Tanda jasa yang diberikan kepada 6 hakim MK (dan kepada pihak-pihak lainnya) sebenarnya adalah bentuk ucapan terimakasih dan penghargaan dari negara atas kinerja dan pengabdian seseorang dalam sebuah periode pemerintahan (dalam kasus sekang periode 2014 - 2019).
Melihat tujuannya, pemberian tanda jasa bintang mahaputera tidak seharusnya dikaitkan dengan kinerja yang akan datang. Apalagi ini hanyalah sebuah penghargaan, tanda jasa. Penulis rasa dampaknya akan berbeda jika misalnya DPR memutuskan menaikkan gaji atau tunjangan dari hakim, akan ada alasan lebih kuat apabila kemudian masyarakat akan mempertanyakan kinerja.
Ketakutan atau pertanyaan akan kinerja hakim MK mungkin dan penulis yakin muncul dari pihak-pihak yang memang sedang memiliki kepentingan atas kasus sengketa di MK. Sedangkan bagi masyarakat lainnya penulis rasa tidak terlalu mempermasalahkan pemberian tanda jasa ini.
Akan sangat wajar ketika saya dan kelompok saya sedang mengajukan sebuah sengketa yang sedang dalam proses atau malah belum diproses, kemudian saya menjadi sangat sensitif atas pergerakan hakim yang sedang menangani sengketa yang saya ajukan.
Senggolan sedikit saja dari pihak yang kita anggap sebagai "lawan" kepada hakim akan dianggap sebagai gangguan kepada kinerja hakim yang bersangkutan. Logika dan psikologi seperti ini sangat wajar terjadi. Tetapi berpikir positif tetaplah perlu.
Penulis malah jadi penasaran, andaikata nantinya sengketa UU omnibus law diputus berdasarkan UUD 1945 tidak ada masalah, apakah mereka yang mengajukan sengketa akan bisa melihat dan mengevaluasi dengan kaca mata hukum dasar-dasar yang dipakai hakim untuk memberikan putusan. Atau jangan-jangan kacamata hukumnya otomatis tertutup oleh kejadian pemberian tanda jasa sehingga sekonyong-konyong langsung melihat putusan tidak adil. Kita lihat saja nantinya.
Yang pasti, setiap putusan yang dikeluarkan MK selalu berdasar konstitusi (UUD 1945) yang memang jadi titik berangkat dan keberpihakan dari setiap hakim MK.
Masyarakat perlu melihat dan mempelajari putusan juga dari kacamata konstitusi, kacamata hukum, tidak melihatnya dengan pandangan subyektif semata. Karena ketika subyektivitas dipakai untuk melihat sebuah putusan (baik di MK, MA maupun tingkat peradilan lainnya), maka kita tidak akan pernah merasa mendapatkan keadilan, apalagi jika kita dalam posisi kalah.
Pada intinya setiap putusan MK kedepan tetaplah harus dilihat secara obyektif, jangan hanya karena sebuah tanda jasa kemudian obyektivitas itu dirusak dengan menjadikan tanda jasa sebagai "kambing hitam" Ketidakadilan. Mereka yang sudah mengabdi sekian tahun layak lah dihargai.
Kalau dilihat waktunya tidak tepat, memang iya. Malahan terlambat, karena tanda jasa itu memang seharusnya diberikan di akhir masa jabatan sebuah pemerintahan, sebelum berganti masa jabatan yang baru. Apakah kemudian karena waktu, pemberian tanda jasa menjadi tidak layak? Tidak ada jawaban tunggal, tergantung dari dasar mana kita melihat.Â
Apakah dengan semua argumentasi diatas berarti penulis dengan yakin dan pasti melihat tanda jasa tidak mempengaruhi kinerja? Tentu tidak sepenuhanya, kemungkinan itu tetap ada bahwa tanda jasa mempengaruhi kinerja, tetapi penulis meyakini kemungkinan dan pengaruh itu sangat kecil.