Konon petuah para sujana cendekiawan mengatakan bahwa kebenaran adalah pelita kehidupan. Menjalankan kehidupan pribadi maupun bermasyarakat tanpa dipedomani kebenaran pastilah akan bermasalah. Lalu apakah kebenaran itu, apakah pemahamannya memang universal, sama bagi semua umat manusia. Dari mana umat manusia mengerti dan memahami kebenaran? Dikatakan kebenaran sejati adalah milik Tuhan Yang Maha Benar. Dengan caraNya kebenaran diresapkan ke dalam sanubari / hati nurani umat manusia secara langsung ataupun melalui manusia-manusia terpilih. Atau dalam versi lain ada manusia terpilih yang dengan segala daya dan kesadaran mencari kebenaran sejati untuk kemudian diteruskan kepada umat manusia yang lain. Kalau prosesnya demikian maka kebenaran tersebut berasal dari satu sumber dan diresapkan menjadi pengertian kepada umat manusia melalui hati nuraninya. Dan karena dari satu sumber mestinya berlaku secara universal. Manusia-manusia terpilih itupun menularkan pengertian kebenaran ini dengan menyentuh hati nurani , kalau orang Jawa menyebutnya melalui “rasa/roso”. Senyatanya pengertian kebenaran sangat sulit didefinisikan. Kalau ditanya apa kebenaran itu, karena pada hakekatnya kebenaran menyangkut berbagai masalah, paling gampang orang Jawa akan menjawab “ya dirasakan saja”. Mereka yakin kalau kita menggunakan rasa maka hati nurani kita pasti akan membisiki makna kebenaran itu, hati nurani tidak bisa bohong.
Di depan disebutkan kalau menjalankan kehidupan pribadi maupun bermasyarakat tanpa dipedomani kebenaran pastilah akan bermasalah. Kenyataannya kehidupan bermasyarakat kita saat ini sangat-sangat bermasalah. Apakah kita sudah meninggalkan kebenaran artinya juga sudah mengesampingkan bisikan hati nurani? Rasanya memang demikian adanya. Kebenaran telah digusur oleh pembenaran. Pembenaran adalah produk olah pikir untuk tujuan tertentu, kadang-kadang masih sejalan dengan kebenaran produk/rasa hati nurani tetapi seringnya sangat terindikasi bertentangan dengan hati nurani. Pembenaran berkonotasi hal yang tidak benar dijejalkan kepada umum bahwa itulah yang benar. Dari perilaku menyimpang yang menyangkut ranah pribadi sampai hal yang menyangkut kebijakan publik yang tidak pro rakyat dibela dengan pembenaran yang dipaksakan. Kalau disimak banyak pengaturan maupun praktek baik di bidang perundangan, hukum, ekonomi, politik dan lain-lain dapat dirasakan apakah alasan-alasan yang dikemukakan dilandasi kebenaran atau pembenaran. Jika hati nurani tidak bisa bohong kenapa masih ada yang melakukan pembenaran. Kalau dikatakan di atas bahwa pembenaran adalah produk olah pikir / logika, apakah lalu kita tidak boleh menggunakan logika dalam bertindak. Disinilah masalahnya. Penggunaan logika adalah wajib hukumnya, karena logika adalah karunia Tuhan YME yang diberikan kepada kita umat manusia. Namun penggunaannya pastilah diharapkan untuk tujuan kebaikan dan manfaat yang lebih besar. Agar harapan itu terwujud mestinya harus ada sinergi positif antara logika dan hati nurani yang tidak bisa bohong itu, sehingga keluarannya adalah kebenaran bukan pembenaran. Hati nurani menjadi pemandu logika. Karena hati nurani yang tidak bisa bohong tersebut maka tidak mungkin terjadi sinergi negatif dengan logika. Yang terjadi adalah logika dengan sengaja mengesampingkan bisikan hati nurani. Kalau sudah demikian maka logika akan berjalan menurut alur menuju kepada pemenuhan kepentingan tertentu yang biasanya untuk manfaat diri sendiri atau golongannya saja. Tidak peduli merugikan orang lain ataupun masyarakat banyak. Perdebatan suatu masalah yang hanya didasarkan logika tanpa dipedomani hati nurani dapat dipastikan akan menjurus ke debat kusir yang berkepanjangan karena bukan manfaat untuk kepentingan bersama yang dicari tetapi hanya demi kepentingan masing-masing dengan menonjolkan pembenaran argumentasinya sendiri. Ikutan dari mengesampingkan hati nurani adalah tipisnya rasa malu yang bersangkutan. Celakanya praktek pembenaran ini banyak dilakukan oleh mereka yang berkedudukan sangat dapat mempengaruhi jalannya roda kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini. Bahkan proses peradilan yang menjadi ajang suci mencari kebenaran pun sejak proses awal sampai akhir telah terkontaminasi oleh oknum-oknum yang lebih mengedepankan pembenaran dari pada mencari kebenaran. Dan yang sangat menyedihkan adalah “penyakit pembenaran” ini mudah menular bak pepatah “guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Praktek pembenaran menjamah berbagai bidang kehidupan dan dilakukan oleh segala lapisan masyarakat. Akibatnya pembenaran seolah telah menjadi budaya kita yang tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Sejatinya pembenaran ada juga yang bisa/boleh dilakukan, hati nurani merasa melakukan pembohongan tetapi dapat menyetujui logika karena perhitungan manfaatnya yang akan lebih besar bagi kepentingan umum. Dalam pewayangan disebutkan demi memenangkan perang baratayudha (memenangkan kebaikan) Yudistira yang selama hidup tidak pernah bohong diminta oleh Kresna untuk berbohong saat ditanya oleh Durna akan kebenaran kematian anaknya yang bernama Aswatama, padahal yang mati adalah gajah yang bernama Hestitama, sehingga Durna kalut pikirannya dan bisa dikalahkan perangnya. Eloknya , pembenaran untuk kebaikan inipun Yudistira tetap mendapat hukuman yakni konon sejak saat itu dia harus menapak tanah yang tadinya karena kejujurannya / tidak pernah bohong mendapatkan keistimewaan kakinya tidak menyentuh bumi. Lalu hukuman apakah yang akan diterima oleh mereka yang melakukan pembenaran demi kepentingannya sendiri dan merugikan kepentingan bersama itu, walahualam. Semoga anda bukan salah satu dari mereka, amien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H