Mohon tunggu...
Robby Milana
Robby Milana Mohon Tunggu... -

Pihak kelurahan mencetak KTP saya dengan nama lengkap Robby Milana. Saya benar2 cuma orang biasa aja. Orang bilang, akar rumput. Saya gemar membaca, menulis, mendengar, dikritik dan menelaah apa saja yg singgah di indera-indera tubuh saya. Tidak ada hal yg istimewa dlm diri saya, kecuali saya selalu merasa gelisah menjadi warga Indonesia yg ingin negerinya selalu dihargai negara lain karena kualitas, bukan karena "gaya"-nya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Pop

27 Mei 2010   17:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:55 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jujur saja, jika ada seorang tukang sampah memberikan kontribusinya setiap hari demi kesehatan masyarakat, belum tentu kita mengenal orang itu. Toh, orang itu memang tidak terkenal. Ditambah, apa yang dikerjakannya merupakan hal yang remeh dan menjijikan. Saking remehnya, anak-anak ABG mengklaim dengan kalimat "ga penting banget gitu loh."

Dan jujur sajalah bahwa kita juga tidak mau tahu bahwa di pedalaman sana mungkin ada para guru yang memiliki dedikasi tinggi telah mati dalam pengabdiannya. Mereka mungkin tergelincir ke dalam sungai saat sedang menyeberang menggunakan rakit, tertimpa bahan bangunan sekolah yang memang sudah rapuh, atau mungkin karena gajinya tidak cukup untuk makan 2 kali sehari.

Tapi jujur ya, kita pasti kenal dengan Manohara. Gadis cantik yang tempo hari sering tayang di media karena perselisihannya dengan Sultan Kelantan, suaminya. Jujur jugalah bahwa kita memang mengenal Michael Jackson, dan kita bersimpati atas kematiannya belum lama ini.

Dari kejujuran yang kita ungkapkan di atas, kita bisa lihat bahwa ada perbedaan dalam otak kita ketika memandang dan mempersepsikan orang. Bisa jadi pandangan kita yang berbeda itu merupakan bukti bahwa kita tidak adil. Kita lebih suka melihat orang yang bagus, kaya, bergengsi, terkenal...

Tapi, jika kita melakukan itu, sebenarnya itu tidak sepenuhnya salah kita. Kita mempunyai pandangan tidak adil tadi karena pandangan kita telah dibentuk oleh media. Apapun pendapat para ahli komunikasi mengenai hal ini, saya yakin para ahli itu tidak akan membantah bahwa media mempunyai peran dan pengaruh yang besar dalam membentuk sikap, tingkah laku dan pandangan-pandangan kita. Media, baik media cetak maupun elektronik, telah memberikan efek yang dasyat pada diri kita dalam melihat sebuah realitas.

Hampir semua media memiliki ideologi. Kadang ada perbedaan ideologis di antara media. Namun ada sebuah ideologi yang pasti sama, yakni ideologi bahwa media ingin mendapatkan penerimaan dari masyarakat (public acceptance). Karena keinginan untuk mendapatkan penerimaan dari masyarakat itu, media menayangkan apa yang disukai oleh sebagian besar masyarakat. Ini yang disebut dengan budaya popular.

Jadi kalau kita, sebagai masyarakat, tidak suka dengan sinetron berbau pendidikan, maka tidak ada media yang akan menayangkan sinetron bertema pendidikan. Untuk apa mereka menayangkannya? Toh tidak akan laku dijual. Bahkan media bisa rugi besar. Tidak ada iklan yang masuk. Iklan juga kan kurang suka dengan pendidikan. Iklan juga ideologis.

Budaya popular menganut prinsip bahwa apa yang digandrungi oleh sebagian besar masyarakat, maka itu yang mendapat dukungan dari berbagai pihak. Wajar jika film atau lagu-lagu cinta banyak tampil di dalam media, itu karena masyarakat menyukainya. Wajar jika film ilmiah dan atau lagu-lagu bertema patriotis tidak laku, karena masyarakat tidak menyukainya. Boleh jadi budaya popular merupakan anak cabang dari ideologi kapitalisme. Dan mindset public acceptance tadi menjadi rantingnya.

Repotnya, ketika ada seorang calon Presiden yang menurut kita cerdas, jujur, berwibawa dan pro-rakyat, namun fisiknya jelek, pendek, cara bicaranya tidak enak, bisa jadi calon Presiden itu kalah telak. Kenapa? Karena dia tidak didukung oleh mayoritas masyarakat. Bukankah masyarakat kita lebih suka dengan hal-hal yang bersifat eksplisit-apriori-sederhana? Jadi yang dinilai umumnya sebatas fisiknya. Kalau begini pasti yang didukung masyarakat adalah calon Presiden yang ganteng atau cantik, kelihatan baik, pendiam, dan tentu saja yang gagah, walau calon Presiden itu bodohnya tujuh turunan, korup dan pandai berpura-pura demi menyenangkan hati masyarakat.

Ini berbahaya kan?

Ya memang. Tapi mau bagaimana lagi. Masyarakat kita memang begitu. Media kita juga begitu. Boleh juga disimpulkan bahwa budaya popular ya...begitu deh. Kita juga begitu sih!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun