Mohon tunggu...
Octorina Respatiningdyah
Octorina Respatiningdyah Mohon Tunggu... Swasta -

Pelancong jalanan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Patpong Night Market

27 Juli 2016   16:31 Diperbarui: 27 Juli 2016   16:38 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam terakhir di Bangkok, sepulang dari menjelajah Ayutthaya seharian, saya berniat mengunjungi Patpong Night Market. Ajakan teman dari Canada untuk mencoba Thai massage saya tolak meski ditraktir karena saya tidak punya waktu lagi selain malam itu. Meski lelah saya paksakan untuk mengunjungi pasar malam yang berjarak 200 m dari hostel tempat saya menginap di kawasan bisnis Silom. Patpong dahulu lebih dikenal sebagai red district area ketimbang sebagai pasar malam. Tidak heran masih bisa kita jumpai jejak red district disana.

Menuju pasar malam Patpong, dari hostel tempat saya menginap,  kita harus belok kiri kearah BTS Saladaeng lalu menyeberang jalan mengarah kekiri. Lurus saja hingga kita temui lapak lapak sepanjang jalan. Sekitar 100 m dari BTS Saladaeng belok kanan terdapat jalan yang dibagian tengah dipadati lapak lapak aneka barang dari souvenir, kaos, sepatu, tas, boneka, kaca mata dan lain lain. Harga disini lebih mahal dari harga di night market Chiang Rai atau Sunday market Chiang Mai. Menyesal juga tidak belanja beberapa barang di sana. Di bagian pinggir jalan terdiri dari toko toko yang menjual barang serupa tapi terlihat lebih mahal. Ada juga beberapa resto dengan menu Thai yang wanginya khas.

Beberapa penjual sangat ramah meski kita hanya lihat lihat, pegang barang dagangan lalu pindah tempat untuk perbandingan. Tapi ada juga yang seperti pedagang Madura yang tidak suka kalau kita cuma tanya,lihat, pegang tapi tidak membeli. Bisa disemprot habis. Saya mengalaminya ketika membatalkan membeli kaus karena model dan ukuran yang saya cari tidak ada. Ngomel panjang lebarlah itu inang sambil mengatur kembali dagangannya dengan kasar. Gondok setengah mati , ganti saya omeli lalu saya tinggal pergi dengan cuek. Mosok saya dipaksa beli baju warna pink bergambar gajah untuk keponakan laki hanya karena warna lain tidak ada. Herannya untuk urusan omel mengomel begini bahasa Inggris saya lancar sekali.

Menyusuri lapak demi lapak, agak ketengah, seorang pria berteriak teriak ‘Ping Pong Show, Ping Pong Lady’. Pria itu sibuk menawarkan kepada setiap orang yang lewat terutama pria. Bahkan tak segan dia menggamit lengan pria pria yang lewat untuk melihat brosur yang dibawanya dan menyeret mereka ke sebuah ruangan temaram dibelakangnya. Saya perhatikan didalam ruangan temaram itu beberapa wanita atau lady boy bergaya meliuk liuk diatas meja seperti penari ular. Mereka tersenyum melihat saya yang tertegun dipinggir jalan. House music berdentam dentam memekakkan telinga. Sayangnya tidak ada yang tertarik dengan tawaran pria tersebut. Mungkin belum terlalu larut malam atau karena saat itu masih hari kerja. Entah kalau akhir pekan.

Di Thailand istilah lady boy digunakan untuk para transgender. Umumnya mereka telah melakukan operasi pada bagian tertentu sehingga mirip wanita. Biasanya mereka lebih cantik dan lebih halus dari wanita tulen. Tapi ada juga yang masih terlihat macho seperti para pengamen waria disepanjang Malioboro. Hati hati jika anda tertarik pada wanita Thai, tolong dicek dulu keasliannya . Jangan sampai tertipu bungkusnya.

Jika anda mendengar istilah Ping Pong show atau Ping Pong lady istilah tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan olah raga ping pong atau tenis meja. Tidak akan kita temui bola atau meja ping pong. Ping pong show adalah pertunjukkan yang menonjolkan kemampuan lebih dari vagina. Yang melakukannya disebut sebagai Ping Pong lady. Apa sih kelebihan dari Ping Pong lady yang tersohor keseluruh dunia ini? . Seorang teman Philipinos yang menetap di Phuket bercerita bahwa dia pernah menonton pertunjukkan ini dan dibuat terperangah.

 Bayangkan para lady itu bisa meniup lilin kue ulang tahun, melempar bola pingpong , meremukkan buah (saya lupa dia menyebut nama suatu buah) dengan menggunakan vagina. Saya dan teman dari Canada cuma bisa melongo sambil bertanya bersamaan bagaimana cara dia melakukannya. Si Philippinos cuma menjawab ‘I don’t know, but I saw she did it’. Sayangnya saya tidak menonton pertunjukkan ini, selain kurang tertarik karena terlalu vulgar juga karena mahal. Bisa jebol kantong yang sudah menipis ini. Tertarik?

Hari sudah semakin larut malam, sekitar pukul 22.00 saya balik ke hostel. Dalam perjalanan balik disebuah lapak ada 2 orang nenek sedang melihat lihat barang dagangan sambil menunjuk sesuatu. Saya berhenti dan berdiri disebelahnya untuk melihat isi lapak. Wow, ternyata sex toys. Beraneka jenis dan ukuran untuk pria dan wanita. Saya cuma nyengir melihat aneka dagangan yang bebas digelar dipinggir jalan itu. Kedua nenek itu berbisik bisik sambil menunjuk ke beberapa item barang. 

Saya yang berdiri disebelahnya iseng bicara sedikit keras “ that’s a good one”. Serentak mereka menoleh kearah saya dan nenek yang tertua langsung berucap sambil jari telunjuknya digerakkan seperti memarahi  “ kamu nakal ya pasti kamu sudah pernah coba”. Sambil nyengir saya jawab: “No no, kan kalian yang tunjuk tunjuk barangnya. Kalian sudah pernah coba ya”? . 

Sambil tertawa mereka bilang sudah tidak perlu lagi hal hal seperti itu, hanya cuci mata untuk lucu lucuan saja. Mereka berasal dari Australia masing masing berumur 70 an dan 80 an. Mereka sangat sehat , masih jalan kemana mana. Beberapa bulan sebelumnya mereka berkunjung ke Bali. Keluhan mereka sama yaitu cuaca panas. Dengan sopan salah seorang nenek bertanya mengenai kerudung yang saya pakai dicuaca sepanas ini (suhu Bangkok saat itu 34C).

 Mengapa saya berkerudung, apakah tidak panas dll. Mereka yang tidak berkerudung saja rambutnya basah oleh keringat, bagaimana dengan saya yang tertutup rapat. Dengan manis saya jelaskan bahwa kerudung itu adalah bagian dari kepercayaan yang saya anut dan bahannya sangat dingin menyerap keringat. Untuk membuktikan nenek tersebut memegang kerudung yang saya pakai.

Karena ada sesuatu yang belum terbeli saya balik lagi ke deretan lapak di bagian tengah. Dalam perjalanan kembali ke hostel saya melihat kedua nenek Ausi berhenti lagi didepan lapak sex toys yang berbeda. Saya hampiri dan ganggu mereka “ hayoo mau beli yang mana?”. Mereka langsung tertawa ketika melihat saya “Ah kamu lagi, paling kamu yang mau beli”. Setelah say good bye saya tinggalkan kedua nenek yang masih melihat lihat setiap lapak . Menyeberang jalan kembali ke hostel berhenti sejenak dilapak sepatu yang ramenya minta ampun, padahal sudah larut malam. Setelah memilih dan mencoba saya beli sepasang sepatu seharga B 350.- atau sekitar Rp.140,000.- saya pernah melihat sepatu model ini di Indonesia harganya sekitar Rp.500,000.-

Kembali ke hostel kedua teman saya belum kembali dari massage. Setelah menyegarkan diri dengan mandi air panas matapun minta dipejamkan. Istirahat, persiapan pulang besok pagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun