Mohon tunggu...
Octorina Respatiningdyah
Octorina Respatiningdyah Mohon Tunggu... Swasta -

Pelancong jalanan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sehari di Phnom Pehn

24 Februari 2017   18:02 Diperbarui: 24 Februari 2017   18:14 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum balik kehostel saya beli lagi mie goreng. Penjualnya seorang ibu tua dengan anak gadisnya yang berdandan cukup menor. Perlahan saya jelaskan kalau saya mau beli mie goreng sedikit pedas tapi tidak pakai bumbu merah ditambah ceplok telur (sambil menunjuk telur dan penggorengan). 3x penjelasan baru mereka faham. Karena tambah telur ceplok maka harganya jadi $1.5 Saya bayar $2 berhubung tidak ada kembalian si gadis sibuk mencari tukeran uang. Kasihan akhirnya saya ambil sebotol air mineral seharga $0.5 . Si gadis mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal ketika saya pamit. Didepan penjual mie sebenarnya ada penjual ayam goreng dengan aneka sayur lalapan. Ada juga aneka sosis goreng. Tapi saya sedang ingin mie karena merasakan nikmatnya tadi sore.

Pukul 20.00 balik kekamar. Niatan mau makan tapi nafsu makan mendadak hilang. Bungkusan mie saya buka agar tidak basi. Lumayan bisa dimakan esok pagi (ngirit pol). Saya tidur lebih cepat malam itu.

Dengan sedikit malas saya bangun pagi. Badan terasa kaku terutama leher. Coba peregangan untuk melemaskan sambil mengatur backpack yang menggembung. Sepasang sandal jepit yang saya beli di Siem Reap saya tinggal. Check out pukul 09.00 dilayani oleh seorang gadis muda. Saya tanyakan mengenai sewa tuk tuk ke bandara. Petugas yang kemarin mengatakan harganya $7 tapi hari ini saya diberi harga $5. Rejeki wanita sholeha.

Kepada supir tuk tuk saya minta untuk berhenti sebentar ditaman depan istana raja untuk mengambil beberapa foto. Ketika asyik berfoto ria dua anak laki laki kecil datang menawarkan jagung untuk makanan burung. Oh ya ditaman ini banyak burung dara beterbangan. Yang besar berumur sekitar 9 tahun agak bersih sedang yang kecil sekitar 4 tahun dekil hanya bercelana kolor tanpa baju. Rambutnya merah jagung sedikit gimbal. Penampilannya alamak seperti tidak pernah mandi dengan bekas ingus kering dihidungnya. Ini anaknya siapa sih. Gelengan kepala menolak membeli jagungnya ternyata tidak mempan. Kemanapun saya melangkah dia ikuti sambil berkata “one dollar one dollar” dengan menyodorkan kantung jagung. Karena saya tetap tidak mau membeli akhirnya anak laki yang besar berkata padanya (kira kira) “ sudah berhenti dia nggak mau beli”. Dengan langkah kecilnya dia mengikuti sianak yang lebih besar meninggalkan saya. Sekali lagi driver tuk tuk mengingatkan saya untuk tidak menaruh barang sembarangan meski didalam tuktuk karena banyak pencuri.

Tuk tuk melaju menuju bandara dijalanan berdebu. Phnom Pehn terkenal dengan debu jalanannya yang minta ampun. Jika kemari jangan lupa masker. Saya yang sudah dandan rapi jadi lungset karenanya. Bandara cukup jauh sekitar 1.5 jam. Rupanya istana raja terletak didaerah pinggir dan bandara dipinggir lainnya. Tuk tuk melewati tengah kota daerah perkantoran, pasar, bisnis, dan gedung pemerintahan. Suasana Phnom Pehn mirip Surabaya tahun 70an. Sampai dibandara ternyata check in belum dibuka. Sambil menunggu saya membeli kue disebuah gerai kue yang terletak disebelah kiri pintu masuk. Seperti biasa saya minta yang halal. Seorang pegawai menawarkan aneka kue tapi supervisornya yang tiba tiba datang mengatakan hanya kue isi daging ayam satu satunya pilihan. Dia melarang pegawai tersebut menawarkan kue lainnya. Ternyata dia melihat kerudung yang saya pakai. Dengan minta maaf dia mengatakan jenis kue lainnya tidak tepat untuk saya. Baik sekali.

Balik kedalam check in sudah dibuka. Setelah check in saya masih menunggu dibawah. Ternyata banyak warga muslim berkerudung hilir mudik. Tak sedikit berasal dari Malaysia. Saya bergegas ke boarding room. Melalui scanner terlihat didalam backpack 1 botol air mineral. Petugas meminta saya mengeluarkan. Saya tahu aturan ini tapi saya lihat beberapa penumpang lokal diperbolehkan membawa kedalam. Saya tanyakan mengenai hal itu tapi dengan tegas petugas berkata “ you drink or put in the garbage”. Dengan kesal saya habiskan air mineral yang masih setengah botol itu didepan petugas sambil ngomel dalam hati.

Menunggu jam keberangkatan memang membosankan. Iseng coba internet yang disediakan dan voila tidak ada koneksi. Ya sudah duduk saja. Setelah agak lama menunggu dengan sedikit heran saya lihat disekeliling sudah tidak ada orang. Tak lama orang orang berbaris digate depan saya duduk. Tapi sedikit aneh dengan penumpangnya. Iseng bertanya kepada orang didepan saya “ Singapore?” . “No, Shanghai”. Dengan sedikit malu saya kembali duduk. Aneh pemupang sudah sepi. Sampai akhirnya saya dengar panggilan “last call last call Ms.Respatiningdyah jet star to Singapore”. Saya langsung lari ke gate dibelakang saya duduk. Petugas langsung berteriak “hurry up hurry up”. Ketika sudah masuk kepesawat malunya setengah mati. Semua penumpang memandang seolah menuduh “ini dia yang bikin pesawat gak berangkat”. Maafkan saya tadi tidak dengar. Saya langsung duduk ,kebetulan dipinggir jadi tidak perlu merasa lebih malu karena meminta penumpang lain berdiri jika duduk ditengah, dan pasang seat belt.

Welcoming Singapore, au revoir Cambodia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun