Penulis ambil contoh di dalam keluarga. Yakinlah bahwa setiap orang pasti setuju tak perlu ada protokol kesehatan ketika beraktivitas di dalam rumah dengan keluarga inti. Masa iya dengan suami atau istri, atau dengan anak setiap kali berbicara harus pakai masker, atau setiap kali menyentuh satu sama lain harus dilanjutkan dengan cuci tangan terus menerus, atau setiap bertemu harus berjarak sekian meter.
Tetapi lepasnya protokol kesehatan didalam rumah dengan keluarga harus diimbangi dengan konsekuensi menjaga diri dan menjaga protokol kesehatan ketika ada diluar, ketika bertemu dengan siapapun diluar anggota keluarga. Pada titik inilah seringkali lengah.
Kadangkala ketika bertemu dengan rekan kerja yang setiap hari berjumpa, atau bertemu dengan teman dekat, kita sedikit berkompromi Dengan protokol kesehatan. Karena merasa sudah kenal dekat, atau tahu kebiasaan mereka, yakin jika mereka sehat maka memutuskan melepas masker demi komunikasi lebih lancar, atau tak menjaga jarak.
Padahal kedekatan relasi tak pernah menghilangkan resiko penularan muncul. Kita tak pernah tahu kawan kita sehat atau tidak, atau bahkan telah terinfeksi tetapi dalam kategori tanpa gejala dimana dia sendiri tak tahu jika dirinya tertular. Kita juga tak tahu kawan kita sebelumnya juga berkompromi dalam protokol kesehatan ketika bertemu dengan siapa.
Pada akhirnya, dari kompromi-kompromi inilah penyebaran virus itu terus semakin masif. Mungkin kita aman ketika bertemu dengan orang asing dengan segala protokol kesehatan yang kita terapkan, tetapi malah rawan ketika berjumpa dengan relasi-relasi dekat karena kompromi yang kita lakukan hanya berdasar kita yakin dan percaya mereka juga baik-baik saja seperti saya.
Ketika kemudian seseorang tertular virus diluar rumah dari kawan dekat karena berkompromi saat bertemu, dia akan membawa virus itu pulang ke rumah.Â
Nah lebih parah lagi penularan akan terjadi di keluarga, karena tentunya relasi dengan keluarga jauh lebih intim dibanding dengan rekan atau kawan. Jauh lebih intim juga berarti resiko penularan lebih besar.
Dalam kasus nyata yang terjadi di lingkungan sekitar penulis juga sama. Beberapa kenalan penulis terinveksi dari kawan dekat mereka dimana ketika mereka bertemu biasanya protokol kesehatan tak begitu penting.
Ada yang dari anak menularkan ke orang tua, mungkin karena anaknya tak berhati-hati ketika di luar rumah. Bahkan ada beberapa kawan penulis harus dikarantina karena berolahraga bersama di dalam ruangan dan ternyata ada salah satu dari mereka yang dinyatakan positif covid. Usaha menjaga kebugaran tubuh bersama-sama orang dekat pun malah berakhir harus karantina.
Dengan segala contoh kasus diatas, penyebaran virus dari relasi terdekat bukan lagi hanya sebuah teori. Setidaknya itu yang penulis rasakan dan alami sendiri. Nyatanya semakin dekat relasi, semakin rawan kita tertular karena seringkali kita lebih berkompromi soal protokol kesehatan.
Mungkin tak perlu di dalam rumah dengan istri atau anak menerapkan protokol kesehatan, tetapi itu berarti kita memiliki konsekuensi tak boleh berkompromi dengan protokol kesehatan ketika diluar, bahkan dengan sahabat sekalipun.Â