Kali ini dari kalangan masyarakat sampai aparatur pemerintahan bahkan setingkat menteri sampai turun tangan. Yang jadi masalah, pemeran lansia ini tidak merasa menyesal, apalagi merasa dieksploitasi, karena menurut beliau dengan melakukan kegiatan itu bisa mendapatkan jauh lebih banyak uang dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya sebagai buruh tani, bahkan perbedaannya bisa mencapai berpuluh kali lipat.
Sudah jadi rahasia umum tidak pernah hilangnya pengemis di negara ini karena memang pendapatan mereka bisa lebih banyak, bahkan jauh lebih banyak dibanding orang-orang yang bekerja secara normal.
Ketika yang jadi pemeran, yang sebenarnya sedang dieksploitasi saja tidak merasa menyesal, apalagi yang di balik layar mengatur produksi konten, yang ada malah kebanggaan yang bahkan ditunjukkan sampai bisa diundang ke stasiun tv besar.
Dengan bangganya menceritakan tentang keberhasilan dalam usahanya membangun konten, dan apa yang dia sudah bisa raih. Bahkan ketiga ada orang yang meminta untuk menyudahi dengan memberikan ganti siap untuk mempekerjakan, yang bersangkutan malah meminta ganti uang yang tidak sedikit.
Dalam fenomena ketiga ini kenapa penulis bisa bilang pemeran sedang dieksploitasi padahal pemeran dibayar? Ya karena yang didapat pembuat konten jauh lebih besar lagi daripada pemerannya, padahal dengan alasan membantu.
Bagi penulis, ketika kita atau seseorang bilang membantu, seharusnya yang mendapat dampak maksimal ya orang yang dibantu.
Kenyataanya dengan produksi konten yang belum lama, pembuat konten bisa membeli motor cc besar tidak hanya 1 tapi 2 unit, dari sini saja sudah terlihat jika tujuan pertama untuk kepentingan diri sendiri, tapi dengan menampilkan potret kesedihan dari orang lain. Di sinilah eksploitasi itu terjadi, setidaknya menurut penulis.
Ketiga fenomena di atas, dan juga fenomena lain yang tidak diekspose di sini sepertinya akan sulit untuk benar-benar dihilangkan dalam kehidupan bermedia sosial.
Kenyataanya orang akan berusaha bagaimanapun untuk mencukupi kebutuhan dan keinginannya dengan cara apapun bahkan yang melanggar norma sampai juga melanggar hukum. “yang penting bisa hidup” kalau kata orang-orang.
Ketika seorang konten creator sudah menemukan formula yang pas, cukup dengan mengekspose potret sehari-hari, mengekspose potret kesendihan, mengeksploitasi empati, kemudian mendapat banyak uang dari situ, jelas tidak akan mau mereka diarahkan ke pekerjaan normal yang butuh energi besar dengan pendapatan yang tak seberapa.
Bagi kita para penikmat media sosial, kita yang mengkonsumsi media sosial, sebenarnya dari diri kita sendirilah yang akan menentukan apakah orang-orang itu bisa bertahan. Ketika kita bisa selektif dalam mengkonsumsi konten, apa yang baik untuk dilihat dan apa yang harus diabaikan.