Sore sekitar pukul 16.00 waktu Bangkok pesawat yang saya tumpangi mendarat di bandara Don Muang. Cuaca cerah dengan sinar matahari yang menyengat menyapa saya di hari pertama perjalanan ke Thailand. Ini adalah pertama kalinya saya ke Thailand. Berbekal informasi yang sudah saya kumpulkan sebelumnya saya pun siap berkelana.
Turun dari pesawat saya bermaksud menuju Chiang Mai menggunakan moda kereta api. Bergegas saya menuju stasiun kereta api Don Muang yang terletak diseberang Bandara Don Muang. Kita harus naik kelantai 2 bandara lalu keluar menuju jembatan penyeberangan. Awalnya saya agak bingung, seorang petugas bandara yang hendak pulang meminta saya untuk mengikutinya karena dia juga menuju arah yang sama. Sampai distasiun saya harus kecewa karena tiket sleeper yang saya inginkan sudah habis terjual. Yang tersisa hanya kelas ekonomi. Tidak terbayang betapa lelahnya 12 jam perjalanan dengan kelas ekonomi yang kursinya tegak, sebagaimana yang permah saya alami untuk jurusan Surabaya-Jogya. Akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan moda bis. Untuk itu saya harus kembali ke bandara, menggunakan bis kota A1 menuju stasiun bis Mochit.
Sesampai distasiun bis Mochit kejutan lain menyapa. Semua petunjuk dalam bahasa Thai yang keriting dan membuat saya blank. Ternyata begini rasanya menjadi seorang buta huruf. Bingung dan tidak mengerti mau apa. Petugas juga tidak bisa berbahasa Inggris. Apalagi wajah saya mirip orang Thai maka mereka terus bicara tanpa peduli jawaban saya ‘ sorry I can’t speak Thai’. Dalam kebingungan ada seorang sales tiket bis mendekat. Sepertinya dia bertanya kemana tujuan saya. Saya hanya sebutkan ‘Chiang Mai’ dia langsung mengarahkan kesalah satu counter. Thanks God, petugasnya bisa berbahasa Inggris. Awalnya saya menanyakan tiket ke Chiang Mai, entah kenapa kemudian saya bertanya apakah ada yang langsung ke Chiang Rai. Ternyata ada dan saya dipersilahkan memilih seat. Saya pilih didepan dibelakang sopir dekat jendela. Bis yang saya tumpangi adalah NCA dengan harga B 685 atau Rp.274,000.-
Pukul 20.30 tepat bis datang. Yang saya sukai dari bis di Thai ini adalah ketepatan waktunya. Toleransi keterlambatan hanya 10-15 menit untuk cek penumpang. Awalnya saya tidak berharap terlalu banyak karena penampilan bisnya biasa saja. Tapi ternyata fasilitas dan pelayanannya patut diacungi jempol. Dengan tarif sekian saya dapat selimut (acnya dingin sekali) ,makan malam 2x, aqua 1 botol, 1 kotak juice, tissue basah, roti isi untuk sarapan, televisi disetiap seat dan (ini yang sangat saya suka) reclining massage seat. Sepanjang perjalanan 12 jam tidak terasa melelahkan karena sistim massagenya saya jalankan terus. Pramugaranya seorang pemuda berumur sekitar 20 tahunan. Rapi dengan rambut jambul model masa kini. Sikapnya ramah dengan bahasa yang halus. Sopirnya juga rapi berseragam seperti pilot.Bagian dalam bis sangat bersih dan rapi. Bis melaju dengan kecepatan konstan. Tidak ada ngebut atau menyalip meski jalanan lengang. Saya jadi membandingkan dengan bis antar kota di Indonesia yang masih kalah jauh dari segi fasilitas dan pelayanan.
Pukul 6 pagi bis memasuki terminal bis 2 Chiang Rai. Ini adalah terminal bis baru. Berdasarkan info yang saya kumpulkan bis seharusnya juga masuk ke terminal 1 atau old bus station, tapi ternyata terminal bis 1 sedang direnovasi. Untuk menuju terminal bis 1 kita harus naik angkot atau songtaew dengan tarif B15. Songtaew di Chiang rai semuanya berwarna biru. Songtaew ngetem cukup lama. Sambil menunggu penumpang penuh saya ngobrol dengan seorang turis pria dari Israel bernama Rane. Dia bercerita tentang pengalamannya backpacker ke beberapa negara. Rupanya kami juga sama sama membatalkan kunjungan ke Luang Prabang dikarenakan jarak tempuh 20 jam lewat darat yang pastinya melelahkan.
Dari terminal bis 1 saya cukup jalan kaki menuju hostel yang sudah saya pesan sebelumnya. Saya sudah melengkapi alamat hostel dalam bahasa Thai untuk mempermudah pencarian. Saya tinggal tunjukkan kepada orang yang saya temui dan mereka langsung menunjukkan arah. Penduduk Chiang rai umumnya ramah dan welcome kepada turis.
Chiang Rai sering disebut sebagai saudara kembar - mawar dari utara- Chiang Mai. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai tetangga Chiang Mai yang sunyi. Dibandingkan Chiang Mai yang ramai maka Chiang Rai adalah daerah pedesaan, cocok bagi pengunjung yang ingin menghindari keramaian. Chiang Rai telah dihuni sejak abad ke 7 dan pada tahun 1.262 oleh Raja Meng Rai dijadikan sebagai ibukota pertama Kerajaan Lanna. Tapi setelah Ibukota dipindahkan ke Chiang Mai sejak saat itu Chiang Rai hanyalah sebagai bayang-bayang saudara kembarnya.
Selepas mandi saya bergegas kembali ke terminal bis untuk mencari angkot ke destinasi yang sudah lama saya impikan Wat Rong Khun atau White Temple. Ada sebuah songtaew yang hendak ke terminal bis 2. Didalamnya sudah duduk 4 orang turis. 1 pasangan akhirnya turun karena songtaew tidak segera berangkat. Semua songtaew di Chiang rai berwarna biru tanpa petunjuk tujuan dibadan mobil. Jadi kita harus bertanya arah tujuan setiap kali hendak menggunakan transportasi ini. Selain itu mereka juga dengan seenaknya mengubah tarif kepada turis sehingga sering kali harus twar menawar terlebih dahulu. Kecuali di terminal 2 dimana tarif songtaew ditulis besar disebuah banner. Setelah menunggu lama akhirnya songtaew berangkat juga dengan penumpang hanya kami bertiga dengan tarif B40. Ditengah jalan ada penumpang lain-warga lokal- yang naik. Ketika penumpang ini turun, saya yang masih diliputi keraguan apakah songtaew ini akan melewati jalur menuju Wat Rong khun ikut turun untuk bertanya kepada sopir. Sialnya baru saja saya turun sopir langsung tancap gas. Saya berteriak teriak memanggil tapi mobil tidak berhenti. Dua penumpang didalamnya hanya bisa bengong. Hmm, awal hari yang kurang bagus.
Saya pun mencari tumpangan lain. Sebuah songtaew mendekat –sopirnya seorang wanita- dan meminta tarif B100 dengan alasan jauh. Saya tolak karena terlalu mahal. Dipinggir jalan saya lihat ada pangkalan ojek tapi tak ada satupun pengemudinya. Lelah menunggu akhirnya saya menyetop tuk tuk. Pengemudi minta B150 akhirnya setelah tawar menawar deal B100, sama dengan tariff songtaew tadi. Saya Cuma bisa berkata dalam hati ‘ya sudahlah’, apalagi saya harus mengejar waktu untuk melanjutkan perjalanan ke Golden Triangle yang cukup jauh. Mengingat saya hanya semalam di Chiang Rai maka saya harus mengatur waktu sedemikian ketatnya.
Wat Rong Khun
Terletak 5 kilometer diselatan Chiang Rai kuil ini menjadi landmark dan salah satu yang paling dikenal di negeri gajah. Kuil ini terkesan modern berbeda dengan kuil kuil di Thailand pada umumnya. Seniman Chalermchai Kositpipat membangun kuil diatas lahan 3 hektar ini pada tahun 1997, dengan pengembangan yang masih berlangsung sampai sekarang, dalam bentuk dan warna yang berbeda. Jika kuil di Thailand umumnya berwarna emas maka Wat Rong Khun berwarna putih yang menandakan kemurnian sang Budha . Seluruh kuil memantulkan sinar yang berasal dari cermin yang tertanam dalam plester sebagai lambang refleksi diri. Warna emas justru diterapkan pada toilet sebagai lambang keserakahan atau kekotoran jiwa. Anda tidak akan menyangka bahwa yang berwarna emas itu adalah toilet karena begitu bagus desain dan ukirannya. Benar benar the beautiful toilet in the world.
Memasuki kuil kita akan melihat banyaknya patung tangan manusia yang terentang keatas sedang meminta tolong, ini merupakan lambang penyiksaan dineraka akibat perbuatan buruk semasa didunia. Selanjutnya kita akan melewati jembatan yang dibawahnya terdapat kolam besar yang berisi ikan putih dan air mancur. Kolam ini melambangkan sungai pemisah dunia fana dan surga.
Dibagian dalam kuil kita akan dikejutkan dengan gambar gambar didinding yang sangat modern. Pahlawan masa kini dalam film fiksi ilmiah seperti Keanu Reeves memegang senjata laser, susunan planet bahkan super hero masa kini. Sayangnya pengunjung dilarang mengambil gambar dinding tersebut.
GOLDEN TRIANGLE
Selepas mengunjungi Wat Rong Khun saya bergegas kembali ke terminal bis 1 untuk mencari angkot menuju destinasi selanjutnya Golden Triangle. Meskipun didaerah pegunungan, siang itu panas Chiang Rai sangat menyengat. Bahkan penduduk lokal mengeluh bahwa suhu panas seperti saat itu belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebuah minivan dengan tarif B50 ngetem sekitar 1 jam untuk mencari penumpang hingga penuh. Disebelah saya seorang mahasiswi jurusan gizi duduk gelisah dan bergumam ‘ I’m late’. Kami ngobrol untuk menghilangkan gelisah karena lama menunggu. Saya perhatikan penampilan mahasiswi ini. Rambut dicat pirang, berkaos dan bercelana jeans dengan beberapa bagian yang robek. Dandanan seperti ini tidak akan kita jumpai dikampus kampus tanah air. Sekitar pukul 12 minivan pun berangkat. Sebelum turun gadis itu mengucapkan ‘good luck’ sambil tersenyum.
Perjalanan menuju Golden Triangle sekitar 2 jam. Air conditioning didalam minivan sangat dingin mengimbangi cuaca panas diluar. Golden Triangle terletak dipertemuan sungai Ruak dan sungai Mekong di kota Chiang Saen. Selama ratusan tahun komoditas utama yang diperdagangkan adalah batu,giok dan kayu jati. Dikenal juga sebagai ladang opium terbesar didunia pada tahun 1950 an dengan area seluas 950.000 km2 yang membentang di tiga wilayah yaitu Thailand,Laos dan Burma. Awalnya orang orang China yang mengenalkan tanaman opium. Para penjajah Inggris yang memperkenalkan obat bius, mendorong budi daya poppy yang menghasilkan opium untuk pasar China. Keuntungan dari bisnis ini memperkaya British East India Company dan pemerintah Inggris saat itu. 70% heroin didunia pada waktu itu berasal dari wilayah ini. Dibawah kekuasaan Khun Sa wilayah ini bak sebuah negara didalam negara.
Kerajaan Thailand berulangkali memerangi kerajaan opium Khun Sa tapi selalu gagal. Cara kekerasan dengan mengerahkan tentara tidak pernah berhasil. Kemiskinan didaerah itu menyebabkan masyarakat lebih memilih berbisnis opium yang memang lebih menghasilkan. Hingga di tahun 1980 an ibu Suri yang bergelar Mae Fah Luang yang berarti Ibu Kerajaan langit, membuat yayasan untuk memerangi opium dengan tidak menggunakan kekerasan. Mereka merebut hati rakyat dengan pemenuhan isi perut. Ditunjang budaya masyarakat yang menghormati ibu Suri, keluarga kerajaan,mengagungkan angka 9 dan kepercayaan kepada Budha maka secara perlahan pertanian opium berkurang. Khun Sa menyingkir ke Burma dan meninggal disana. Tapi ada juga yang mengabarkan bahwa Khun Sa bertobat dan menggunakan kekayaannya untuk berbagai kegiatan sosial.
Banyak yang memperdebatkan apakah Khun Sa seorang penjahat atau seorang pemberontak. Dia mendirikan kerajaan opium karena melihat kemiskinan didaerah tersebut yang tidak tersentuh oleh kebijakan kesejahteraan kerajaan Thailand.
Sisa kejayaan opium ini bisa kita saksikan di Hall of Opium yang didirikan oleh Patcharee Srimathayakun pada tahun 1990. Lulusan fakultas pendidikan Universitas Chulalongkorn-Bangkok ini hobi mengkoleksi barang antik. Didalam museum dipamerkan aneka jenis tanaman opium, peralatan yang dipakai, pola hidup , mata uang, peralatan pertanian dan perikanan serta efek opium pada manusia. Ada juga penjara bagi para pelanggar atau yang berani melawan kebijakan Khun Sa. Suasana redup dan temaram seakan menggambarkan kehidupan yang kelam pada masa itu.
Kita bisa menyeberangi sungai Mekong menuju Don Sao diwilayah Laos dengan tarif perahu B700 untuk perjalanan 1 jam. Dipinggir sungai yang memasuki wilayah Burma berdiri kasino yang katanya dimikili oleh warga Thai. Dari seorang tour guide yang memandu turis dari Malaysia, wilayah sepanjang sungai itu akan dibangun sebagai kawasan international. Sayangnya pemerintah provinsi Chiang Rai tidak memiliki cukup dana. Untuk mendapatkan dana segar maka kawasan itu disewakan kepada pengusaha dari China selama 99 tahun, sebagaimana lama sewa Inggris terhadap Hong Kong.
Dibelakang House of Opium ditempat yang lebih tinggi terdapat sebuah Vihara tua yang terbuat dari kayu. Panel ukiran tentang kehidupan Budha menghiasi setiap pintu. Disampingnya terdapat sebuah arca Budha tanpa kepala yang konon dari tahun 1302 B.E. kepala arca itu lenyap ketika terjadi banjir besar. Sebeluumnya tidak ada yang mengetahui bahwa ditempat itu terdapat arca Budha. Setelah banjir surut masyarakat yang membersihkan daerah itu menemukan arca tanpa kepala tersebut yang terus dirawat dan dipuja hingga sekarang
Pukul 4 sore saya menuju pangkalan minivan. Takut tertinggal –karena itu jadwal terakhir minivan kembali ke Chiang Rai- saya sudah menunggu sejak pukul 15.30. Beberapa bis rombongan turis masih berdatangan. Memasuki kota Chian Saen ada pemeriksaan oleh tentara Thailand. Para penumpang menyiapkan ID card . Saya ditanya dengan bahasa Thai yang tidak saya mengerti tapi langsung saya tunjukkan paspor. Ini adalah pemeriksaan rutin untuk mencegah para penumpang gelap terutama dari Burma. Jika tidak bisa menunjukkan ID card maka bersiaplah untuk digelandang dan diinterview di pos penjagaan.
Sopir bertanya kemana tujuan saya dan saya jawab old bus station. Rupanya minivan sudah memasuki terminal bis 1. Saya sedikit ragu tapi sopir meyakinkan bahwa itu old bus station. Baru setelah melihat bedeng renovasi saya yakin dan langsung turun. Saya lupa bahwa setiap malam terminal 1 akan berubah menjadi night bazaar. Tidak ada lagi kendaraan mangkal. Disetiap tepi jalan para pedangang membuka lapak. Dari kerajinan tangan, tenun tradisional, fashion hingga makanan. Saya mencoba coconut ice cream yang memakai wadah dari tempurung kelapa kopyor, harganya B10. Rasanya memang enak gurih. Bagaimana dengan stand makanan? Terus terang saya ingin mencoba karena tertarik dengan penampilan yang menggoda selera. Tapi niat itu saya urungkan karena-sekali lagi- saya tidak yakin akan kehalalannya. Lagi lagi saya memutuskan makanan yang aman yaitu roti dan buah.
Malam sudah semakin larut ketika saya kembali ke hostel. Jalanan cukup sepi tapi aman meski berjalan sendirian. Pukul 9 malam saya disambut Ana pemilik hostel dengan senyuman dan menanyakan apakah kegiatan saya hari ini cukup menyenangkan. Memang sangat menyenangkan meski letih. Bertemu penduduk lokal, ngobrol dengan turis dari negara lain, mempelajari budaya baru membuat saya lebih memahami arti kehidupan. Saatnya memejamkan mata mengumpulkan energy untuk perjalanan selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H