Hari-hari ini (sebenarnya sudah lama juga) ketika penulis membuka media sosial, sudah pasti selalu menemukan adanya perdebatan atas berbagai konten (bahkan hampir semua) yang diunggah di media sosial. Baik itu konten yang bersifat pribadi (terutama dari publik figur) apalagi konten yang mengunggah topik-topik politik, wah sudah pasti saat kita membuka kolom komentar akan langsung muncul perang atas berbagai sudut pandang yang dikemukakan para warganet.Â
Apakah perbedaan pendapat itu salah? Bagi penulis, dan penulis yakin bagi setiap orang pasti akan menjawab hal yang sama: bahwa tidak ada yang salah dari sebuah perbedaan pendapat. Bangsa ini terbangun atas perbedaan, baik suku, ras, agama, pandangan politik, bahkan mungkin juga ideologi. Karena perbedaan itu bangsa ini punya istilah Bhineka Tunggal Ika, yang menunjukkan bahwa perbedaan di bangsa ini tidak menjadikan halangan bagi setiap warganya untuk hidup di tanah air ini. Â Bahkan karena perbedaan yang ada, negara ini menjadi kaya.Â
Lalu apa ada yang salah dengan perbedaan yang dikemukakan di media sosial? Sebenarnya, tidak juga. Mengemukakan sudut pandang pribadi atau kelompok di dalam media sosial, pun mencoba membagikan (sharing) sudut pandang kita kepada orang lain yang memiliki sudut pandang yang berbeda, sah-sah saja. Asalkan tetap pada norma dan etika yang ada di masyarakat. Poin terakhir ini yang harus digaris bawahi dan selalu menjadi masalah dalam kehidupan bermedia sosial di bangsa ini.Â
Banyak warganet media sosial yang keluar dari norma dan etika ketika menyampaikan pandanganya atau ketika merespon pandangan berbeda yang disampaikan orang lain, setidaknya itu fakta yang ditemukan penulis sendiri. Bagi penulis, setidaknya ada beberapa faktor yang membuat seseorang berani berlebihan bahkan sampai bersifat bullying dalam bersuara di media sosial.Â
Pertama, tidak sedang langsung berhadapan.
Bangsa ini sebenarnya mempunyai budaya sopan santun yang sangat baik. Yang membuat saat seseorang bertemu dengan orang lain baik orang yang sudah dikenal ataupun yang belum, selalu penuh dengan kelembutan dan bahasa yang baik dan senyum yg manis (ya kecuali kalau ketemu sama orang yang udah berhutang lama ga dibayar-bayar). Sedangkan di media sosial, seseorang merasa sedang berhadapan dengan gadgetnya sendiri, tidak diperhatikan orang lain, sehingga merasa sebebas-bebasnya dalam menyampaikan sesuatu. Tidak ada yang melihat secara langsung, tidak ada yang akan menegur, pikirnya.Â
Kedua, mudah menyembunyikan identitas.
Kita tahu fakta bahwa untuk membuka akun di media sosial itu sangat mudah, jauh dibandingkan ketika kita ingin membuka akun rekening di sebuah bank. Memang data diri biasanya selalu diminta beserta alamat surel. Tetapi dengan mudah diisi oleh data palsu, tidak akan ada mekanisme pengecekan kebenaran data. Kecuali untuk kebutuhan tertentu yang berkaitan dengan keuangan atau legalitas. Â Sebagai gambaran, kita mungkin tidak akan langsung tahu ketika seorang anak sedang mengolok-olok atau mengancam orang tuanya sendiri di media sosial.
Ketiga, sangat sedikit yang berakhir pada kasus hukum.
Meski di negara ini memiliki undang-undang ITE yang juga mengatur kebebasan pendapat di media sosial, kenyataannya penerapan peraturan ini sangat terbatas oleh berbagai kondisi. Â Biasanya (saya kurang tahu bagaimana seharusnya) tanpa adanya laporan, tidak akan ada penindakan. Kalaupun ada yang melaporkan, biasanya ada kepentingan tertentu atau sudah keterlaluan pada tingkat mengancam atau mempengaruhi kehidupan sehari-hari korbannya. Pun kalau aparat bertindak tanpa laporan, biasanya karena kasus yang sudah terlalu viral, mengancam dan atau melecehkan simbol-simbol negara.
Sebenarnya masih banyak faktor-faktor lain yang membuat seseorang dengan mudah berani berlebihan (yang bisa mencapai titik bullying) dalam bermedia sosial. Tetapi tiga faktor diatas penulis rasa sudah cukup untuk menguatkan dan menjadi alasan kenapa masalah ini terjadi.
Lalu apa yang harus dibenahi? Apa yang harus dibenahi dari media sosial? Pendapat saya pribadi, tidak ada yang harus, dan mungkin tidak ada yang bisa dibenahi dari media sosial. Biarlah media sosial menjadi satu tempat dimana semua orang secara bebas mengemukakan pendapatnya, berbeda dengan forum-forum tatap muka dimana biasanya dibatasi oleh waktu, jumlah  orang yg bisa bersuara dll.Â
Yang mesti dibenahi adalah diri manusianya sendiri dalam norma dan etika bermedia sosial. Harus ada perubahan cara pandang bahwa tanpa ada yang melihat, tanpa ada yang mengawasi, tanpa ada yang mengatur, bukan berarti seenaknya dalam mengeluarkan kata-kata. Jangan sampai kita menyakiti, menghancurkan kepercayaan diri, bahkan menghancurkan tujuan hidup dari orang lain hanya karena bahasa dan ucapan yang kita keluarkan. Berpandanganlah bahwa kita mungkin tidak tahu siapa yang sedang kita serang, kita bully, tetapi bisa jadi mereka orang-orang yang sebenarnya paling kita sayang.Â
Pada akhirnya kebebasan berpendapat harus terus kita jaga, pertahankan. Tetapi kebebasan yang merusak harus dibuang jauh-jauh. Orang yang kita hadapi di media sosial juga sama-sama anak bangsa yang harus dijaga, kalaupun dari luar, bukankah mereka juga ciptaan Tuhan yang sama dan setara dengan diri kita sendiri, terlepas dari segala perbedaan yang ada. Didalam kepercayaan saya, ada namanya hukum tabur tuai. Apa yang kita tabur di lahan kita sendiri, itu pula yang akan kita tuai dan kita nikmati sendiri. Jangan sampai kebebasan diri kita hilang hanya karena kebebasan merusak yang diri kita lakukan sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H