Mohon tunggu...
Resi Aji Mada
Resi Aji Mada Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan pribadi

Pernah menjalani pendidikan bidang studi Administrasi Negara di perguruan tinggi negeri di kota Surakarta. Pemerhati isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sebuah Pertanggungjawaban kepada Tuhan dan Negara

18 November 2020   16:00 Diperbarui: 18 November 2020   16:05 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diambil dari superradio.id

Dibanyak media massa, pemberitaan mengenai pemberian tanda kehormatan bintang mahaputera berkutat pada kejadian saat Jend (purn) Gatot Nurmantyo tidak menghadiri  upacara penyerahan dengan bersurat kepada presiden. Tapi menarik ketika kompasiana secara jeli melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Dari banyak nama yang diberi tanda kehormatan, terdapat 6 nama yang merupakan hakim aktif MK (Mahkamah Konstitusi). Penulis menduga, yakin, dan percaya pemberian tanda kehormatan kepada 6 hakim MK menjadi menarik karena posisi seorang hakim yang harus adil.

Apakah kemudian pemberian tanda kehormatan ini akan mempengaruhi kinerja dan netralitas hakim? Pertanyaan ini yang saya rasa jadi fokus utama dari topik kali ini. Setidaknya pertanyaan ini yang akan jadi titik berangkat tulisan kali ini.

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga kehakiman yang ada di Indonesia. MK memiliki fungsi dan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa antar lembaga negara, memutus sengketa pemilu dan membubarkan partai politik.

Hakim MK terdiri dari 9 orang dimana 3 orang merupakan pilihan Presiden, 3 orang pilihan DPR, dan 3 lainnya dipilih Mahkamah Agung. Dengan komposisi seperti ini, apakah ada netralitas dalam tubuh MK?

Berbicara soal netralitas, MK sebenarnya bukan lembaga netral. Seperti kita tahu netralitas memiliki arti ketidakberpihakan. Netralitas bisa kita lihat melalui KPU, dia tidak partai manapun atau calon manapun dalam sebuah gelaran pemilihan umum.

Sedangkan MK pada dasarnya memiliki keberpihakan. Menurut sepengetahuan penulis, Mahkamah Konstitusi selalu berpihak dan berpegangan kepada dasar konstitusi di Indonesia yaitu UUD 1945. Dalam setiap keputusannya hakim MK berpegang pada UUD 1945.

Bagi seseorang yang ditunjuk menjadi hakim MK, dia disumpah untuk taat dan setia kepada UUD 1945. Dan tentu saja bagi saya, semua hakim MK bertanggung jawab kepada negara (bukan orangnya) dan kepada Tuhan sebagai pertanggung jawaban keadilan atas setiap keputusannya.

Melihat keberpihakan dan tanggung jawab ini, maka walaupun dia ditunjuk oleh presiden, DPR, dan MA, dia tidak dan tidak seharusnya berpihak dan loyal kepada lembaga yang mengutusnya.

Saat ini ada beberapa sengketa undang-undang yang sedang dan mungkin akan diajukan ke MK, salah satu yang paling menyita perhatian adalah UU omnibus law cipta karya yang menjadi sengketa di masyarakat dan kalangan buruh.

Dengan sengketa yang sedang dihadapi yang dinilai masyarakat (terutama kalangan buruh) cukup berat, pemberian tanda jasa bintang mahaputera pada akhirnya ditakutkan oleh beberapa kalangan akan mempengaruhi kinerja para hakim ini.

Tanda jasa yang diberikan kepada 6 hakim MK (dan kepada pihak-pihak lainnya) sebenarnya adalah bentuk ucapan terimakasih dan penghargaan dari negara atas kinerja dan pengabdian seseorang dalam sebuah periode pemerintahan (dalam kasus sekang periode 2014 - 2019).

Melihat tujuannya, pemberian tanda jasa bintang mahaputera tidak seharusnya dikaitkan dengan kinerja yang akan datang. Apalagi ini hanyalah sebuah penghargaan, tanda jasa. Penulis rasa dampaknya akan berbeda jika misalnya DPR memutuskan menaikkan gaji atau tunjangan dari hakim, akan ada alasan lebih kuat apabila kemudian masyarakat akan mempertanyakan kinerja.

Ketakutan atau pertanyaan akan kinerja hakim MK mungkin dan penulis yakin muncul dari pihak-pihak yang memang sedang memiliki kepentingan atas kasus sengketa di MK. Sedangkan bagi masyarakat lainnya penulis rasa tidak terlalu mempermasalahkan pemberian tanda jasa ini.

Akan sangat wajar ketika saya dan kelompok saya sedang mengajukan sebuah sengketa yang sedang dalam proses atau malah belum diproses, kemudian saya menjadi sangat sensitif atas pergerakan hakim yang sedang menangani sengketa yang saya ajukan.

Senggolan sedikit saja dari pihak yang kita anggap sebagai "lawan" kepada hakim akan dianggap sebagai gangguan kepada kinerja hakim yang bersangkutan. Logika dan psikologi seperti ini sangat wajar terjadi. Tetapi berpikir positif tetaplah perlu.

Penulis malah jadi penasaran, andaikata nantinya sengketa UU omnibus law diputus berdasarkan UUD 1945 tidak ada masalah, apakah mereka yang mengajukan sengketa akan bisa melihat dan mengevaluasi dengan kaca mata hukum dasar-dasar yang dipakai hakim untuk memberikan putusan. Atau jangan-jangan kacamata hukumnya otomatis tertutup oleh kejadian pemberian tanda jasa sehingga sekonyong-konyong langsung melihat putusan tidak adil. Kita lihat saja nantinya.

Yang pasti, setiap putusan yang dikeluarkan MK selalu berdasar konstitusi (UUD 1945) yang memang jadi titik berangkat dan keberpihakan dari setiap hakim MK.

Masyarakat perlu melihat dan mempelajari putusan juga dari kacamata konstitusi, kacamata hukum, tidak melihatnya dengan pandangan subyektif semata. Karena ketika subyektivitas dipakai untuk melihat sebuah putusan (baik di MK, MA maupun tingkat peradilan lainnya), maka kita tidak akan pernah merasa mendapatkan keadilan, apalagi jika kita dalam posisi kalah.

Pada intinya setiap putusan MK kedepan tetaplah harus dilihat secara obyektif, jangan hanya karena sebuah tanda jasa kemudian obyektivitas itu dirusak dengan menjadikan tanda jasa sebagai "kambing hitam" Ketidakadilan. Mereka yang sudah mengabdi sekian tahun layak lah dihargai.

Kalau dilihat waktunya tidak tepat, memang iya. Malahan terlambat, karena tanda jasa itu memang seharusnya diberikan di akhir masa jabatan sebuah pemerintahan, sebelum berganti masa jabatan yang baru. Apakah kemudian karena waktu, pemberian tanda jasa menjadi tidak layak? Tidak ada jawaban tunggal, tergantung dari dasar mana kita melihat. 

Apakah dengan semua argumentasi diatas berarti penulis dengan yakin dan pasti melihat tanda jasa tidak mempengaruhi kinerja? Tentu tidak sepenuhanya, kemungkinan itu tetap ada bahwa tanda jasa mempengaruhi kinerja, tetapi penulis meyakini kemungkinan dan pengaruh itu sangat kecil.

Lagipula penulis masih yakin dan percaya bahwa semua hakim MK tidak pernah bisa lepas dari tanggung jawab kepada negara dan Tuhan atas putusannya. Setiap putusan akan tercatat dalam sejarah negara, baik dan buruknya. Bagaimana namanya akan dikenang di masa depan ada ditangannya sendiri. Dan tentu saja tiap ketidakadilan pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan.

Salam damai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun