Dalam sebuah analisa yang penulis sampaikan beberapa waktu yang lalu yang menggambarkan bayangan politik dinasti di pilkada kota Solo, penulis sempat menyinggung bagaimana lawan akan sangat berat untuk mengungguli Gibran sebagai calon yang diusung PDIP dan beberapa partai lainnya.
Hari ini, pemilihan telah berjalan. Dari pagi hari pukul 07.00 sampai siang pukul 13.00 TPS dibuka untuk para pemegang hak pilih memberikan pilihannya. Dalam teknis pelaksanaanya selain tentunya protokol kesehatan yang diterapkan, para pemilih dibagi menjadi kloter-kloter tiap satu jam sejak TPS dibuka untuk menghindari pemilih yang datang berbondong dalam satu waktu yang sama.
Pemilihan hari ini pada umumnya berjalan tanpa kendala, selain sempat ada kejadian pengusiran saksi di salah satu TPS dari pasangan Bagyo-Supardjo keluar dari area TPS oleh walikota Solo karena berasal dari luar kota. Padahal pemkot sedang gencarnya membatasi dan mengkarantina pendatang dari luar kota akibat melonjaknya jumlah kasus covid-19 di kota Solo.
Yang menarik dan ditunggu-tunggu tentunya ketika TPS mulai ditutup dan suara dihitung, disaat inilah lembaga survei serta partai politik memulai perhitungan cepat. Menit demi menit suara dari TPS mulai masuk dalam sistem hitung cepat.
Selang beberapa waktu setelah pergerakan data mulai stabil, gambaran hasil pun bisa dilihat. Setidaknya dari dua sumber yakni PDIP kota solo serta Charta Politika, pasangan Gibran-Teguh unggul melawan pasangan Bagyo-Supardjo yang maju secara independen. Bahkan keunggulan pasangan yang diusung PDIP ini hampir mencapai 90% dari total suara sah.
Bagi penulis yang sejak lahir tinggal di Solo, hasil ini tak terlalu mengejutkan mengingat karakter warga Solo dalam urusan politik, mesti angka persentase yang hampir mencapai 90% itu tetap saja menarik. Tak disangka calon yang diterpa isu dinasti politik itu bisa memenangkan suara sebegitu besar.
Pasangan Bagyo-Supardjo yang menjadi lawan dan berangkat dari jalur independen hanya mendapat 10% lebih sedikit. Tak ayal hanya seperti kotak kosong yang diisi oleh foto sepasang manusia secara acak.
Bahkan jika melihat hasil sementara pilkada kabupaten sragen dimana calon melawan kotak kosong, angka hampir 20% masih bisa diraih oleh kotak kosong. Sungguh luar biasa kota Solo ini.
Memang sejak awal, ada pandangan dari beberapa pengamat politik yang menyebutkan lawan dari Gibran yang berangkat dari Independen ini hanya seperti boneka yang melengkapi pilkada kota Solo sehingga tidak terlihat ada kotak kosong.
Bagyo-Supardjo sendiri menampik bahwa mereka hanya boneka. Mereka mengungkapkan keseriusan pencalonan mereka meski tanpa satupun dukungan partai politik. Nyatanya mereka mampu memenuhi persyaratan untuk maju di jalur independen.
Namun melihat hasil sementara hingga saat ini, penulis tidak setuju dengan pandangan pengamat soal "calon boneka". Penulis lebih memilih melihat calon Bagyo-Supardjo ini laiknya kotak kosong yang hanya menjadi sasaran para pemilih yang "main-main" dengan hak pilihnya. Meski tak bisa dipungkiri ada pemilih yang memang mendukung dengan sungguh-sungguh.