Mohon tunggu...
Resy Al Charis
Resy Al Charis Mohon Tunggu... Guru - Sedang belajar

Terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Si Terang Bulan

31 Maret 2019   20:53 Diperbarui: 31 Maret 2019   20:59 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Fadlan......ayo minta maaf sama Abhi," kataku di depan mereka berdua. Fadlan nanar memandag Abhi yang berdiri di depannya. Matanya mulai berkaca-kaca. Nampaknya sebentar lagi air mata akan segera jatuh di pipinya. Abhi hanya terdiam. Menunduk, lalu memandangku. Kutatap Fadlan dalam-dalam, kuambil tangan kanannya dan kuulurkan ke tangan Abhi. 

Ragu-ragu Abhi menyambut uluran tangan Fadlan. Mereka pun berjabatan tangan.  "Ayo bilang apa nak," kataku lembut sembari menahan jengkel tingkat dewa yang kurasakan. "Maaf," akhirnya kata itu terucap dari bibir mungil Fadlan. 

"Maaf," Abhi juga membalas dengan kata yang sama. Aku tersenyum, lega rasanya akhirnya kata ajaib ini keluar juga. "Sekarang kembali ke tempat duduk masing-masing, dan jangan diulangi lagi ya," kataku sambil mengusap kepala dua makhluk kecil di depanku. Keduanya mengangguk, dan kembalu ke kursi masing-masing.

Hari itu aku bener-benar kesal. Seharian salah satu muridku yang bernama Fadlan terus saja membuat masalah. Ribut terus dengan temannya. Marah terus. Dan aku benar-benar hampir hilang kesabaran.

Tapi siang itu, setelah pulang sekolah. Kala aku sedang menunggu anak-anak piket tiba-tiba Fadlan datang kepadaku membawa plastik berisi roti terang bulan. "Ini buat bu Rere," katanya polos. Aku terhenyak. Memang sudah beberapa hari ini aku menginginkan roti terang bulan, namun penjualnya kebetulan sedang tidak jualan. 

Maka, siang ini ketika Fadlan membawa selembar roti terang bulan aku benar-benar terkejut. Aku terharu sekali. Bagaiman tidak seharian ini aku berkali-kali aku menegurnya karena perbuatannya, tapi tiba-ia datang membawakan barang yang aku inginkan.

Akhirnya, setelah kejadian terang bulan ini aku hanya bisa tersenyum. Ternyata anak-anak itu masih sangat polos. Tak peduli bagaimana mereka ditegur, sikap mereka masih tetap biasa, tanpa dendam. Lalu, kalau anak-anak bisa seperti ini kenapa kita yang orang dewasa tidak bisa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun