Mohon tunggu...
Resi Aji Mada
Resi Aji Mada Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan pribadi

Pernah menjalani pendidikan bidang studi Administrasi Negara di perguruan tinggi negeri di kota Surakarta. Pemerhati isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masyarakat Gerah, Karangan Bunga Tercurah

24 November 2020   16:00 Diperbarui: 24 November 2020   16:05 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Markas Kodam Jaya di Cililitan, Jakarta Timur, dipenuhi karangan bunga, Senin (23/11/2020)(KOMPAS.com/NIRMALA MAULANA ACHMAD)

Lagi dan lagi, berbagai bentuk dinamika politik yang masih terkait kepulangan Habib Rizieq Shihab masih terus terjadi. Rupanya tokoh satu ini memang menjadi magnet kuat bagi munculnya berbagai dinamika sosial politik.

Pemerintah pusat pada mulanya terkesan diam terhadap berbagai pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi. Tak perlu lah berbicara soal intelejen, media dan masyarakat awam pun dengan mudah bisa mengetahui berbagai rencana pengumpulan massa yang berpotensi melanggar protokol kesehatan.

Tetapi nyatanya tidak ada antisipasi, kegiatan tetap berjalan, ketakutan akan pelanggaran protokol kesehatan benar-benar terjadi. Bahkan masih hangat temuan klaster baru penularan covid-19 dari massa ini, sudah kurang bukti apalagi.

Penulis mungkin masih bisa memahami kenapa pemerintah pusat terkesan diam. Disamping masih ada Pemda yang seharusnya bertanggung jawab atas wilayahnya, pemerintah pusat rupanya menghindari gesekan dan pelanggaran lain yang bisa saja terjadi apabila kegiatan satu kelompok ini dilarang. Sudah jadi rahasia umum bagaimana nekatnya kelompok ini.

Tetapi nyatanya Pemda pun tidak bergerak. Sang pemimpin wilayah (gubernur) bahkan malah menjadi salah satu pihak pertama yang melakukan silaturahmi dengan sang Habib yang seharusnya melakukan karantina terlebih dulu.

Meski pada akhirnya kunjungan beralasan untuk menyampaikan protokol kesehatan, masyarakat sudah tahu simbiosis mutualisme dari dua tokoh ini. Ada kepentingan lain yang dilihat lebih kuat dibanding alasan penyampaian protokol kesehatan.

Tidak hanya terkait kerumunan, berbagai spanduk dan poster ucapan selamat datang dipasang tidak hanya di jakarta sebagai domisili sang Habib tetapi juga di daerah lain.

Padahal siapa ya kira-kira yang baca, Habib Rizieq bagi baliho yang di Jakarta pun tak yakin dilihat satu persatu, apalagi di daerah lain. Kalau tahu tidak dibaca oleh pihak yang diucapkan, lalu apa tujuan spanduk dan baliho bersangkutan? Show off? Ah entahlah.

Mirisnya, ternyata spanduk, poster, baliho itu dipasang sesuka hati, tanpa ijin, tidak ditempat yang benar, tanpa pajak. Paket lengkap, maksudnya lengkap pelanggarannya. Layak jika seharusnya properti itu ditertibkan.

Entah apa yang kemudian terjadi di lapangan dalam rangka penertiban karena tak ada pemberitaan, tiba-tiba saja seorang panglima militer daerah menjadi gerah dan menggerakkan pasukannya untuk ikut membersihkan. Bahkan sampai diikuti aparat di wilayah lain diluar Jakarta.

Dengan ketegasannya dalam rangka menjaga ketertiban dan kenyamanan masyarakat, sang Pangdam mengambil resiko melakukan tindakan yang berpotensi sangat besar dinilai banyak pihak melanggar tupoksi tugas militer.

Meski sebenarnya masih bisa diperdebatkan juga karena ada tugas perbantuan anggota militer untuk kegiatan tertentu pemerintah termasuk dalam rangka menjaga ketertiban.

Kritik dari FPI, pengikut Habib Rizieq, politikus afiliasi dan beberapa pengamat bermunculan diarahkan kepada tindakan "represif terhadap baliho" yang dilakukan oleh TNI termasuk kepada keberanian sang Pangdam dalam menyatakan keresahannya.

Ketika kemudian ada pihak yang menyatakan Pangdam, TNI menyalahi prosedur, melanggar tupoksi. Nyatanya dimata masyarakat, tindakan TNI dilihat lain.

Puluhan bahkan ratusan karangan bunga dikirim ke markas Kodam Jaya oleh masyarakat sebagai bentuk dukungan dan ucapan terimakasih dari masyarakat. Ternyata meski diam, masyarakat sudah resah dengan berbagai tindak tanduk sekelompok orang ini.

Respon pemerintah pusat yang dianggap terlambat, dan pembiaran oleh pemda rupa-rupanya telah membuat gerah masyarakat yang terganggu dan diresahkan oleh berbagai kegiatan kelompok yang menyatakan diri memperjuangkan revolusi akhlak ini. Sebuah perjuangan revolusi akhlak yang dilakukan tanpa akhlak.

Keberanian dan tindak tegas Pangdam dianggap angin segar dalam keberanian penegakan peraturan terhadap kelompok-kelompok yang meresahkan. Itu sebabnya euforia ditunjukkan oleh masyarakat melalui pemberian karangan bunga.

FPI yang disalahkan atas pemasangan baliho membela diri dengan menyebutkan bahwa pemasangan baliho dilakukan oleh masyarakat karena kecintaan dan kerinduan masyarakat terhadap sang imam besar FPI. Pertanyaannya masyarakat yang mana? Mungkin masyarakat FPI itu sendiri, karena kenyataannya masyarakat pula yang mengirimkan karangan bunga ke Makodam Jaya.

Kegerahan masyarakat yang diekspresikan dengan pengiriman bunga sebenarnya bukan hanya sebatas karena pemasangan  baliho, tetapi lebih kepada seluruh rangkaian kegiatan yang telah meresahkan. Keresahan itu memuncak, membuat gerah, hingga akhirnya muncul sang Pangdam dengan jiwa  nasionalismenya sedikit melepas kehausan masyarakat atas penegakan peraturan yang tegas.

Masyarakat sebenarnya menginginkan dan mendukung pemerintah dengan tegas tanpa membedakan untuk melakukan penertiban kepada siapapun yang melanggar aturan dan bertindak semena-mena. Bagi masyarakat, siapapun dia termasuk orang yang punya embel-embel "Imam besar" pun tidak berarti memiliki kekebalan terhadap hukum dan aturan.

Andaikata benar sebuah pendapat yang menyatakan jika pemerintah ragu dengan FPI atau kelompok sejenis,  seharusnya pemerintah tak perlu ragu lagi. Karangan bunga sebenarnya juga menunjukkan jika masyarakat ada di belakang pemerintah dalam penegakan peraturan.

Bagi pihak-pihak yang saat ini sedang mengupayakan terjadinya revolusi akhlak, semoga kita bisa memulai dari diri sendiri untuk membenahi akhlak, tidak melakukan tindakan yang malah meresahkan masyarakat banyak yang kemudian ketika dikritik malah mecari-cari kesalahan serupa dari orang lain.

Kalau orang lain melakukan kesalahan, sekalipun mereka tidak ditindak. Mereka yang memperjuangkan revolusi akhlak ini yang seharusnya menunjukkan sikap yang baik, tindakan yang benar, yang patuh aturan, dan tidak meresahkan. Jika hanya ikut-ikutan melanggar, apalagi mencari pembenaran, ya tidaklah lebih baik dari orang lain.

Merevolusi akhlak tanpa akhlak hanya seperti menginginkan teh manis tanpa memberi gula, sampai kapanpun tidak akan jadi manis. Kalaupun memakai pemanis buatan, ujung-ujungnya malah penyakit yang muncul. Masyarakat bisa semakin gerah.

Jangan sampai masyarakat yang semakin gerah melakukan pemberian karangan bunga episode 2, kali ini ditujukan pada para "pejuang akhlak" dengan tulisan yang sangat besar dan indah bertuliskan  "RIP Akhlak".

Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun