Salah satu rencana program dari kapolri terpilih yang baru Listyo Sigit Prabowo adalah dengan merubah sistem penindakan tilang manual menjadi tilang elektronik. Itu berarti mengandalkan sistem monitoring digital salah satunya melalui cctv untuk menemukan dan menentukan pelanggaran.
Sebenarnya E-tilang bukanlah hal yang baru, setidaknya secara konsep dan teknologi di Indonesia. Sudah dari beberapa tahun yang lalu Polri mulai menyerap teknologi E-tilang dan mengujicobakan di beberapa tempat.
Yang berbeda, versi kapolri baru Listyo Sigit berdasar yang beliau ungkapkan (atau setidaknya berdasarkan pemberitaan) adalah rencana polantas yang tak lagi diberi kewenangan untuk menilang. Selama ini setahu penulis E-tilang direncanakan dilakukan beriringan dengan tilang oleh anggota polisi.
Pertanyaannya sekarang apakah E-tilang akan efektif tanpa ada campur tangan dari petugas kepolisian (polantas) di lapangan?
Memang benar E-tilang menggunakan teknologi dengan menggunakan cctv (dam mungkin alat lain) yang memiliki kecerdasan buatan canggih untuk mendeteksi jenis pelanggaran tertentu yang sistemnya telah diinput. Misalnya melebihi kecepatan atau melanggar lampu merah, tak memakai helm dsb.
Tetapi tentu ada beberapa pelanggaran yang mestinya tak bisa ditangkap oleh sistem ini, misalnya saja kepemilikan surat ijin mengemudi (SIM). Pelanggaran administrasi kepemilikan SIM biasanya ditemukan didahului pelanggaran kasat mata atau dikala ada razia kepolisian.
Pelanggaran ini (kepemilikan SIM) tentu tak bisa dilacak oleh sebuah kamera, atau mungkin penulis saja yang tak tahu teknologinya. Berbeda dengan pajak misalnya masih bisa diolah oleh E-tilang dengan tangkapan nomor kendaraan yang dipadukan dengan data perpajakan.
Jika memang nantinya anggota kepolisian lalu lintas tak diberi kewenangan untuk menilang, apakah berarti pelanggaran administratif tak lagi diantisipasi (melalui razia berkala) atau hanya diantisipasi ketika seorang pengendara tertangkap melakukan pelanggaran kasat mata terlebih dahulu?
Atau ada alat dan teknologi yang menggantikan manusia (anggota lantas) dalam melakukan razia demi menghindari penyelewengan yang selama ini sering terjadi (salam tempel)? Ini masih jadi pertanyaan penulis.
Cangkupan cctv E-tilang tentunya tak bisa mengcover seluruh jalanan, padahal potensi pelanggaran bisa terjadi dimana saja. Atau bahkan ketika anggota polisi sedang mengatur lalu lintas dan mendapati pelanggaran di depan mata akankah dilakukan pembiaran karena mereka tak memiliki kewenangan menilang?
Cctv di perempatan jalan mungkin saat ini sudah jadi hal yang lumrah, bagaimana dengan di sepanjang badan jalan yang lain? Setidaknya sampai titik saat ini, penulis masih menemukan  dan membayangkan banyak celah yang bisa ditemukan untuk menghindari E-tilang bahkan ketika sengaja melakukan pelanggaran.
Pengendara yang malas menggunakan helm cukup menghapal letak cctv e-tilang dan bisa menghindar melewati jalan yang lain. Atau berkendara menghindari perempatan-perempatan besar, memilih lewat jalan-jalan pemukiman pastinya meminimalisir tertangkap tilang, bukankah begitu konsep sederhana untuk menghindari E-tilang?
Bukannya penulis mencari-cari celah atau berbagi celah untuk melanggar, tetapi sudut pandang seperti ini diperlukan untuk evaluasi dan membangun sistem tilang yang baik yang bukan hanya memberi pemasukan melalui denda untuk tambahan keuangan negara tetapi benar-benar menciptakan kesadaran, kewaspadaan, serta kepatuhan dan ketertiban seluruh pengendara di jalan.
Rencana penerapan E-tilang dan penghapusan tilang manual oleh anggota polantas menurut penulis masihlah rencana awal, lagipula memang pelantikan kapolri baru saja belum dilakukan. Masih banyak studi yang harus dilakukan untuk membuat teknis pelaksanaan sehingga E-tilang tetap dapat berjalan efektif di berbagai kondisi.
Bagaimanapun rencana atau keinginan untuk menerapkan E-tilang adalah rencana yang sangat baik. Melihat potensi penyelewengan yang terjadi dalam penerapan tilang manual.
Tilang manual sudah rahasia umum menjadi jalan oknum-oknum anggota polantas untuk mendapat "uang saku" Tambahan dengan menawarkan uang damai pengganti sidang, bahkan hingga mencari-cari pelanggaran. Fakta satu ini adakah yang membantah?
Lebih jauh lagi dalam kegiatan razia resmi yang dilakukan oleh polantas pun tak lepas dari penyelewengan. Pengendara masih bisa bernegosiasi untuk penetapan sidang atau uang damai ditempat.
Bayangkan saja kegiatan yang berstatus "resmi" terjadi potensi penyelewengan apalagi penindakan-penindakan spontan yang terjadi ketika anggota menemukan pelanggaran di jalan. Tetapi perlu digaris bawahi itu semua dilakukan oleh oknum.
Semoga penerapan E-tilang dapat menghapus atau menutup kesempatan oknum anggota kepolisian yang sering menyelewengkan kewenangan atas surat tilang.
Tetapi disisi yang lain semoga penerapan E-tilang bisa tetap efektif untuk menindak pelanggaran-pelanggaran berlalulintas demi mencapai ketertiban dan tentunya jaminan keamanan setiap pengendara.
Tilang sudah sewajarnya bukan untuk mengintimidasi, menimbulkan ketakutan atau melakukan pungutan liar kepada pengendara, tetapi untuk menciptakan kesadaran akan ketertiban dan keamanan berkendara.
Lagipula timbulnya ketakutan atau perasaan intimidasi lebih karena pengendara sendiri merasa atau dengan sadar tahu bahwa dirinya sedang melakukan pelanggaran. Ketika kita tertib, tak mungkin kita takut bahkan ketika berjumpa razia di jalan.
Mari tertib berlalulintas. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H