Mohon tunggu...
Resi Aji Mada
Resi Aji Mada Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan pribadi

Pernah menjalani pendidikan bidang studi Administrasi Negara di perguruan tinggi negeri di kota Surakarta. Pemerhati isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Klaim Menang Karena Tahu Kalah

7 November 2020   16:00 Diperbarui: 7 November 2020   16:01 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh cottonbro dari Pexels

Mata dunia beberapa hari ini sedang tertuju kepada agenda politik empat tahunan yang ada di Amerika Serikat. Agenda pemilu yang menentukan pemimpin negara  ini untuk masa jabatan 4 tahun kedepan sedang berlangsung. 

Tidak heran mata dunia terfokus karena pengaruh negara adidaya ini memang sangat besar kepada banyak negara di dunia, tak lepas juga Indonesia. Dengan fakta ini, wajar setiap pemerintahan, politisi dan pengamat politik di berbagai belahan dunia menunggu dan harap-harap cemas akan hasil akhir dari pemilihan umum kali ini. 

Tiap calon presiden yang nantinya terpilih tentu saja akan membawa dampak yang berbeda satu sama lain, hal ini yang sedang ditunggu dan dicemaskan banyak pihak.

Banyak pengamat politik berlomba-lomba untuk mencoba menerka-nerka dengan perhitungan masing-masing siapa yang akan memenangkan pemilu kali ini. Tak lupa ada pula pengamat yang menyoroti proses yang terjadi beserta dampak-dampaknya kepada warga Amerika, termasuk dampak kepada negara lain.

Dari banyaknya pandangan pengamat, ada yang memberikan pandangan menarik bahwa proses dan dinamika yang terjadi dalam pemilu di Amerika kali ini sama seperti yang terjadi di Indonesia setahun yang lalu. Yang lebih menarik lagi pandangan ini tidak muncul hanya dari pengamat politik di Indonesia ini, tetapi dari luar juga. 

Salah satu kejadian pemilu Amerika yang membuat ingatan kembali terhadap dinamika pemilu di Indonesia adalah ketika salah satu kandidat, Donald Trump menyatakan klaim kemenangan sebelum penghitungan selesai dan hasil resmi disampaikan. Bedanya, klaim menang pemilu di Indonesia yang dulu dilakukan oleh Prabowo Subianto berakhir dengan kekalahan bahkan setelah menggugat lewat Mahkamah Konstitusi. Sedangkan sampai tulisan ini dibuat, belum ada hasil resmi pemilu di Amerika apakah klaim Trump sesuai dengan hasil resmi. 

Terlepas dari hasil pemilu di dua negara ini, penulis lebih tertarik untuk menelisik tentang klaimnya, apa kira-kira maksud dibalik munculnya klaim kemenangan yang terlalu dini ini. Bahasan kali ini berangkat dari asumsi penulis bahwa klaim kemenangan dibuat karena pihak yang bersangkutan merasa atau malah sudah tahu akan kalah. 

Masa iya sudah tahu akan kalah malah bikin klaim kemenangan? Tentu ada tujuan dan alasannya. Mari kita lihat argumentasi mengenai asumsi yang penulis sampaikan.

Alasan pertama kenapa penulis berasumsi klaim kemenangan datang dari pihak yang merasa kalah adalah karena logika sederhana bahwa psikologis pihak yang tahu akan kalah pasti merasa tidak tenang dan berusaha mencari cara bagaimana bisa merubah keadaan. Sedangkan pihak yang tahu akan menang biasanya relatif lebih tenang menunggu hasil. 

Ketika ada pertanyaan darimana tahu akan kalah atau menang, tentu dalam setiap tim pemenangan memiliki bagian atau divisi yang menyajikan data secara cepat terkait kondisi terkini hasil olahan data dari pantauan saksi-saksi terkait yang tersebar di banyak wilayah. 

Klaim kemenangan (ditambah sujud syukur) yang dilakukan oleh capres Prabowo setahun yang lalu pun misalnya, penulis merasa pada kondisi yang sama. Walau tim sukses pak Prabowo waktu itu membagikan data kepada masyarakat tentang calonnya yang lebih unggul, penulis yakin ada data berbeda yang menunjukkan kondisi sebaliknya, cuman data itu hanya beredar di kalangan sendiri, itupun mungkin terbatas dikalangan petinggi, bukan akar rumput. 

Setidak-tidaknya jika data yg penulis maksud tidak ada, pasti mereka juga mempertimbangkan hasil quick count yang dikeluarkan berbagai lembaga survei yang kenyataanya mengunggulkan calon lawan. Tidak mungkin tim pemenangan yang terdiri dari orang-orang cerdas ini tidak mempertimbangkan berbagai kemungkinan. 

Lalu mengapa tim sukses atau tim pemenangan merilis data calonnya unggul padahal posisi banyak lembaga survei yang lain menunjukkan hasil sebaliknya? Ya jawabnya sederhana, tim sukses mana yang ingin menunjukkan secara lebih cepat jika junjungannya kalah sebelum hasil resmi dikeluarkan. Apalagi jika pertarungannya sengit dan berbeda tipis, pasti setiap tim sukses akan membangun image ke publik bahwa calonnya yang akan atau sudah pasti menang. 

Balik lagi ke logika awal, untuk masyarakat bisa tahu tim sukses mana yang yakin benar-benar akan menang, secara sederhana lihatlah pada ketenangan dan "polah" mereka menunggu hasil resmi keluar. Tetapi jangan dianggap hal pasti. 

Lalu kalau tim sukses sudah bermain dengan data hitung cepat, kenapa calonnya harus sampai membuat klaim kemenangan? Padahal bisa menjadi hal yang memalukan jika hasilnya berbeda. Bahkan sebelum hasil resmi keluar pun banyak pihak akan memandangnya tidak etis. 

Alasannya ya kembali lagi untuk menguatkan apa yang tim sukses kerjakan. Biasanya dalam pertarungan yang sengit, tim kerja akan membuat rencana bahkan memang sudah mempunyai skenario dari awal untuk mengusahakan jalur lain jika hasil perhitungan resmi dinyatakan kalah, misalnya menggugat ke mahkamah. 

Nah, klaim kemenangan punya peran penting setidaknya untuk membuat image atau meyakinkan publik terlebih dahulu bahwa mereka pada posisi menang sehingga ketika nanti hasilnya keluar dan mereka dinyatakan kalah serta dilanjutkan dengan memasukkan gugatan, usaha ini bisa diterima dan bahkan akan mendapat support dari masyarakat, apalagi pendukungnya. 

Logika sederhananya jika seseorang sudah sangat yakin pasti menang dalam sebuah kompetisi, kemudian dinyatakan kalah, pasti sangat bisa dimaklumi jika dia mempersoalkan kekalahannya. 

Bayangkan bila dari awal tim sukses sudah menunjukkan hasil kalah, kemudian calonnya menunjukkan sikap legowo. Dan saat hasil resmi keluar dan benar demikian, kemudian mereka mengajukan gugatan? Apa tidak lebih memalukan? Apakah akan ada kepercayaan masyarakat dan pendukungnya terkait gugatannya? Yang ada hanya akan dipandang sebagai usaha putus asa untuk mencoba mengubah situasi. 

Namun ada hal unik dalam pemilu Amerika. Donald Trump membuat klaim kemenangan, tetapi langsung diikuti oleh permintaanya untuk menghentikan penghitungan. Hal ini bisa memunculkan setidaknya dua makna. Pertama bisa dimaknai sebagai bentuk optimisme dan kepercayaan diri yang tinggi bahwa penghitungan lanjutan tidak akan mengubah hasil. Atau makna kedua yang menurut penulis lebih tepat bahwa Trump melakukan blunder karena permintaan penghentian perhitungan menunjukkan ketakutan Trump bahwa hasil final perhitungan akan berbeda dengan klaimnya. Semangat yang berlawanan dari klaim kemenangan. 

Kenyataannya klaim kemenangan, kemudian permintaan penghentian penghitungan suara, diikuti lagi dengan rencana Trump sendiri yang dia sampaikan ke publik jika dia akan segera mengajukan gugatan ke mahkamah, bahkan sebelum hasil resmi keluar. 

Ini malah semakin menguatkan asumsi bahwa Trump sangat ketakutan akan hasil final, yang berarti dia sendiri sudah mengetahui kemungkinan terbesar dari hasil final dia akan kalah. Dari mana bisa tahu? Ya balik lagi diawal pembahasan, dari data-data yang dikumpulkan saksi dan diolah tim pemenangan. 

Walaupun dengan argumentasi-argumentasi ini, sekali lagi pandangan ini semua tetaplah asumsi dan teori dari pribadi penulis. Jika nantinya pemilu Amerika menunjukkan hasil berbeda dari klaim Donald Trump, ditambah fakta pemilu Indonesia setahun lalu yang juga kita tahu menunjukkan hasil berbeda dari klaim Prabowo. 

Tidak otomatis juga asumsi dan teori penulis bisa dianggap tepat. Tetapi mungkin bisa dipakai untuk menilai jika ada kejadian yang serupa lagi kedepannya. 

Setidaknya satu kesimpulan pasti yang bisa diambil dari dinamika yang terjadi di Amerika saat ini atau di Indonesia setahun yang lalu (yang dikatakan mirip), adalah segala hal yang dilakukan baik penyampaian data oleh tim sukses, ataupun klaim kemenangan, atau rencana gugatan, semua ada pada satu skenario besar yang telah disusun dan diantisipasi. Atau setidaknya jika tidak ada skenario, setiap hal yang dilakukan dan diputuskan tetap berdasar atas berbagai pertimbangan. 

Satu lagi,  kata-kata Ross Tapsell. Seorang pengajar senior di school of culture, history and language Australian National University yang saya ambil dari artikel di kompas.com, bahwa pemilu di Indonesia dan Amerika akan benar-benar mirip jika nanti Trump diangkat sebagai menteri pertahanan dari pemerintahan Biden. Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun