Hari rabu malam, tepatnya tanggal 29 Maret 2023 sebuah keputusan dibuat oleh FIFA. Penyelenggaraan pentas piala dunia bagi kelompok umur usia 20 tahun yang sedianya digelar di Indonesia secara resmi dibatalkan oleh FIFA. Nampaknya keputusan ini tidak terlalu mengejutkan karena sudah bisa diprediksi mengingat situasi yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Namun tetap saja keputusan ini menjadi pukulan telak bagi banyak orang terutama para penggiat sepakbola di Indonesia, mulai dari pemain, penikmat sepakbola, sampai federasi.
Penyelenggaraan yang hanya tinggal menghitung hari (tidak lebih dari 2 bulan lagi), segala persiapan yang sudah dilaksanakan, baik itu dari tim sepakbolanya, infrastruktur, kegiatan-kegiatan pendukung, semuanya seakan-akan pupus dan lenyap dalam semalam setelah keputusan FIFA keluar.
FIFA sendiri hanya menuliskan “situasi terkini” menjadi alasan penyelenggaraan piala dunia U-20 di Indonesia harus dibatalkan. Tetapi kita semua sejatinya sudah tahu apa situasi terkini yang melatarbelakanginya.
Berbagai penolakan terhadap timnas Israel dari beberapa pihak setidaknya penulis yakin menjadi faktor dominan (apabila ada kemungkinan bukan satu-satunya alasan). Salah satu syarat utama terselenggaranya event ini adalah bagaimana negara penyelenggara harus bisa memberikan jaminan (baik itu keamanan, kenyamanan, tercukupinya setiap kebutuhan, dll) kepada setiap negara atau tim peserta tanpa terkecuali. Dan lagaknya melihat “situasi terkini” yang terjadi, FIFA tidak melihat jaminan itu bisa diberikan.
Lalu apa saja dampak dari keluarnya keputusan ini?
Ada beberapa dampak, baik dari sisi olahraga, ekonomi, bahkan dari sisi politik luar negeri dan diplomasi. Penulis akan coba menjabarkannya pada artikel ini. Tetapi sebagai disclaimer, tulisan ini berupa opini penulis, melihat dan menganalisa dari situasi yang terjadi. Setiap pembaca berhak memiliki pandangannya sendiri walaupun berbeda dengan apa yang penulis sampaikan.
Penulis mulai dari dampak pertama dan paling utama yaitu dari sisi olahraga, sepakbola pada khususnya. Jelas sudah bahwa keputusan ini membuat timnas muda sepakbola Indonesia U-20 gagal mendapat kesempatan merasakan atmosfer kompetisi tingkat dunia. Padahal mereka ini menjadi tulang punggung dan harapan perkembangan sepakbola Indonesia di masa mendatang.
Memang kita bisa merasakan ikut serta bukan lewat jalur kualifikasi, tetapi bukan berarti tidak ada kebanggaan yang bisa digenggam. Nyatanya status tuan rumah gelaran akbar ini selalu diperebutkan banyak negara. Karena selain pengalaman penyelenggaraanya, pengalaman kompetisinya sangat berharga bagi negara yang sepakbolanya masih belum terlalu maju. Kapan lagi merasakan melawan raksasa-raksasa sepakbola dunia dalam atmosfer kompetisi resmi.
Persiapan panjang para punggawa timnas U-20 pun perlu dipikirkan. Entah bagaimana rasanya hati dan jiwa para anak muda ini yang sudah melakoni persiapan begitu panjang, melelahkan, dan mungkin harus mengorbankan banyak hal mulai dari keluarga, pendidikan dan yang lainnya demi memberikan kebanggaan kepada keluarga, masyarakat dan negara. Kemudian dalam waktu yang begitu singkat, hanya beberapa hari gejolak penolakan itu naik sangat cepat dan menghasilkan keputusan yang memupuskan segala persiapan berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun itu.
Kemudian dengan kondisi seperti ini dan apabila tetap terus seperti ini, agenda olahraga apapun yang bertaraf dunia, Indonesia tidak akan pernah bisa menjadi tuan rumah. Karena selama perhelatan itu bertaraf dunia, ada potensi Israel akan ikut serta.
Dan selama negara dan orang-orang di dalamnya tidak berstandar ganda, berarti kita tidak akan pernah bisa menjadi penyelenggara karena tidak bisa menerima kehadiran kontingen Israel. Bahkan federasi olahraga dunia pun sudah akan berpikir diawal kalau Indonesia mengajukan diri sebagai tuan rumah, tentu ini jadi kerugian besar bagi perkembangan olahraga Indonesia, dan daya saing kita dalam peyelenggaraan kompetisi tingkat dunia.
Belum lagi potensi sanksi dari FIFA yang masih akan didiskusikan lebih lanjut. Melihat dari hubungan ketua PSSI, presiden Indonesia, dan presiden FIFA saat ini, sepertinya kalaupun ada sanksi tambahan yang akan dijatuhkan, penulis yakin tidak akan terlalu berat. Tetapi tetap saja mungkin akan berpengaruh pada atmosfer sepakbola nasional, padahal pelaku sepakbola dan penikmat sepakbola di Indonesia ini sangat besar. Entah bagaimana kerugian yg akan didapat masih harus menunggu keputusan sanksi, tetapi potensi itu jelas ada.
Dari segi ekonomi dan keuangan negara, di tengah kondisi global yang sampai saat ini masih belum stabil sejak munculnya pandemi covid-19, pemerintah telah menggelontorkan dana yang tidak sedikit dalam rangka mempersiapkan piala dunia U-20 ini.
Mulai dari renovasi besar-besaran terhadap stadion venue piala dunia dan lapangan latihnya di 6 kota tuan rumah. Anggaran pembinaan, belum anggaran khusus untuk eventnya yg semuanya berujung pada pembatalan. Memang untuk renovasi stadion bukan sebuah kesia-siaan karena tentu saja bisa dipakai oleh tim sepak bola pada liga dalam negeri, setidaknya meningkatkan level standar liga di Indonesia. Tetapi anggaran lain yang juga tidak sedikit dalam rangka persiapan ini pada ujungnya hanya berakhir sia-sia.
Sebagai gambaran kerugian ekonomi dan keuangan negara, dari beberapa sumber berita yang penulis baca. Modal yg dikeluarkan untuk persiapan diperkirakan mencapai 1,4 trilyun. Tentu tidak semuanya akan dianggap kerugian, karena semisal anggaran renovasi tetap ada hasil yang bisa dinikmati kedepan. Tetapi tetap tidak sedikit yang sia-sia. Juga andaikata keputusan sanksi menyebabkan liga berhenti, akan ada potensi kerugian lain yang muncul.
Belum lagi hilangnya potensi pendapatan luar negeri dari turis yang akan mendukung tim mereka (walaupun tidak akan seramai piala dunia senior). Dan jangan lupa potensi perputaran ekonomi dalam negeri selama terselenggaranya piala dunia U-20 ini melihat masyarakat penikmat sepakbola di negara ini sangat besar. Semua potensi ini pada akhirnya hilang dan tentu menjadi hitung-hitungan kerugian perekonomian negara.
Dari sisi politik luar negeri dan diplomasi ternyata Indonesia bisa merugi. Sisi ini yang beberapa hari belakangan menjadi perdebatan sengit diantara dua kubu yang menerima Israel bermain dan yang menolak.
Penulis baca penolakan setidaknya didasarkan pada 2 alasan: pertama untuk mengamalkan pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, yang lainnya atas dasar bentuk simpati dan empati kepada Palestina karena persamaan agama, sesama saudara seiman, di mana kedua alasan ini menghasilkan penolakan, seolah apabila Israel diijinkan masuk dan bertanding di Indonesia diartikan menerima bahkan mendukung penjajahan. Namun benarkah demikian?
Penulis sih secara pribadi masih belum bisa memahami bagaimana hubungan sebuah kompetisi sepakbola sebagai sebuah bentuk dukungan atau pengakuan atas penjajahan. Padahal olahraga terutama sepakbola dikenal sebagai jalan ampuh penyelesaian konflik. Buktinya, negara boleh berkonflik tetapi ketika dipertemukan dalam rangka olahraga, semua bisa berpesta berpesta Bersama dan tentu ini jalan masuk untuk perdamaian.
Penafsiran dari pembukaan UUD pun agaknya juga masih berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ini pula yang kemudian menjadi perdebatan dan terpecahnya setidaknya dua pandangan apakah menerima kehadiran timnas Israel adalah sebuah pengakuan terhadap penjajahan dan apakah itu berarti melanggar pembukaan UUD 1945. Terlepas dari perdebatan dan perbedaan penafsiran itu, nyatanya penolakan yg keras ini menjadi satu masalah yang akhirnya menjadi petaka bagi Indonesia sendiri.
Pihak-pihak yg menolak malah lebih terlihat lepas tangan setelah menyampaikan penolakannya dan seolah-olah menyerahkan ke presiden untuk bisa dan mampu bernegosiasi mencari jalan tengah. Yang terjadi adalah ungkapan lempar batu sembunyi tangan. Mereka melempar bola panas penolakan, kemudian menyerahkan kepada presiden dan ketum PSSI bola panas yang sudah liar itu untuk dicarikan jalan keluar.
FIFA bersikap tidak mau mengambil kompromi, tidak ada jalan tengah yang didapat, dan Indonesia dinyatakan batal menjadi tuan rumah. Ini bisa menjadi peringatan dan bukti bagi orang-orang yang terlalu percaya diri seolah bangsa Indonesia ini bangsa yang punya daya tawar besar untuk merubah keputusan-keputusan dunia.
Nyatanya negara kita yang besar ini pun tetap perlu menaati aturan main yang berlaku di dunia internasional. Untuk memperjuangkan sebuah keputusan internasional tidak bisa hanya dilakukan bangsa ini sendiri.
Diplomasi tidak boleh dan tidak bisa dilakukan secara kaku dengan seenaknya menolak sebuah kehadiran sebuah kontingen negara dan memaksa dunia internasional untuk mematuhinya. Yang ada bangsa kita yang ditinggalkan.
Penulis dengan berat hati harus mengatakan bahwa dibatalkannya Indonesia menjadi tuan rumah piala dunia U-20 ini, yang karena penolakan beberapa pihak terhadap tim Israel dengan dasar bentuk dukungan kepada Palestina dan usaha menghapuskan penjajahan, malah menjadi bentuk kegagalan diplomasi negara ini untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Israel tidak mendapat sanksi apapun, dan Indonesia menerima resiko kegagalan diplomasinya dengan ditinggal dalam event piala dunia U-20 ini. Bukan karena yg diperjuangkan salah sebenarnya, tetapi caranya yang tidak tepat.
Ditambah lagi mungkin perjuangan kedepan malah akan lebih sulit, karena bisa jadi anak-anak muda, penerus bangsa ini yang sebetulnya diawal memiliki pandangan sama untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa lain, karena kejadian ini berubah menjadi apatis, melihat bahwa cara memaksa yang dilakukan beberapa tokoh dan kelompok untuk menolak kehadiran “penjajah” dalam sebuah ajang olahraga malah merugikan negara sendiri, menguburkan mimpi anak bangsa sendiri.
Pada akhirnya keputusan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia U-20 oleh FIFA menjadi kekalahan telak bagi bangsa Indonesia. Kekalahan dari potensi perkembangan olahraga di negara ini, kekalahan dari peningkatan daya saing Indonesia untuk mengadakan kompetisi-kompetisi olahraga dunia, kekalahan dari sektor ekonomi negara, pun kekalahan dalam diplomasi atas dasar memperjuangkan kemerdekaan bangsa lain yang dilakukan bahkan sampai harus mengorbankan mimpi anak bangsa. Semuanya sia-sia, bukan?
Semoga kedepan bangsa ini sadar dan belajar bahwa dunia ini terus berkembang, cara-cara untuk bertahan hidup, bersaing, dan berdiplomasi juga terus berkembang. Cara kaku dengan penolakan-penolakan seperti yang terjadi ini, apalagi sendirian, tidak lagi bisa dilakukan untuk memenangkan dan memberi perubahan pada dunia. Momen kekalahan telak bangsa Indonesia saat ini semoga menjadi titik awal perubahan strategi kita hidup bersama masyarakat dunia. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H