Hehehehe..
Kemarin itu adalah kesalahan terbesar bagi aku
Hanya gara-gara aku putus asa dengan penyakitku ini, kamu jadi korbannya.
Sejujurnya, aku cuma takut gak bisa disampingmu lagi
Karena aku tau, aku bakal menjadi cewek yang lemah dan aku gak bisa ngebantu kamu lagi
Tapi aku rasa gak..
Karena kamulah aku kuat
Karena kamu lah aku berani
Dan karena kamu aku jadi cewek yang hebat
Aku janji, bakal ngebantu kamu meraih kebahagiaan kamu bersama papamu
Aku ada di dekatmu
Hari ini, esok , dan selama masih ada satu ginjal untukku..
Terima kasih Tuhan..
Dipeluknya surat ini erat-erat.
“Sya, aku sayang kamu…,” bisiknya lembut dengan tetesan air mata haru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H