Mohon tunggu...
WAHYUNI SU
WAHYUNI SU Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku, jurnalis web, penerjemah ('translator'), editor ... masih terus belajar tentang segala sesuatu

'... memegang teguh disiplin lahir dan batin,percaya pada diri sendiri, dan mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi maupun golongan'

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

51 Tahun Menwa Yon II Unpad dan Nostalgia Patriotik

11 November 2015   10:27 Diperbarui: 11 November 2015   13:20 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Tetap konsisten berkontribusi untuk bangsa dan kemanusiaan (dok WCD)"][/caption]Pada hari ini (11/11) eksistensi Korps Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon II Universitas Padjadjaran Bandung yang populer dengan sebutan Korps Yon II Unpad telah memasuki usia yang ke-51. Ada banyak kisah tentang kiprah mereka yang berhubungan dengan jatuh-bangunnya bangsa ini dalam upaya mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sepenggal nukilan berikut ini adalah sebagian kecil saja daripadanya sebagaimana ditulis oleh Wahyuni Susilowati dalam buku Patriotisme & Dinamika Resimen Kampus (Nuansa Cendekia, 2012).

Bila menilik soal peranan civitas Korps Yon II Unpad dalam berbagai momen bersejarah yang memiliki dampak signifikan dalam pertumbuhan bangsa Indonesia, maka para anggota Kompi III (satuan Menwa Unpad sebelum terjadi pemekaran batalyon pada 1964-1966 –pen.) yang akhirnya bersama para lulusan pendidikan-latihan dasar WALA (Wajib Latih, semacam wajib militer, -pen.) Unpad menjadi perintis lahirnya Batalyon II Unpad dengan membentuk Kompi A, bisa dibilang memiliki khasanah pengalaman bela negara yang seolah tak kunjung habis untuk diceritakan.

Kompi A terbentuk dari penggabungan mantan anggota Wala 59 ditambah para lulusan dari tiga diklatsar berbeda; yaitu Diklatsar I/Agustus 1964 dengan peserta sebanyak limapuluh mahasiswa dari Fakultas Kedokteran dan dibimbing oleh tim pelatih dari Pusat Pendidikan Infanteri (Pusdikif)-Bandung, Diklatsar II/September 1964 dengan peserta sebanyak tigapuluh mahasiswa putri dari berbagai fakultas yang dilatih di Pusat Pendidikan Korps Wanita Angkatan Darat (Pusdik Kowad) di daerah Lembang (Syarief Barmawi menyebutkan bahwa sebagian kader putri ini juga mendapat pendidikan dari Komando Pasukan Gerak Cepat yang sekarang berubah menjadi Kopaskhas- pen.) , dan Diklatsar III/ Oktober 1964 dengan peserta sebanyak 101 mahasiswa dari sembilan fakultas yang  juga ditangani oleh tim pelatih dari Pusdikif.

Upacara pelantikan para lulusan diklatsar Gelombang III sempat diwarnai ketegangan ketika mereka juga mendesak lulusan Gelombang I untuk menjalani pelantikan bersama yang tentu saja ditentang habis-habisan karena menurut Norman T Lubis,” Kami,kan, sudah dilantik, jadi buat apa harus mengikuti pelantikan lagi?” Toh, akhirnya kedua angkatan itu sepakat untuk lebih mementingkan kebersamaan,”Kami dari Fakultas Kedokteran menyimpan baret yang sudah kami dapat dari pelantikan sebelumnya di balik kemeja dan mengenakannya pada saat acara pembaretan berlangsung.”

Perkembangan selanjutnya, seluruh anggota putra dihimpun dalam Kompi A dan anggota putri disatukan dalam Kompi B hingga bisa dikatakan bahwa kedua kompi tersebut lahir dalam rentang waktu yang sama. Lalu muncullah sebuah fenomena yang menarik saat harus ditunjuk seseorang untuk menjadi Komandan Batalyon (Danyon) saat itu.

Ketegangan yang sempat muncul saat pelantikan kader Gelombang III kini merebak kembali. Masing-masing angkatan merasa berhak mengajukan calon untuk menduduki posisi itu. Nugraha Besoes menuturkan bahwa kesepakatan menetapkan Joesoep Ma’moen (alm.) yang merupakan eks Wala 59 sebagai Danyon selain karena faktor kualitas kepemimpinan yang dimiliki juga dilakukan demi menjaga netralitas dan selanjutnya untuk mewakili aspirasi setiap gelombang, termasuk kompi putri, maka dipilih tiga orang Wakil Komandan Batalyon (Wadanyon) untuk mendampinginya. Begitulah Winahjo Hardjoprakoso (Fakultas Kedokteran), Sri Tutini (Sosial Politik), dan Nugraha Besoes (Ekonomi) pun tercatat sebagai Wadanyon generasi pertama dalam sejarah Korps Yon II Unpad.

Salah satu momen bersejarah dalam perjalanan kiprah anggota Kompi A dan Kompi B yang cukup monumental terjadi pada tahun 1965 menjelang terjadinya peristiwa makar Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (lebih dikenal dengan G30S/PKI – pen.). Saat itu berbagai kampus perguruan tinggi, termasuk Unpad, menjadi arena perebutan pengaruh dari berbagai organisasi massa (ormas) yang berideologi nasionalis, agama, maupun komunis sebagai imbas dari kebijakan Nasakom yang saat itu dianut oleh rezim orde lama di bawah pimpinan Presiden Sukarno.

Tiga ormas paling dominan di kampus Unpad adalah GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia, organisasi mahasiswa bentukan Partai Nasionalis Indonesia / PNI –pen.), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam, berafiliasi pada partai-partai Islam –pen.), dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, menginduk pada PKI –pen.). Namun berdasarkan analisa Norman T Lubis, yang melihat dan merasakan langsung dinamika politik dalam kehidupan kampus saat itu, ormas nasionalis di era Sukarno memiliki kecenderungan yang sangat tinggi ‘merapat’ pada ideologi komunis.

Kenetralan Menwa yang tidak memihak pada golongan manapun telah mengokohkan kredibilitas Yon II sebagai satu-satunya institusi yang bisa dipercaya oleh berbagai kalangan untuk menjadi stabilisator dalam pasang-surut pergolakan politik di kampus. Tak heran jika mereka akhirnya diserahi tugas selaku penyelenggara pengamanan di seantero kampus,”Bahkan pernah ada suatu masa dimana semua pihak yang akan beraktifitas di kampus termasuk mahasiswa, dosen, dan segenap karyawan Unpad baru bisa masuk ke area kampus Dipati Ukur setelah mendapat kartu pass (semacam keterangan ijin untuk masuk –pen.) dari Posko Yon II.” Lanjut Norman..

Joni P Soebandono, rekan sekompi Norman, memiliki kenangan khusus pada saat Kampus Unpad di masa kepemimpinan Rektor Sanoesi Hardjadinata terpilih menjadi tempat penyelenggaraan Kongres Persatuan dan Kesatuan PNI / FM (= Front Marhaenis) pada 24-27 April 1966 di Bandung yang merupakan Kongres Nasional ke-11. Saat itu Yon II sebagai satu-satunya pihak yang diberi tanggung jawab untuk pengamanan lokasi kongres melakukan semacam razia senjata dan screening ( semacam penyaringan ideologis untuk memastikan tidak ada pihak-pihak, terutama penganut paham komunis, yang muncul mengacaukan kongres – pen.).

“Waktu itu Posko Yon II jadi mirip gudang senjata karena penuh dengan senjata hasil rampasan waktu razia, terutama dari jenis pistol.” Tutur Joni seraya menambahkan momen bersejarah lain baginya,”Pernah suatu ketika Kampus Dipati Ukur dikepung rapat oleh massa berbaju merah Pemuda Rakyat (ormas PKI –pen.) selama tiga hari tiga malam, saya pun menyamar dengan bersarung  a la tukang becak dan menyusup ke warung tempat mereka biasa makan untuk mengorek informasi waktu penyerangan.” Ternyata mereka hanya diperintahkan mengepung dan semalam sebelum peristiwa G30S terjadi,,massa pengepung itu membubarkan diri.

Para pendahulu telah membuktikan keberanian  dan kecerdasan mereka dalam menangani sebuah peristiwa yang berpotensi destruktif, kini giliran para generasi penerus mereka memperlihatkan kepiawaian dalam hal yang sama dengan pola yang telah berubah sedemikian rupa seiring perjalanan waktu … DIRGAHAYU YON II UNPAD !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun