Akan tetapi wilayah Wiradesa telah melalui sejarah yang cukup panjang dan mempunyai peran sebagai daerah di kawasan pesisir yang begitu potensial secara ekonomi, sosial dan percaturan politik di masa silam.
 Nama Wiradesa sendiri untuk pertama kali tercatat dalam sumber tertulis dalam perjalanan Dr. De Haen di tahun 1662 yang melakukan perjalanan dari Batavia ke Plered. akan tetapi Wiradesa saat itu sebagai wilayah yang berstatus apa dan bagaimana belum jelas pada catatan tersebut. lalu bagaimana kondisi Wiradesa di era Mataram Islam ?
 Perlawan Trunajaya menjadi babak awal dari perseteruan para bangsawan Mataram setelah mangkatnya Sultan Agung, dan pada masa-masa selanjutnya memunculkan peran wilayah yang tadinya tersilam, Wiradesa diantaranya.
 Koalisi yang dipimpin oleh Trunajaya melakukan aksi kampanye militernya pada tahun 1674 dengan tujuan melawan Mataram yang dipimpin oleh Amangkurat I. kemenangan demi kemenangan saat itu diraih oleh pasukan Trunajaya atas Mataram, hingga pada tahun 1676 hingga januari tahun 1677 wilayah Pasisir telah jatuh ke tangan pasukan Trunajaya termasuk Pekalongan dan wilayah sekitarnya.
 Puncak dari kemenangan dari Trunajaya adalah jatuhnya ibukota Plered di bulan Juni tahun 1677, yang memaksa Amangkurat I harus meninggalkan singgasananya. dalam perjalanannya sebagai pelarian, sunan Amangkurat I meninggal dan di makamkan di Tegal.
 Selanjutnya anak dari Amangkurat I, R. M Rahmat mengangkat dirinya sebagai penerus takhta ayahnya dengan gelar Amangkurat II dalam suasana gonjang-ganjing Mataram akibat ulah Trunajaya.
 Melihat ada kesempatan, Amangkurat II mendekati VOC untuk berkerjasama memberangus pasukan Trunajaya pada September 1677  demi monarki Mataram atasnya. sebagai korporasi agang tentunya VOC meminta ada timbal balik atas bantuannya terhadap Amangkurat II, yaitu konsesi luas VOC atas wilayah pesisir dan Priangan dan hal itu disetujui oleh Amangkurat II.
 Selama tiga tahun sampai Januari 1680 pasukan Mataram dan VOC telah merebut kembali wilayah yang dikuasai pasukan Trunajaya, hingga sampailah pada peristiwa di Payak dimana Trunajaya dieksekusi mati oleh Amangkurat II sendiri.
 Konsesi atas wilayah Pasisir yang didapat VOC dari perjanjian dengan Amangkurat II itu mulai dimanfaatkan oleh koorporasi dagang tersebut, yaitu dimulainya dibangun loji dagang di kota-kota Pelabuhan seperti Demak, Pekalongan, Tegal, Rembang dan Surabaya di tahun 1682.
 Perjanjian antara VOC dan Amangkurat II ternyata tidak serta-merta diwariskan oleh pewaris takhta Mataram selanjutnya, Amangkurat III. Sepeninggal ayahandanya, Amangkurat III berusaha untuk melepaskan diri dari perjanjian dengan VOC, yang dahulu dibuat oleh Amangkurat II. Hal itu tentu saja memicu ketidaksukaan VOC terhadap raja, dan momen ini dimanfaatkan oleh Pangeran Puger yang tak lain merupakan paman Amangkurat III.