Dalam kunjungan ke Cambodia beberapa tahun yang lalu saya memulai perjalanan melalui bandara Changi. Demi mengejar tiket promo ke Cambodia maka saya harus menunggu penerbangan 2 hari kemudian. Trus ngapain selama 2 hari? Secara saya tidak suka Singapore yang membosankan. Sejujurnya saya ingin ke Malacca. Pasti kalian akan bertanya kalau mau ke Malacca kenapa tidak lewat KLIA saja? Waktu itu tiket Surabaya-Singapore lebih murah dari pada Surabaya-Kuala Lumpur. Begitu juga penerbangan ke Cambodia.
Pesawat yang saya tumpangi dari Surabaya mendarat pukul 15 waktu Singapore. Dari maskapai tersebut diberikan voucher free bus ke Johor Bahru. Bis parkir tepat berada didepan pintu keluar terminal 1. Beberapa calon penumpang juga sudah menunggu karena tepat pukul 16 bis akan berangkat. Tapi tunggu punya tunggu sopir bis tidak tampak batang hidungnya hingga pukul 17. Beberapa calon penumpang sudah gelisah termasuk saya. Para penumpang mulai meninggalkan shuttle busbergantiangkutan lain.
Akhirnya saya putuskan untuk naik bis kota menuju terminal bis arah Malaysia. Kembali saya masuk ke bandara menuju bagian informasi. Saya lupa jika hari itu F1 sedang digelar sehingga semua jalan dialihkan termasuk rute bis kota. Petugas menyarankan untuk naik MRT tapi harus ganti beberapa kali dan tidak ada yang berhenti tepat di tempat bis yang saya tuju. Petugas menyarankan moda taxi dengan rate SGD 200. Saya langsung menjerit dalam hati mahal sekali, bisa kere dinegeri orang. Saya putuskan naik bis kota saja dan berharap bisa berhenti dekat terminal. Saya bergegas turun ke basement tempat menunggu bis. Saya mencoba mencari informasi dari seorang gadis muda yang berdiri disebelah. Tapi rupanya dia juga tidak tahu rute, sebaiknya bertanya kepada sopir bis saja katanya. Ya sudahlah.
Kepada sopir bis saya beritahukan tujuan yaitu terminal bis Golden Mile Complex. Dia bertanya jalan apa? Waduh peta yang telah dicoreti oleh petugas informasi rupanya tertinggal dimeja. Ternyata sopir bis di Singapore tidak hafal seluruh jalan atau tempat umum. Tidak seperti di Surabaya yang tahu semuanya. Dengan ragu dia mengatakan kalau saya harus ganti bis karena bisnya tidak menuju tempat itu. Saya diturunkan disebuah halte dan diminta ganti bis nomer 36. Tak lama bis no 36 pun datang. Sopirnya seorang pemuda India gemuk tapi ramah.
Oh ya di Singapore untuk bayar transportasi umum baik itu bis atau MRT digunakan kartu semacam atm yang disentuhkan dipintu masuk. Tapi penggunaan cash tetap diterima. Saya beritahukan tujuan dan minta berhenti dekat situ. Sekali lagi dia bingung. Kalau dia bingung apalagi saya. Dengan baik hati dia meminjamkan handphonenya untuk menghubungi operator bis. Beberapa menit mereka bicara dan hasilnya nihil. Ditengah jalan dia mencoba bertanya pada petugas perbaikan jalan dan merekapun tidak tahu. Duh senewen rasanya. Akhirnya dia bertanya kepada setiap penumpang yang mau turun mengenai tempat yang saya tuju. Seorang pria muda India beserta istri dan anaknya yang masih bayi menunjukkan arah. Saya pun diturunkan disuatu tempat dekat tempat yang dimaksud. Dia minta maaf tidak bisa mengantar sampai ditujuan karena jalan dialihkan. Jika tidak dialihkan maka bis akan berhenti tepat ditempat terminal bis.
Saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuannya dan bergegas turun menyeberang jalan kearah yang ditunjukkannya. Hari ini saya diingatkan olehNya bahwa saya tidak boleh menjudge orang hanya berdasarkan ras. Sesungguhnya saya agak sebal dengan orang India. Beberapa pengalaman membuat saya menjudge mereka dengan sebutan yang kurang baik. Tapi hari ini sejak turun pesawat saya justru banyak dibantu oleh keturunan India. Maafkan saya.
Menyeberang jalan melalui taman waktu itu sudah pukul 19.00. saya mencoba bertanya kebeberapa orang yang lewat. Sekali lagi tidak ada yang tahu. Jawabnya “sorry I’m tourist”. Ada yang menyarankan untuk naik bis tapi saya tidak yakin karena mereka sendiri juga tidak yakin. Sama aja boong. Lelah, lapar, gempor akhirnya saya cegat taxi. Sesungguhnya saya takut ketinggalan bis karena yang saya tahu bis tidak tersedia 24 jam. Saya tunjukkan alamat dan si bapak langsung menganggukkan kepala. Dengan sedikit mengeluh saya cerita mengenai acara putar putar bis sesore tadi. Si bapak juga mengeluh bahwa dia harus berputar putar seharian. F1 oh F1.
Taxi belok kiri melintas bugis street lalu lurus. Ada 2 kali belokan lalu berhenti di sebuah kompleks pertokoan. Agak ragu saya tanyakan “is this bus station?” Ternyata ini memang terminal bis. Jangan bayangkan seperti terminal bis di Indonesia. Letaknya dipinggir jalan yang diseberang jalan tepat terdapat pujasera. Kompleks ini tempat penjualan tiket bis dari Singapore ke kota kota di Malaysia dan Thailand.
Saya beli tiket seharga SGD.30. untuk keberangkatan pukul 23.30 . Petugas menjelaskan bahwa bis akan sampai di KL pukul 5 pagi. Akan ada 2 perhentian yaitu di IMBI station dan diterminal bis yang jauh. Petugas menyarankan saya untuk turun di IMBI lalu melanjutkan perjalanan dengan MRT. Lalu dimana bisnya? Ternyata saya harus jalan sekitar 50 m arah kiri menuju sebuah gedung tempat bis akan diberangkatkan. Didalam gedung itu ada perwakilan dari bis. Rupanya didalam gedung juga ada tempat penjualan tiket dari armada bis yang saya pilih. Saya serahkan bukti pembelian ke petugas untuk diganti dengan tiket. Ternyata petugas penjualan memberi saya bis yang salah. Bukan tujuan ke KL tapi ke kota lain. Dengan ramah petugas menjelaskan dan mengganti tujuan.
Menanti jam keberangkatan yang masih lama saya memutuskan untuk makan malam di pujasera seberang jalan. Surprise saya menemukan beberapa penjual makanan Indonesia seperti nasi padang, soto, sate. Tapi saya tidak tertarik untuk membeli karena dari penampilan dan bau makanan sepertinya rasa sudah tidak orisinil. Akhirnya saya membeli nasi ayam bakar bumbu merah yang warna merahnya seperti dari pekak. Rasanya? Jangan bandingkan dengan ayam bakar Indonesia yang kaya rempah dan tajam cabai merahnya. Ayam bumbu merah ini sangat ringan, bumbu tidak meresap dan terasa sedikit manis. Cukuplah untuk mengganjal perut. Harganya setara Rp.20,000.- Balik ke terminal dijalan keluar pujasera saya lihat stan es tebu.
Penjualnya sepasang suami istri muda Chinese yang ramah dengan seorang putri kecil berumur 2 tahun. Cek daftar harga saya putuskan pesan es tebu original seharga Rp.8,000.- saya minta es batunya sedikit saja. Spontan mereka lalu memberitahu bahwa harganya berbeda. Why? Ternyata kalau es batu sedikit maka air tebunya akan lebih banyak sehingga rugi kalau harganya sama. Lalu berapa harganya? Rp.10,000.- Rasanya? Tidak terlalu manis. Apa jenis tebunya berbeda ya. Jauh lebih enak yang di pasar Pakis surabaya dengan harga Cuma Rp.2,000.- Dengan senyum manis saya ucapkan terima kasih meski rada bersungut dalam hati karena harga mahal tapi rasa biasa saja.
Balik ke terminal waktu sudah menunjukkan pukul 21 lebih. Terdengar suara hingar bingar musik ditimpa suara mesin ding dong. Ingin tahu, saya berkeliling gedung. Saya sedikit heran pengunjungnya banyak sekali orang Thai. O Oh, ternyata gedung tersebut adalah pusat hiburan malam Thai. Gadis gadis cantik hilir mudik. Beberapa keluar dari sebuah ruangan temaram menuju toilet. Seorang dipapah temannya terhuyung huyung mabuk berat. Di toilet yang joroknya minta ampun saya lihat seorang gadis menangis sambil marah. Temannya berusaha menghibur. Entah apa yang mereka bicarakan. Mereka tidak peduli keberadaan saya disitu. Tak lama masuk seorang gadis lain yang muntah muntah. Entah mabuk entah sakit. Seorang temannya yang masuk kemudian menawarkan obat gosok yang ditolaknya.
Kembali ketempat penjualan tiket saya ngobrol dengan bapak penjual. Dia menawarkan untuk ganti jam keberangkatan lebih cepat tapi saya tolak karena saya tidak mau terlalu pagi sampai di KL. Hilir mudik penumpang datang, sebagian adalah penonton F1 yang bermukim di KL. Beberapa pasangan suami istri expatriate dengan keringat bercucuran mengeluhkan hawa panas Spore. Tak lama seorang pria muda duduk disebelah saya. Sambil tersenyum dan sksd saya tanyakan tujuannya. Ternyata kami menumpang bis yang sama. Dia berasal dari Darjeeling India berbatasan dengan Nepal.
Darjeeling terkenal dengan perkebunan teh, tahukan teh Darjeeling? . Pemuda ini bekerja dijawatan kereta api. Dia heran melihat saya bepergian seorang diri. Seperti biasa dia akan bertanya soal privat apakah sudah menikah, anak berapa, apakah suami tidak keberatan bepergian jauh sendirian. Dia tercengang ketika tahu bahwa anak anak sudah mahasiswa dan senior high school. Belum tahu dia kalau yang diajak ngobrol ini sudah nenek nenek hehehe. Dia baru saja balik liburan dari Bangkok. Disana dia menginap dirumah seorang teman didaerah Sukhumvit. Dengan mata berbinar dia bercerita betapa luar biasanya hiburan di Bangkok. Saya hanya tertawa dalam hati, bagaimana nggak seneng wong mainnya ketempat hiburan yang seperti itu. Maklumlah wong ndeso biasa cuma lihat kebun teh disuguhi hiburan ala Thai yang aduhai.
Bis terlambat datang, jadwal molor hingga pukul 24.00. Bis warna hitam memasuki halaman gedung, kamipun bergegas masuk. Seatnya 2-2,reclining dan ACnya alamak dingin sekali.secara saya tidak bawa jaket tebal. Bagian dalam bis sangat bersih. Setiap penumpang diberi selimut, sekotak kue dan air mineral. Sayangnya selimut yang diberikan tidak mampu menghalang hawa dingin. Jadilah saya meringkuk seperti beruang hibernasi. Sebelah saya seorang pria (lagi lagi India) yang langsung tarik selimut dan tidur. 2 kursi sebelah kanan ditempati pasangan (India lagi) pengantin baru. Hawa dingin bis cocok untuk mereka yang sedang bulan madu. Daripada ngiri mendingan tidur aja.
Bis melaju dijalan bebas hambatan yang lengang dengan kecepatan konstan. Meski jalanan kosong tidak sedikitpun bis ngebut. Salut dengan kedisiplinan para sopir dan armada bis. Coba itu di Indonesia sudah pasti tancap gas sekencang kencangnya. Entah pukul berapa kami dibangunkan oleh kondektur untuk turun dengan membawa semua barang bawaan kami. Rupanya sudah sampai diimigrasi Singapore-Malaysia. Dengan terkantuk kantuk kami turun. Beberapa penumpang menyeret luggagenya. Suasana sepi dan lengang. Pelayanan sangat cepat baik dari sisi Singapore maupun Malaysia. Bis sudah menunggu dibagian Malaysia atau tepatnya Johor Bahru. Bergegas kami masuk ke dalam bis dan melanjutkan tidur.
Menjelang pukul 4 pagi kondektur memberitahu agar kami bersiap siap turun karena bis sudah dekat IMBI station. Lha katanya jam 5 berarti saya kepagian. Rupanya ketika memasuki wilayah Malaysia bis melaju lebih kencang sehingga kedatangan lebih cepat 1 jam. Jadilah saya dan beberapa penumpang nongkrong dibawah stasiun MRT IMBI menunggu jam buka pada pukul 6 pagi. Masih lama men 2 jam. Beberapa sopir taxi menawari saya untuk menuju hotel. Seorang pemuda Bangladesh yang hendak melanjutkan perjalanan ke Thailand bertanya hotel.
Ditunjukkanlah hotel dibelakang gedung pertokoan dimana kami nongkrong. Dia pun jalan kesana tapi tak lama kemudia dia balik lagi. Wuaah, ternyata rate hotelnya mahal dia mau cari yang murahan. Ya jelas mahal lha wong bintang 5. Para sopir taxi langsung ngoceh katanya minta hotel yang bagus yaa ternyata nggak punya duit. Sok ah. Saya cuma nyengir melihat mereka ngomel. Sambil menunggu stasiun buka saya ngobrol dengan sopir taxi. Bosan ngobrol sayapun tidur tiduran dibawah tiang bendera tempat saya duduk sedari tadi. Jangan ditiru ya.
Pukul 6 pagi stasiun IMBI dibuka. Kami berlima yang menunggu dari pukul 4 segera naik keatas. Mbolang di Malaysia segera dimulai, tarataraaaa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H