Ketika Sabtu pagi saya menyempatkan diri untuk membuka Kompasiana, ehh ada tantangan untuk melakukan tukar peran dalam rumah tangga.Â
Susah bagi saya yang belum memiliki rumah tangga untuk berbagi peran. Lha iya lah ya, tukar peran sama siapa coba? Apa Kompasiana sedang menyindir saya untuk segera berumah tangga?
Berbicara mengenai rumah tangga, mungkin sebagian besar dari kita akan merujuk pada sosok suami-istri. Saya juga awalnya demikian. Lalu saya teringat satu sosok lagi yang mungkin sering lepas dari pembahasan ketika berbicara mengenai rumah tangga. Iya anak, bukan anak tetangga lho ya, apalagi anak tangga.Â
Sosok satu ini sering dilupakan dalam pembahasan. Coba saja cari artikel terkait rumah tangga di internet. Sebagian besar akan membahas hubungan suami-istri, keharmonisan suami-istri, masalah suami-istri. Kalaupun disinggung soal anak, biasanya jadi peran pendukung saja istilahnya kalau di dunia film.Â
Padahal dalam kenyataan menurut saya yang belum berkeluarga ini, bagi suami-istri yang sudah mempunyai anak, si anak bisa jadi faktor utama penentu bagaimana rumah tangga akan berjalan. Apakah akan selalu bermasalah, akan selalu harmonis, atau berjalan dinamis.
Saya rasa pernyataan ini memiliki dasar, bukankah ketika suami-istri memiliki anak, maka fokus dan energi terbesar mereka akan beralih dan diberikan untuk sang anak? Betul tidak?Â
Kalau memang pandangan saya mengenai rumah tangga ini benar, sekarang bikin percobaan andaikata bertukar peran antara orangtua dan anak. Mungkin gak ya? Lhah kok malah gantian saya yang kasih tantangan. Nggak kok, saya sendiri coba bikin simulasi.Â
Tantangan dimulai, si anak dan ayah ibu sepakat untuk coba bertukar peran sehari, mumpung liburan. Kebetulan anak mereka dua, laki-laki dan adeknya perempuan, jadi pas deh.
Kan ga mungkin juga pas hari kerja, masa iya anaknya disuruh beneran kerja? Kalau punya usaha sendiri sih masih bisa, lha kalau kerja sama orang? Bisa marah atau malah bingung bosnya ketika si anak karyawannya yang masuk kerja.Â
Balik lagi ke tantangan, semua dimulai sebuah asumsi. Si anak berasumsi, "asik aku bisa berkuasa ambil keputusan apapun, kan aku lagi jadi kepala keluarga."
Begitu juga ayah dan ibu bisik-bisik berdua, "Akhirnya kita santai dulu, Â lumayan sehari dilayani anak. Lagipula sudah sangat lama juga ketika kita masih anak-anak, udah lupa gimana rasanya".
Pagi hari mereka mulai dihadapkan dengan sarapan, anak-anak yang biasa masih main-main di kamar atau mungkin malah masih tidur sudah sibuk di dapur siapin sarapan, yang sederhana saja, telur.
Kebetulan juga si anak sudah pernah diajarin menanak nasi di magic jar, jadi aman deh gaperlu pakai cara tradisional. Sedangkan ayah dan ibunya masih asik main hp diruang keluarga, gatau apa yang lagi mereka buka.Â
Singkat cerita sarapan siap, semua anggota sudah ada di meja makan. Telurnya kelihatan wajar, aman lah. Lalu ketika ibu makan sendokan pertama, eh ternyata telurnya keasinan.Â
Ibu pun dengan jujur ngomong "nak ini telurnya keasinan, apa diganti aja goreng lagi tapi garamnya dikurangin".Â
Anak dengan polosnya jawab, "Sudah disiapin makanan ga bersyukur malah protes, makan apa yang sudah disiapin jangan banyak minta-minta".Â
Kaget lah si ibu dengan jawaban anaknya, lagipula memang beneran keasinan kok, namanya juga yang masak anak-anak.
Yasudah, acara makan mereka berempat dilanjutkan apa adanya. Lauknya jadi irit karena pakai dikit saja sudah kerasa. Selesai makan sesuai kesepakatan awal sebagai ganti pekerjaan, si anak laki berkebun sedangkan anak perempuan beres-beres di dalam rumah, sedangkan kedua orang tua baca-baca entah koran, majalah, atau artikel di kompasiana sebagai simulasi jam sekolah atau belajar (kan lagi PSBB).Â
Satu jam lebih berlalu, mata ayah ibu mulai capek dan mulai bosan juga dong baca terus, akhirnya mereka mulai ngobrol santai sambil ayah sempet nyeletuk "lebih pilih kerja aku daripada harus duduk diam cuma baca gini".Â
Ketika anak perempuan lewat dan ngelihat ayah ibunya, si anak nyeletuk: "kalau belajar yang serius jangan ngobrol sendiri"
Ayah pun mewakili jawab, "bentar ya nak, isitirahat dulu. capek ini mata".
Dijawab lagi sama anak dong, "lagi belajar sebentar aja capek, dulu itu ya (padahal ya masih dilakuin) aku sekolah dari pagi sampe siang, pulang tidur siang sebentar sudah harus les lagi sorenya, malamnya masih belajar sama ngerjain PR juga. Baru belajar sebentar aja sudah ngeluh". (Dengan nada dan muka yang berusaha dimarah-marahin padahal tetep aja masih imut)
Ayah dan ibunya cuma bisa mlongo sambil berusaha nahan gemes karena ekspresi dari anak perempuannya, yasudah balik baca kompasiana lagi. Role play berlanjut, 3 jam berlalu, sekitar jam 11 siang si anak laki-laki masuk rumah dengan raut muka yang kelihatan capek banget padahal gatau juga hasil beres-beresnya diluar gimana, apakah lebih beres atau malah tambah hancur (gaperlu dipikirin).Â
Ibu tiba-tiba ngomong sama anak perempuannya, "makan siang masak mie aja yang gampang, kan udah pernah ibu ajarin masak mie".
Anak perempuannya kaget. Baru saja selesai beres-beres rumah sudah harus siapin makan siang. Akhirnya anaknya ngomong ke ibunya, "Kalo gitu ibu beli mie dulu diwarung sana, sama sekalian telur dah meh habis, abis itu tak masakin"
Si ibu cuman mikir kok malah aku disuruh, tapi ya dilakuin karna tau sedang berperan jadi anak. Pergilah ibunya ke warung. Sementara nunggu jam makan siang karena capek main hp, sang ayah ngajak anak lakinya untuk main monopoli. Tapi sang anak menolak dengan ngomong, "nanti atau besok-besok saja, capek abis kerja".
Yasudah mau gimana lagi, ayah pun memaklumi sambil teringat kalau dia sendiri sering ngeluarin kata-kata itu. Sang ibu ketika jalan balik dari warung ketemu sama tetangganya yang tanya, "Tumben mbak siang-siang ke warung sendiri, biasanya nak wedok (anak perempuan) yang disuruh, lagi pergi ya anaknya?" Ibu pun akhirnya berhenti dulu sambil cerita tentang keluarganya yang coba tantangan dari kompasiana untuk roleplay bertukar peran .Â
Ditengah-tengah cerita, anak perempuannya yang ga sabar nunggu coba lihat keluar dan menemukan ibunya sedang ngobrol dengan tetangga. Dia pun segera memanggil ibunya, dan ketika ibunya sampai rumah si anak sembari agak kesal ngomong, "kalau disuruh itu diberesin dulu baru pergi main." Sang ibu cuma bisa ketawa kecil, dan pada akhirnya anak perempuan dibantu ibunya memasak mie untuk makan siang bersama.Â
Setelah makan siang karena mereka berempat cukup lelah terutama kedua anaknya (sebenernya penulis yang capek ngetik), mereka memutuskan untuk menyudahi pertukaran peran mereka kemudian tidur siang sembari punya rencana nanti malam untuk pergi makan malam diluar.
Sang anak yang pada awalnya beranggapan sebagai orang tua enak dengan punya kewenangan dan kuasa untuk mengatur ternyata sadar kalau tanggung jawab dan bebannya kerjanya cukup berat dan melelahkan.
Sedangkan ayah dan ibu yang kadang kala punya anggapan bahwa tugas anak lebih sepele, belajar dan bermain sehingga kadang pula membebani dengan tuntutan berlebih terhadap anak dengan argumen-argumen bagaimana dulu orang tua pernah mengalami, ternyata menyadari juga kalau anak mesti berjuang menghadapi kebosanan dan tuntutan orang tua serta perlu diberi ruang (bukan sepenuhnya juga) untuk memiliki kebebasan dalam menentukan apa yang ingin dilakukan termasuk juga mengenai masa depannya.Â
Akhirnya, tantangan dari kompasiana berhasil dilakukan, walaupun cuma setengah hari dan semua yang terlibat mendapatkan pelajaran tentang menghargai hak dan tanggung jawab serta tugas masing-masing dalam rumah tangga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H