Boleh jadi bagi sebagian besar orang nama tidak terlalu diambil pusing dan kurang dianggap bermakna. "Apalah arti sebuah nama," kata mereka. Padahal, nama merupakan salah satu hal yang sangat penting yang melekat pada seseorang atau tempat atau produk atau entitas lainnya. Sampe2 buah ciplukan pun memiliki nama.
Waktu masih ABG dulu saya teringat ada beberapa teman yang mempunyai nama panggilan. Nama aslinya Untung diganti dengan nama panggilan "Icay"; Supriatna menjadi "Onay"; Rais menjadi "Pitung", dan lain-lain. Kalau dipikir-pikir, ternyata mereka melakukan hal itu dengan tujuan memberikan citra pada dirinya sendiri yang berbeda dengan citra sebelumnya, sekaligus untuk mengasosiasikan diri mereka dengan hal lain yang mereka anggap "hebat". Misalnya si Untung merasa namanya terlalu "etnik" dan kurang gaul. Sehingga ketika dia menggunakan nama "Icay", dia berharap teman-temannya akan menganggap dia sekarang sebagai anak gaul, anak tongkrongan, dan kalau perlu dianggap prokem yang ditakutin oleh anak sebayanya. Sama juga dengan si Supriatna (Oya, saat saya ABG, nama panggilan banyak disukai yang berakhiran "...ay". Misalnya Icay, Onay, Alay, Kucay, sampe Capcay..!). Si Rais agak berbeda. Dia lebih suka dipanggil Pitung. Harapannya, dia kepingin diasosiasikan sebagai orang Betawi tulen (dan dia memang orang Betawi). Di samping itu Pitung merupakan legenda pendekar Betawi yang kebal terhadap apapun (kecuali terhadap rasa lapar); pitung adalah jagoan, itu intinya.
Dengan demikian tidak salah jika dikatakan bahwa nama merupakan salah satu hal yang penting. Nama mewakili filosofi, doa, asosiasi dan citra.
Dalam konteks filosofi misalnya ada orang yang bernama Gempur Soeharto. Ini maksudnya bukan karena orang tuanya suka dengan Soeharto (Mbahnya Orde Baru). Namun justru sebaliknya. Karena itu dia mengawalinya dengan kata "Gempur". Ini salah satu muatan filosofis.
Dalam konteks doa, ada orang yang dinamakan berbahasa Arab dengan "Fathan Mubiina" yang artinya "kemenangan yang nyata". Orang tuanya menitipkan doa pada nama itu, berharap anaknya dapat terus menang dalam menghadapi hidup (agak politis juga makna nama ini). Ada juga anak yang dinamai dengan "Nur" yang artinya cahaya. Doanya mungkin agar anaknya dapat selalu diterangi dan menerangi kehidupannya (atau cocok juga untuk jadi pegawai PLN).
Dalam konteks asosiasi, ada orang yang dinamai Wawan Gunawan. Nama ini agar dia diasosiasikan dengan suku tertentu di Indonesia, yakni suku Sunda. Atau ada yang bernama Stefanus, agar diasosiasikan dengan agama Kristen. Namun agak sulit juga kalau orang bernama Parjo atau Simenep. Akan diasosiasikan pada apa dia?
Yang terakhir dalam konteks citra. Ada orang yang dinamakan Muhammad. Ini diberikan agar orang itu mempunyai citra baik (seperti nabi Muhammad), gagah, Islamis, dan tentu bukan nama seorang koruptor atau maling sandal di Mushola (berat juga yang punya nama itu). Mari liat jg nama sbg citra sebuah produk. Kita tahu ada handphone bernama Apple. Kesan buah apel itu kan mahal, elegan, montok, manis, dan indah. Coba sekarang ganti namanya menjadi, misalnya, Jambu. Akan lain citranya. Sy tidak sedang menjelek2an buah jambu, tp agak kurang enak aja saat ada yg tny, "Pake handphone apa?" lalu sy jawb dng suara agak keras, "Jambu."
Memang ada nama-nama yang agak sulit dianalisa. Tapi dibalik itu, kita tau betul pentingnya sebuah nama, dan itu berlaku bukan hanya untuk nama orang, tapi juga berlaku untuk nama negara, kota, produk, dll. Dalam konteks ini saya mengadopsi pemikiran seorang teman (Bpk Joko Santoso, mantan Anggota Komisi X, DPR RI).
Bagi sebuah negara, kota atau produk, nama lebih diupayakan ke dalam konteks citra, asosiasi dan filosofi. Misalnya dulu ada sebuah negara bernama Guatemala. Nama yang mungkin biasa-biasa saja. Namun ketika negara itu diubah menjadi Guatemaya, negara itu nyaris meroket karena dianggap sebagai negara pewaris "sah" suku besar Maya. Untuk kota, ada kota-kota yang sengaja diubah namanya, namun ada juga yang dilekatkan slogan (tagline; yang merupakan bentuk visual dari personality) tertentu untuk mendongkrak citranya. Mereka menyebutnya "City Branding" (Branding kota).
Karena pentingnya sebuah nama, banyak orang yang sangat sadar untuk menciptakan nama yang sedapat mungkin dapat mencakup 4 hal di atas; filosofi, doa, asosiasi dan citra. Ini dikarenakan pada akhirnya, nama juga akan sangat mempengaruhi sikap, persepsi bahkan bisnis. Jika sudah terlanjur mempunyai nama yang agak "ganjil" (bukan unik), lebih baik segeralah mengganti nama Anda, tempat Anda atau produk Anda.
(Mudah-mudahan yang masih pake nama Abu Ringsek, Markonah atau Bedu mendapat pencerahan setelah membaca ini. Semoga bermanfaat....).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H