Mohon tunggu...
Resa Roosmana
Resa Roosmana Mohon Tunggu... Freelancer - Perempuan biasa yang senang menulis

Semoga bermanfaat!

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

6 Alasan Internal Karyawan Memilih Quiet Quitting

23 Desember 2022   14:13 Diperbarui: 30 Desember 2022   23:55 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyebab quiet quitting (Sumber: Chaay_Tee via kompas.com) 

Saat ini marak sekali pembahasan quiet quitting di berbagai sosial media. Sebenarnya istilah Quiet quitting ini sudah lama ada dan sering terjadi dalam dunia kerja. 

Hanya saja menurut survey yang dilakukan oleh Gallup mengungkapkan bahwa tingkat stress karyawan ini cenderung meningkat dari 38% di tahun 2019 menjadi 43% di tahun 2020. 

Tingkat stress yang cukup tinggi ini secara tidak langsung berpengaruh pada naiknya pelaku quiet quitting. 

Quiet quitting adalah tindakan dimana seorang karyawan memutuskan untuk bekerja seperlunya sesuai tanggungjawab dan tingkatan gaji yang dia peroleh. 

Pelaku quiet quitting biasanya membatasi dirinya untuk tidak terlalu sering berinteraksi di lingkungan kerja baik secara langsung ataupun melalui media chat.

ilustrasi karyawan yang sedang bekerja (pexels.com)
ilustrasi karyawan yang sedang bekerja (pexels.com)

Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan quiet quitting. Selain faktor eksternal, seperti tidak puas dengan penilaian kinerja, tidak mendapatkan gaji yang sesuai, tidak diperlakukan dengan adil, atau mendapatkan beban pekerjaan yang melibihi porsi jabatan, faktor internal dari karyawan sebagai pelaku quiet quitting juga sangat berpengaruh. 

Biasanya, karyawan yang berani melakukan quiet quitting adalah karyawan yang memendam kekecewaan cukup besar pada perusahaan namun memiliki kemampuan atau skill yang mumpuni untuk menyelesaikan semua beban kerjanya sendiri.

Percayalah, quiet quitting tak lebih seperti bom waktu yang tersimpan di dalam benak karyawan anda. Saat dia tak mampu lagi menahannya, maka ledakan yang terjadi biasanya akan cukup dahsyat dan mampu membuat anda sebagai bos terperanga. 

Berikut beberapa faktor internal yang mempengaruhi karyawan melakukan quiet quitting;

Pertama, mereka merasa bisa menyelesaikan pekerjaannya sendiri, dengan baik, dan tepat waktu. Tipe karyawan tersebut biasanya adalah orang yang disiplin dalam mengatur waktu kerja. Jarang sekali terlambat untuk sekedar absen atau mengikuti briefing pagi. 

Mereka tipe karyawan yang akan tetap bekerja sesuai porsinya tanpa harus diawasi Bos. Bagi mereka, kinerja adalah nomor satu. Jadi mereka akan tetap bekerja dengan baik dan tidak terlalu pusing saat bos stay dikantor atau pergi seharian.

ilustrasi karyawan yang asyik mengobrol (pexels.com)
ilustrasi karyawan yang asyik mengobrol (pexels.com)

Kedua, mereka menerapkan sistem work life balance dimana mereka menganggap penting untuk memiliki kehidupan pribadi selain di kantor. 

Mereka bukan tipe karyawan yang suka berlama-lama dikantor dan mencari-cari pekerjaan untuk diselesaikan menjelang waktu pulang. 

Mereka membagi waktunya dengan adil antara kantor dan rumah. Karyawan yang melakukan quiet quitting bukanlah tipe karyawan yang suka mencari-cari tambahan jam lembur untuk menutup biaya pengeluaran per bulan. 

Mereka merasa bahwa gaji yang mereka terima setiap bulan sudah sangat cukup, bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan hidup atau untuk sekedar memenuhi hasrat healing yang terkadang diluar nalar.

ilustrasi pelaku quiet quitting di kantor (pexels.com)
ilustrasi pelaku quiet quitting di kantor (pexels.com)

Ketiga, mereka biasanya tidak bisa berbasa-basi di hadapan rekan kerja yang tidak disukai. Mereka tidak terlalu respect dengan atasan atau rekan kerja yang penuh intrik dan drama. 

Lingkungan kerja seperti itu sungguh menguras energi dan memberikan dampak negatif untuk kehidupan sehari-hari. Banyak sekali intrik dan drama yang bermunculan antara karyawan satu dengan karyawan lainnya. 

Biasanya mereka memberi batasan dalam berinteraksi dengan rekan kerja. Mereka hanya akan bertegur sapa seperlunya saja dan menghindari banyak mengobrol di kantor.

Keempat, mereka bukan tipe karyawan yang suka mengumbar kehidupan pribadi di status whatssapp sehingga memungkinkan diketahui banyak orang. 

Mereka sangat menjaga privasi dengan memberi batasan antara kehidupan pribadi dan kantor. Bisa dibilang, aplikasi WA adalah aplikasi khusus untuk bekerja, jadi mereka tidak akan memposting apapun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. 

Bagi sebagian orang sikap mereka ini dianggap aneh dan anti sosial, padahal itu sah-sah saja. Adalah hak mereka untuk memberi batasan ke orang lain tentang apa yang boleh dan tidak boleh mereka konsumsi tentang kehidupannya.

ilustrasi karyawan yang enggan diajak
ilustrasi karyawan yang enggan diajak "neko-neko" (sumber pexels.com)

Kelima, mereka selalu berpegang pada SOP perusahaan. Jika mereka yakin yang dilakukan itu benar, dan telah mendapat validasi dari pemegang jabatan yang lebih berwenang, maka mereka akan melakukan itu walaupun rekan kerja akan memberinya julukan "mempersulit" atau "tidak support". 

Imbasnya sudah bisa ditebak, mereka akan dikucilkan atau dibenci seisi kantor. Itu bukan masalah untuknya. 

Mereka memiliki prinsip unik yaitu saat kalian "jatuh", orang yang datang dan mengaku teman saat meminta bantuan tidak akan mau mengulurkan tangannya untuk membantumu. Kenapa? Karena hanya 2 pilihannya, menolongmu dan karirnya hancur atau membiarkanmu demi mempertahankan karirnya.

Keenam, mereka selalu bertanggungjawab atas pekerjaannya dengan baik agar zero fault. Mereka berusaha melaksanakan kewajibannya ke perusahaan dengan mematuhi segala peraturan yang ada.

Mereka berangkat tepat waktu, mengikuti briefing pagi dengan tertib, melakukan pekerjaan dengan penuh tanggungjawab, dan berusaha menyelesaikan semua tugas tepat waktu. Setelah itu, mereka akan segera pulang tepat waktu.

Itulah beberapa faktor internal kenapa karyawan memilih melakukan quiet quitting. Semua pelaku quiet quitting mempunyai alasan yang berbeda-beda. 

Rata-rata pelaku quiet quitting dianggap sebagai "penyakit" di kantor, padahal yang tejadi justru sebalikya. Mereka membatasi diri untuk tidak terlalu jauh berinteraksi dengan rekan kerja. Mereka biasanya tidak mempunyai banyak teman karena mereka tidak tertarik dengan drama dan intrik baru yang sedang terjadi di kator.

sumber: pexels.com
sumber: pexels.com

Motivasi karyawan ini hanya ingin mendapatkan kenyamanan dan pengakuan yang layak. Mereka biasanya menyelesaikan pekerjaanya dengan baik dan memiliki kinerja yang cukup mumpuni, hanya saja tidak tertarik mencampuradukkan kehidupan pribadinya ke lingkungan kerja. 

Pelaku quiet quitting mempunyai prinsip hidup yang kuat sehingga berani mengambil keputusan yang berbeda dari kebanyakan orang.

Saya pribadi adalah pelaku quiet quitting sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan saya. Saya menghabiskan hampir 5 tahun dari 11 tahun masa kerja saya untuk quiet quitting. 

Efek positif yang saya rasakan cukup beragam, dari segi mental yang lebih sehat, rekan kerja yang tidak lagi mengintimidasi, serta jenjang karir saya di perusahaan. Perlu keberanian ekstra untuk memutuskan melakukan hal tersebut karena efek negatif yang saya dapatkan juga luar biasa.

Intinya adalah, setiap keputusan yang kalian ambil akan membawa dampak positif dan negatif. Jadi persiapkanlah mental dan fisik kalian dengan baik. Persiapkanlah segalanya dengan matang. Jangan sekali-sekali bertindak gegabah. Jika kalian mempunyai cita-cita, bangkit dan wujudkan. 

Saat potensi kalian tidak dihargai, pergi dan cari tempat lain yang mau menghargai itu. Kalian istimewa di tempat yang tepat. Tetap semangat, ya!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun