Mohon tunggu...
Resi Aji Mada
Resi Aji Mada Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan pribadi

Pernah menjalani pendidikan bidang studi Administrasi Negara di perguruan tinggi negeri di kota Surakarta. Pemerhati isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Aturan Berjilbab bagi Siswi Non-Muslim Salah Satu Sekolah Negeri di Sumbar

23 Januari 2021   16:00 Diperbarui: 23 Januari 2021   16:13 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak di sekolah. (PA MEDIA via BBC INDONESIA)

Sedang ramai di beberapa media massa tentang perdebatan seorang wali siswa/siswi dengan pihak sekolah terkait salah seorang siswi yang non-muslim yang tak mau memakai jilbab.

Pihak sekolah yang saat itu diwakili oleh wakil kepala sekolah bidang budi pekerti sempat bertahan dengan argumennya dimana aturan berjilbab bagi "seluruh" siswi yang telah ada dan disepakati sejak dari awal anak masuk ke sekolah ini.

Yang menyebabkan masalah ini menjadi lebih besar karena aturan dan kejadian ini terjadi di sekolah negeri yang dianggap masyarakat dan banyak pihak seharusnya bisa mengakomodasi dengan baik semua bentuk keyakinan dan kepercayaan yang setidaknya sudah diakui oleh negara termasuk dalam tata cara berpakaian.

Mirisnya lagi selain siswi dan wali yang sedang memperjuangkan hak ini, ada 46 siswi non-muslim lain di sekolah ini yang ternyata memakai jilbab dalam keseharian saat bersekolah. Tentu kita tidak tahu apakah mereka rela atau hanya "nerimo" supaya tetap bisa memperoleh pendidikan.

Seperti kita semua ketahui bahwa jilbab atau hijab adalah bentuk tata cara berpakaian yang ada dalam agama islam dan (setahu penulis) tidak ada dalam agama yang lain. Dalam konteks sebagai aturan dan kewajiban lho ya.

Kalau sebagai budaya, dalam agama yang juga berasal dari timur tengah seperti kristen (baik protestan maupun katholik) ada kehidupan masyarakat bahkan tokoh yang digambarkan kitab suci juga menggunakan penutup. Itu karena memang kondisi mengharuskan menutup tubuh ketika diluar rumah untuk menjaga tubuh dari paparan kondisi alam ekstrim daerah gurun.

jadi ketika aturan hanya ada di satu ajaran agama, apakah layak jika cara berpakaian ini diterapkan kepada semua siswa tanpa melihat agama dan kepercayaan mereka yang berbeda?

Bagi penulis, kebebasan untuk menganut keyakinan dan kepercayaan masing-masing adalah hal mutlak yang bukan hanya harus diterima tetapi bahkan harus dilindungi. Untuk itu pula ada undang-undang dan aparat sebagai penegak yang memberikan perlindungan dalam menjalani keyakinan beragama.

Tentunya perlindungan itu tidak terlepas hanya kepada status agama, tetapi dalam setiap aspek beragama, baik itu dalam beribadah, menjalankan hari raya, menjalankan aturan dan larangan yang ada (termasuk cara berpakaian) bahkan mungkin dalam melakukan syiar atau penginjilan dan sejenisnya (menyebarkan ajaran agama).

Walaupun untuk poin terakhir mungkin masih cukup sensitif bagi semua orang (mungkin bagi penulis sendiri juga). Tetapi nyatanya usaha menyebarkan agama penulis yakin menjadi bagian tak terpisahkan dari ajaran agama yang juga ada di semua agama.

Tetapi balik lagi kita harus ingat, perlindungan yang sama juga membuat tak boleh ada paksaan sama sekali kepada seseorang untuk harus berpindah keyakinan.  Ini berlaku baik agama mayoritas maupun minoritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun