Mohon tunggu...
Octorina Respatiningdyah
Octorina Respatiningdyah Mohon Tunggu... Swasta -

Pelancong jalanan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sehari di Phnom Pehn

24 Februari 2017   18:02 Diperbarui: 24 Februari 2017   18:14 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bosan duduk dipinggir sungai saya menyebrang jalan arah ke istana Raja. Tapi jam kunjungan wisatawan sudah tutup. Hanya sampai pukul 16.00 . Tiket masuk setara Rp.200,000.- Cukup mahal untuk kantong yang sudah mulai mengempis. Dari luar rasanya kurang menarik. Istana dikelilingi oleh tembok tinggi, cukup panjang. Suasana sepi seperti tidak ada kehidupan. Terlihat ada beberapa penjaga tapi penjagaan tidak terlalu ketat.

Menyusuri pedestrian sepanjang tembok istana, diujung hendak menyebrang jalan ada seorang polisi berpakaian preman yang sedang libur tugas menyapa. Dia bertanya “are you tourist? Where are you going?” Mungkin karena melihat saya celingukan dipikir tersesat. Sesungguhnya saya masih mencari biara budha tua yang besar yang tidak saya temukan di Siem Reap. 

Pak polisi muda ini bercerita kalau dia pernah ke Jakarta dalam rangka tugas. Dia sangat terpesona dengan Jakarta kota metropolitan. Berharap suatu hari dapat kesana lagi. Dia juga menawarkan jasa mengantar ke sebuah biara siapa tahu itu yang saya cari. Rupanya dihari libur dia merangkap menjadi supir tuk tuk. Tuk tuk dia pinjam dari seorang teman dengan membayar sewa. Gaji sebagai polisi tidak mencukupi kebutuhan . Mau tahu berapa gajinya ? Katanya cuma cukup untuk makan. Kalau ingin lebih dari itu harus menambah penghasilan diluar jam kerja. 

Dengan rayuan manis dia bersedia menjemput ke hostel. Tapi , sekali lagi, dengan senyum manis saya tolak tawarannya dengan alasan hari sudah menjelang malam dan mendung. Pantang menyerah dia menawarkan esok hari. Ah sayangnya besok saya harus balik ke Singapore. Dengan sedikit kecewa dia mengucapkan selamat jalan dan berharap bisa bertemu lain waktu. So sweet . Tawarannya saya tolak karena biara yang dimaksud sudah pernah saya lihat fotonya. Bukan biara itu yang saya cari apalagi letaknya cukup jauh, 1 jam perjalanan menggunakan tuk tuk.

Diseberang jalan terdapat sebuah taman, yang ditengahnya terdapat tempat pemujaan semacam candi. Kecil, tidak terlalu terawat dan digembok. Katanya sih boleh masuk tapi tidak ada penjaganya. Saya lewatkan tempat pemujaan ini dan mulai berjalan keliling. Ada tempat bermain untuk anak anak dengan beberapa mainan seperti anjut anjutan dan ayunan. Seorang ibu muda menyuapi anaknya yang berkali kali menolak membuka mulut. Sianak yang masih batita lebih memilih bermain daripada makan. Keluar dari tempat bermain anak yang tidak terlalu bagus itu saya berjalan ketengah taman.

 Ada beberapa pedagang mangkal mulai dari mainan, jajanan seperti sosis goreng dan semacam kue. Tak lama datang seorang anak muda yang wajahnya mirip selebiritis Olga. Sorang anak muda sedikit melambai dengan jualan yang disungginya. Dia mencari tempat didekat tempat saya berdiri dan menurunkan dagangannya berupa aneka sea food yang dibakar seperti gurita, cumi kering, badan ular, tulang ular (kecil), beberapa jenis seperti ikan asin dan salad papaya muda. Sebelum dibakar diatas arang dalam wadah anglo aneka sea food itu dipukul –pukul dengan palu hingga gepeng. Bisa diimakan begitu saja atau dengan campuran salad papaya muda. Entah bagaimana rasanya karena sudah ngeri duluan lihat tulang ular. Melihat aneka sea food kering itu serasa dipantai Kenjeran.

Kami berkenalan dan bak kawan lama kami mulai nyerocos ngobrol beraneka topic. Nama Cambodianya agak susah dilafalkan. Dia lebih suka dipanggil Jack. Dia menawarkan dagangannya yang saya tolak dengan halus karena perut sudah kenyang. Tawaran salad papayanya juga saya tolak karena tidak tahan dengan rasa dan bau harum menyengat yang membuat saya eneg. “ Ah I know that’s ginger. Saladku tidak seperti itu baunya, lebih soft. Cobalah sedikit, kubuatkan ya. Untukmu free”. Sore itu hanya ada 2 orang pembeli, sepasang suami istri muda yang membeli tulang ular dan seorang temannya yang lebih suka cumi asin bakar. Saya membantunya berjualan dengan menawarkan kepada setiap orang yang lewat. Sayangnya sore itu pengunjung agak sepi karena langit mendung.

Saya tinggalkan Jack yang masih menunggu pembeli. Balik arah ke hostel disepanjang pinggir tama nada beberapa penjual makanan. Selain jenis sosis goreng ada dua penjual ayam goreng kriuk sejenis KFC. Kurang tertarik saya lanjutkan perjalanan belok kanan. Sesungguhnya saya lupa apakah belokan ini atau yang berikutnya menuju arah hostel. Ada dua penjual makanan tradisional tidak jauh dari ujung jalan. Semacam nasi yang dibentuk bulat lalu ditipiskan dan dipangggang diatas penggorengan. Lauknya berupa ikan goreng dilengkapi sayur mayur aneka rupa seperti kemangi dan kangkung mentah . Mirip lalapan di Indonesia hanya tidak ada sambalnya. Pengen mencoba tapi porsinya besar sekali. Urunglah niat.

Ragu akan jalan tersebut saya memutuskan lewat istana putar balik arah berangkat. Jalanan sedikit gelap, lampu penerangan jalan sangat temaram. Entah itu dari jenis lampunya atau hemat listrik. Di pertengahan jalan ada gerobak penjual gorengan. Penjualnya sepasang suami istri. Sang istri bagian penjualan dan sumainya menyiapkan barang dagangan.Lampunya gerobaknya juga remang remang. Saya mendekat untuk melihat apa yang dijual. Dalam baskom-baskom besar tampak aneka gorengan berwarna hitam. Mau tahu itu apa? Aneka serangga dan keong. Ada yang badannya berulir, jangkrik, keong dengan rumah berbentuk panjang dan beberapa lainnya . Ada yang digoreng ada yang seperti dibumbu pedas.

Penasaran ingin mencoba saya tanyakan apakah boleh membeli hanya beberapa biji saja dan berapa harganya. Dengan ketus penjual memaksa untuk membeli satu contong seharga $ 1. “No, 1 dollar” sembari menggelengkan kepala tangannya menunjuk pada masing-masing baskom. Rupanya penjual tidak bisa bahasa Inggris sehingga tidak mengerti maksud saya. Buat apa beli banyak wong cuma pengen icip. Tak lama ada pembeli seorang anak muda bersepeda. Melihat kami eyel-eyelan dia mencoba bertanya lalu menterjemahkan kepada ibu penjual. Ternyata tetap kekeuh$1. Ya sudahlah tidak perlu icip serangga . Pemuda itu ternyata seorang mahasiswa jurusan geografi. “ Bagaimana kalau kamu ambil sebagian punya saya?” tawarannya saya tolak dengan manis. Sebelum say good bye dia mengingatkan untuk berhati hati karena banyak jambret akhir akhir ini.

Karena hari masih belum terlalu malam sekitar pukul 19.00 saya memutuskan untuk duduk dikursi taman dipinggir jalan raya depan jalan menuju hostel. Mendung yang tadi menggantung sudah mneyingkir. Beberapa orang juga duduk ditaman. Jalan raya tidak terlalu ramai, cenderung sepi. Tak lama duduk, datang dua orang pria muda bersepeda motor umur 20an. Mengenakan blue jeans dan salah seorang mengenakan jaket hitam. Gayanya tengil. Entah apa yang mereka ucapkan dengan bahasa keritingnya. Saya gelengkan kepala. Eh mereka malah nyerocos. Sepertinya mengajak pergi. Dalam hati saya membatin “oalah Le, aku ini lebih tua dari mbokmu.” Sedikit gondok saya tinggalkan mereka yang masih ngomong entah apa. Beginilah kalau punya wajah imut (cieee).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun