Siang itu saya sampai di Phnom Pehn setelah 12 jam perjalanan yang melelahkan dari Siem Reap. Hawa panas menyengat dan jalanan yang berdebu langsung menerpa. Saya segera menuju hostel yang letaknya dekat istana Raja, sekitar 300 m jaraknya. Dari luar hostel ini terkesan kecil. Ada beberapa hostel lain disepanjang jalan ini yang ukurannya juga tidak luas. Saya mendapatkan hostel ini dari booking online setelah membaca review para tamu. Meski kecil terlihat tamunya banyak memenuhi café hostel.
Saya menuju kebagian penerima tamu yang berada diteras sebelah kiri pintu masuk. Petugasnya seorang anak muda dengan bahasa Inggris yang bagus. Saya beritahu booking saya melalui bookingonline serta email yang saya kirimkan sebelumnya. Dia cek dikomputer dengan sedikit bergumam dia bertanya tanggal berapa. Ternyata booking saya tidak ada, selanjutnya dia cek disebuah buku. Ternyata terkadang petugas mencatat booking kamar disebuah buku tulis. Olalabooking saya juga tidak ada. Saya tunjukkan email dan sms terakhir dari Siem Reap sebelum berangkat ke Phnom Pehn mengenai jadwal kedatangan. Ternyata sms saya tidak masuk. Sinyal di Cambodia memang payah.
Pernah ketika di Angkor Wat saya memarahi drivertuk tuk karena 6 sms saya tidak dijawab padahal saya sudah lelah mencarinya kesana kemari. Saya tidak menemukannya ditempat yang dia sebutkan sebelum saya berkeliaran di candi candi tua itu. Dengan kalem dia bilang “ dari tadi saya disini dibawah pohon besar , kan sudah saya katakan tadi. Tidak ada sms darimu coba lihat dihpku. Sinyal di sini memang kurang bagus kadang sms bisa masuk esok hari. Beda dengan dinegaramu yang sinyalnya bagus”.
“Lalu bagaimana?” tanya saya. Kalau kamar penuh dan harus cari kehostel lain alangkah lelahnya. Saya sudah lelah dan malas musti berkeliling jalan. Dengan senyum manis si mas bilang kalau kamar yang saya pesan masih ada. Dia minta maaf atas ketidaknyamanan ini. Alasannya sama jaringan internet yang tidak bagus. Setelah mencari cari dia menemukan email terakhir yang saya kirim. Akhirnya saya bisa istirahat juga. Si mas memanggil petugas lain untuk mengantar saya kekamar yang letaknya dilantai 3, oh no. Sudah lelah musti naik 3 lantai lagi. Tak lupa password wifi diserahkan dalam bentuk cetakan kertas kecil. “Selamat beristirahat” kata si mas sambil tersenyum manis.
Dengan harga Rp. 100,000.-/malam ini adalah kamar paling murah. Saya sedikit ternganga ketika petugas membukakan pintu kamar , sangat kecil dan sempit. Bed menempel didinding dengan jendela krepyak . Pemandangan diseberang adalah sebuah gedung persembahyangan. Didinding menempel sebuah jam bulat merk Seiko. Sebuah kipas angin kecil diletakkan dimeja kecil disebelah kanan tempat tidur dibagian kaki. Sebuah meja panjang kecil dengan rak, berada disamping bed sejajar kepala, menyesakkan kamar.
Sebuah novel nampak dirak meja peninggalan tamu sebelumnya. Disebelah kanan setelah pintu kamar adalah kamar mandi yang sangat kecil, hanya cukup untuk satu orang saja. Toilet duduk warna putih dan shower air panas sedikit mengobati kekecewaan saya atas tiny room ini. Saya tidak mengira kamar begitu kecil dengan harga yang lebih mahal dari kamar di Siem Reap yang jauh lebih besar dan fasilitas yang lebih baik. Lokasi dekat istana raja menjadi penyebabnya. Didalam kamar mandi ada sabun mandi warna putih yang tertinggal. Mungkin milik tamu yang sama dengan novel tadi.
Saya tenggak air putih dan merebahkan badan yang demam serta tenggorokan yang mulai meradang. Badan menggigil, duh Gusti jangan sampai sakit disini. Korek korek tas mencari obat flu dan cek kartu asuransi kesehatan siapa tahu dibutuhkan. Akhirnya nemu satu obat flu yang tersisa. Obat saya telan sambil makan roti dari bis semalam. Tak lama mata sudah 1 watt terkena efeknya.
Saya terbangun dengan ngilu diseluruh badan. Dari balik jendela matahari terlihat begitu terang. Masih siang. Jam dinding menunjukkan pukul 14. Malas bangun dan memilih tidur tiduran untuk beberapa saat menghilangkan penat dan demam. Pukul 14.30 saya paksa badan untuk bangun dan mandi air hangat. Dengan badan sedikit segar saya melangkah keluar hostel sekitar pukul 15.30 untuk mencari makan. Saya tidak mau makanan café hostel yang berbau Perancis. Makanan kaki lima lebih cocok untuk perut kampung saya yang gendut ini.
Keluar hostel belok kiri lalu lurus sedikit dan belok kiri lagi sampailah dijalan raya. Kendaraan agak ramai meski tidak seramai di Surabaya. Beberapadriver tuk tuk menawarkan jasa. Dengan senyum manis (ehem)saya tolak tawaran itu dan memilih jalan kaki sambil menikmati sore. Didepan sebuah salon kecil ada sebuah gerobak makanan dikerubungi beberapa orang. Ternyata penjual mie goreng dan salad sayur Cambodia yang wanginya minta ampun. Bau wangi itu entah dari jahe atau serehnya. Pernah mencoba di Siem Reap tapi (maaf) tak mampu menelan. Dengan berat hati salad yang terlihat yummy itu berakhir ditempat sampah.
Saya pesan satu mie goreng pedas setelah yakin kehalalannya. Sebelum membeli makanan selalu saya tanyakan apakah mengandung babi atau tidak. “No pork?” serentak penjual dan beberapa pembeli menjawab “ No, no pork”. Harganya $ 1. Semua harga di Cambodia untuk orang asing minimal $ 1. Seorang driver tuk tuk yang tadi saya tolak tawarannya mengajak ngobrol. Katanya saya banyak uang karena harga $1 baginya sudah mahal. Pembeli lokal membayar hanya $ 0.5 untuk seporsi mie. Saya tanya kenapa berbeda. Jawabnya “Karena kamu orang asing dan orang asing uangnya banyak”. Penjelasan bahwa saya bukan orang kaya hanya disambut tawa oleh beberapa orang yang berdiri disitu. Saya menabung lama. “Tapi kamu kan bisa beli tiket pesawat yang pasti mahal. Sedangkan kami tidak mampu. Jadi kamu orang kaya”. Yailah pak masak saya harus berenang bisa dikrikiti ikan teri dong. Berasa sekali jadi orang asing dinegeri orang, mahaaal. Penjual hanya senyam senyum saja entah ngerti entah tidak. Sambil nyengir saya terima mie goreng yang dikemas dalam wadah stirofoam, hmmm baunya menggoda.
Saya tinggalkan abang penjual mie dan driver tuk tuk. Akhirnya saya sampai ditepi sungai Mekong yang dipinggirnya banyak bendera dari beberapa negara termasuk PBB. Sayangnya tidak ada bendera Indonesia. Lokasi ini berseberangan dengan istana raja. Rupanya setiap sore masyarakat menjadikan kawasan ini pusat hiburan. Ada yang bermain sepak takraw, sekedar jalan jalan atau hanya duduk duduk saja menikmati sore. Beberapa pengunjung lewat membawa perlengkapan sembahyang . Waktu itu sedang ada perayaan hari kelahiran Budha. Disepanjang sungai disediakan tempat duduk dari beton. Ada tempat kosong dibagian tengah. Saya buka mie goreng dan mulai melahapnya. Wow, enak saudara saudara. Entah mie gorengnya yang enak atau saya yang kelaparan. Menyesal tadi tidak beli dua. Mie goreng ini mirip seperti di Indonesia bedanya ada taburan irisan daun bawang untuk penambah rasa. Sedikit irisan daging sapi sebagai pelengkap. Warnanya coklat, beberapa bumbu juga sama seperti kecap, bawang, daun pre. Seporsi mie cukup mengenyangkan. Berangsur badan menjadi sedikit enak. Walah ternyata saya sakit karena kelaparan, terlalu.