Mohon tunggu...
Resi Aji Mada
Resi Aji Mada Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan pribadi

Pernah menjalani pendidikan bidang studi Administrasi Negara di perguruan tinggi negeri di kota Surakarta. Pemerhati isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Natal Tanpa Pengamanan Ekstra, Kerinduan Bersama

22 Desember 2020   12:00 Diperbarui: 23 Desember 2020   21:57 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengamanan perayaan Natal - Republika/Prayogi

Setiap memasuki desember, suasana kota di banyak negara di dunia biasanya mulai berubah. Pertokoan mulai memasang pernak-pernik hiasan dengan tema natal. Iya, natal. Salah satu hari besar dari umat kristiani (protestan, katholik) ini memang biasanya dirayakan secara meriah.

Meski peringatan tepatnya pada tanggal 25 Desember, tetapi selama sebulan kemeriahan itu bisa di rasakan di hampir semua sudut kota. Apalagi di kota atau negara yang mayoritas penduduknya beragama kristen.

Tak kalah dengan negara-negara mayoritas kristen, di Indonesia dimana kristen (baik protestan maupun katholik) menjadi minoritas nyatanya suasana natal tetap terasa meriah, apalagi di pusat-pusat kota atau pusat perbelanjaan.

Tentu ini menjadi bukti yang sangat valid jika toleransi di negara ini sudah terbangun,  atau setidaknya sudah diusahakan dengan sangat baik. Semangat bhineka tunggal ika yang digaungkan dan diperjuangkan para pendiri negara ternyata tak hanya isapan jempol semata.

Masyarakat yang walaupun bukan beragama kristen nyatanya ikut berbaur dalam suasana natal mendampingi, menemani, dan melayani saudara  dan kawan mereka yang sedang merayakan. Tentu saja bukan dalam konteks peribadatannya.

Tetapi dibalik gemerlap suasana natal, dibalik tingginya pohon-pohon natal dengan berbagai hiasan dan lampu-lampu yang berkilauan, masih ada satu hal yang sedikit mengganjal dan tanpa disadari mempengaruhi suasana natal itu sendiri.

Biasanya sekitar seminggu menjelang hari natal (tgl 25) sampai setelah tahun baru pengamanan diperketat. Kepolisian mengadakan operasi (biasa bernama operasi lilin) untuk menjaga kondusifitas.

Memang di hari raya yang lain, semisal Idul Fitri pun operasi polisi juga dilakukan. Tetapi lebih ke pelayanan, pengamanan, dan ketertiban lalu lintas mengantisipasi arus mudik dan balik yang masif dari masyarakat. Karena kepadatan akan sangat berpotensi terjadi kecelakaan ataupun kesempatan tindak kriminal.

Sedikit berbeda, operasi kepolisian di bulan desember dibanding dominasi oleh polisi lalu lintas lebih banyak ditemui personil (baik Polisi maupun TNI) dengan perlengkapan dan senjata lengkap. Bahkan patroli keliling dengan kendaraan besar dan lapis peluru di beberapa kesempatan lumrah ditemui.

Kawasan perbelanjaan menjadi target pengamanan selain tentu saja yang utama adalah gereja-gereja. Bahkan di berbagai gereja (terutama dengan jumlah jemaat yang cukup banyak) pengamanan oleh personil polisi dan TNI secara terbuka maupun tertutup dilakukan selama 24 jam, ada atau tidaknya kegiatan.

Kenapa pengamanan ini dilakukan? Hal ini ternyata terjadi tak lepas masih adanya resiko kegiatan kelompok-kelompok intoleran yang mengarah ke tindakan kriminal, intimidasi bahkan sampai ke arah terorisme yang menyasar gereja dan pusat-pusat perayaan natal.

Kelompok-kelompok ini memang belum bisa menerima dan menyikapi perbedaan dengan baik sehingga merasa "terganggu" dengan adanya perayaan dan prosesi kepercayaan diluar yang mereka percayai. Biasanya sasarannya adalah kelompok-kelompok yang lebih lemah.

Tak hanya di Indonesia, di negara lain pun ternyata juga ada ancaman serupa. Tindak teror dan atau intimidasi yang dengan terbuka diarahkan ke tempat ibadah masih kadang kala terjadi dan kadang membuat banyak korban berjatuhan. Walaupun terkadang juga dipicu dulu oleh tindak intoleransi yang lain juga.

Tak bisa dipungkiri jika hampir di semua agama di dunia ini selalu terdapat oknum kelompok-kelompok yang "terlalu radikal" dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran mereka, sehingga sering kali tak memiliki toleransi bahkan melakukan tindak intimidasi terhadap kelompok lain yang dirasa lebih lemah.

Di Indonesia sendiri memang tahun-tahun terakhir ini lebih kondusif, meski ancaman secara terbuka sudah lebih kondusif, ancaman tertutup masih ada.

Penulis menilik pengalaman pribadi setiap mendekati natal hampir setiap hari ada kegiatan di gereja, apalagi terkadang hingga menginap. Sehingga cukup kenal pula dengan aparat keamanan yang kebetulan disiagakan 24 jam oleh Polisi dan TNI di gereja dimana penulis beraktivitas.

Dari situ penulis mendapati informasi status siaga masih saja terus diterapkan ketika memasuki momen natal. Bahkan kala kita melihat di media, juga masih ditemui operasi penangkapan teroris oleh densus 88 menjelang natal.

Yang terbaru, penangkapan 23 anggota jamaah islamiah jadi bukti densus selalu meningkatkan operasi menjelang natal. Walau memang tak diberitakan ada atau tidaknya indikasi rencana teror pada natal tahun ini, setidaknya menguatkan informasi jika ancaman itu memang masih ada dan nyata.

Terorisme di Indonesia ini memang masih menjadi ancaman. Masalahnya terorisme yang berkembang di Indonesia setuju tak setuju sebagian besar lahir dari sentimen keagamaan. Itu kenapa di dalam suasana hari raya agama tertentu pula status siaga ditingkatkan.

Darimana sentimen-sentimen itu bisa muncul? Bisa jadi karena ketidakpahaman akan kepercayaan orang lain (namun merasa paling mengerti), ditambah dengan teori-teori ngawur yang dibuat oknum-oknum tertentu sehingga membuat seolah-olah ada kepercayaan lain yang mengancam eksistensi kepercayaan yang diyakininya.

Penulis ambil contoh beberapa tahun lalu ada pusat perbelanjaan yang hampir disweeping oleh kelompok tertentu tak jauh dari kota tempat penulis tinggal, meski untung saja bisa dicegah oleh aparat. Penyebabnya? Pemasangan hiasan-hiasan natal dan penggunaan atribut-atribut natal yang dianggap bentuk ancaman terhadap kepercayaan mereka (diungkap dari perdebatan pimpinan mereka dan aparat yang menghalau).

Padahal hiasan natal, atribut natal yang sering ditemui dan digunakan di pusat-pusat perbelanjaan itu sebenarnya hanyalah bentuk tradisi dan budaya masyarakat dunia dalam menyambut perayaan natal, bukan bagian dari prosesi keagamaan, apalagi esensi dari natal itu sendiri.

Jadi sebenarnya kurang pas jika hiasan, atribut itu dianggap mengganggu bahkan mengancam kepercayaan seseorang sehingga harus disweeping bukan? Tapi ya kita tak bisa menyalahkan apa yang dianggap benar oleh orang lain, meski tak benar bagi kita. Hanya saja jika responnya dengan intimidasi, ancaman, teror ya jelas salah dan harus ditindak.

Entah sampai kapan pengamanan ekstra dari aparat bersenjata lengkap diperlukan dan dilakukan dalam momen natal. Bagi penulis pribadi sebagai umat kristiani dan umat kristiani itu sendiri pada umumnya, tentu saja merindukan saat-saat pengamanan ekstra itu pada akhirnya tak diperlukan lagi.

Bukan dengan maksud tak terima pelayanan aparat. Umat kristen dan seluruh umat beragama yang lain (yang berarti seluruh masyarakat) pada umumnya pasti sangat senang, berterimakasih, dan terus menerima dengan perlindungan yang diberikan oleh aparat, sampai kapanpun.

Yang penulis maksud pengamanan ekstra tak diperlukan adalah kondisi keamanan dibalik adanya upaya pengamanan itu sendiri. Dimana status siaga tak harus ditetapkan aparat dalam pengamanan.

Umat kristen dan penulis juga yakin semua umat beragama merindukan suasana natal dan juga seluruh hari besar agama yang lain dimana keamanannya terjamin dan kondusif. Bukan hanya jaminan dari aparat (melalui pengamanan) tetapi jaminan juga dari seluruh masyarakat (tanpa terkecuali) yang berarti bebasnya masyarakat dari ancaman kelompok intoleran.

Kerinduan ketika tak ada lagi secuil pun kelompok masyarakat yang memiliki pemahaman salah mengenai kepercayaan yang lain. Masyarakat yang seluruhnya bisa memahami jika perbedaan itu bukan ancaman yang harus dilawan. Pemahaman jika semua bisa hidup berdampingan.

Mungkin tidak tahun ini, apalagi ditambah kondisi pandemi yang semakin membuat perayaan dan suasana natal tahun ini lebih tak kondusif dibanding biasanya. Tatap muka dibatasi, padahal momen natal itu juga seharusnya menjadi kesempatan ketika keintiman lebih terjalin.

Tetapi tetap jadi kerinduan penulis dan umat kristiani lainnya bahwa suatu saat nanti Indonesia mendapatkan kado natal berupa kebebasan dan jaminan penuh (tanpa ada ancaman) dalam menikmati dan menjalankan setiap prosesi keagamaan, apapun agamanya, besar maupun kecil umatnya.

Akhirnya, biarlah natal menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan diri mengenai kedamaian. Kedamaian sejati ketika tak ada lagi ketakutan dan kekhawatiran untuk menjalankan ibadah.

Kedamaian yang bukan diciptakan oleh ketatnya pengamanan dan lengkapnya persenjataan aparat pengamanan. Tetapi kedamaian murni yang muncul karena relasi kekeluargaan dan toleransi di masyarakat dari seluruh sudut negeri ini.

Selamat menyambut natal bagi saya dan anda yang merayakan, dan salam damai untuk kita semua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun