Dua pertimbangan hakim di atas menjadi dasar analisa penulis bahwa yang terkena dampak pidana penjara dan denda ternyata hanya masyarakat biasa, bukan bagian dari tim pemenangan pasangan calon. Afrizal Nur CH dan Hidayat Wijaya Dipura (terpidana lain dalam kasus yang sama) membagikan paket berisi mie instan dan flyer pasangan calon H. Wahidin HalimAndika Hazrumy pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten Tahun 2017, atas permintaan dari orang lain yakni H. Rahmat yang menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) dalam kasus tersebut. Keduanya hanyalah masyarakat biasa, bukan aktor yang memiliki kekuatan uang/materi lainnya untuk melakukan praktik politik uang.
2. Menghasilkan Manajemen Pemerintahan yang Korup
Praktik politik uang berpotensi menghasilkan kerusakan pada manajemen pemerintahan. Karena, pengisian jabatan politis dalam pemerintahan yang lahir dari proses korupsi politik, secara langsung akan berdampak pada pemerintahan yang korup pula. Hal ini disebut investive corruption30 dimana politisi yang terpilih lebih mengutamakan kepentingan para donator dibandingkan rakyat dengan memberi banyak keistimewaan.
Politik uang mencerminkan sinisme pemilih yang tak mampu berbuat apapun terhadap integritas kandidat, kecuali menjual suara mereka pada harga tertinggi. Artinya, buruknya proses seleksi kepemimpinan di partai politik menjadi bagian yang tak mungkin dipisahkan dari munculnya kepemimpinan politik yang tidak diharapkan namun prosesnya ini tak dapat ditolak masyarakat (Lucky, 2013). Oleh karena itu, politik uang akan menciptakan ketidakstabilan pemerintah dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang pro masyarakat (Walecki 2006, Ojo 2006).
Kondisi tersebut ditunjukkan juga dalam hasil survey Transparency International tahun 2020. Dalam rilis resminya, TI menunjukkan Corruption Perception Index (CPI) Indonesia berada di angka 37/100 dan berada di peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun 3 poin dari tahun 2019 lalu yang berada pada skor 40/100.
Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, Felia Salim, menyatakan terdapat tiga area dalam CPI yang mesti diperhatikan secara serius. Pertama, sektor ekonomi, investasi dan kemudahan berusaha. Secara umum beberapa indikator penyusun CPI yang berhubungan dengan sektor ekonomi, investasi dan kemudahan berusaha mengalami stagnasi (WEF) bahkan mayoritas turun (PRS; IMD; GI; PERC). Sehingga janji Pemerintah dalam melakukan perbaikan di sektor perbaikan iklim usaha perlu ditinjau ulang terkait denganprevalensi terhadap korupsi. Kedua, sektor penegakan hukum dan perbaikan layanan/birokrasi.Â
Salah satu indikator penegakan hukum naik (WJP-ROL), namun pada perbaikan kualitas layanan/birokrasi dengan hubungannya terhadap korupsi stagnan (BFTI; EIU). Ketiga, adalah sektor integritas politik dan kualitas demokrasi. Korupsi politik, bahkan saat situasi pandemi yang melibatkan aktor-aktor politik yang jabatan publik perlu mendapatkan perhatian khusus dan perlu peningkatan kualitas pertanggungjawaban politik secara serius dan memastikan untuk terbebas dari konflik kepentingan.
Kemudian jika melihat data-data yang dihimpun oleh Lembaga riset Power, Welfare and Democracy (PWD) dalam kerjasama dengan UGM, dan Universitas Oslo, yang diselenggarakan di 28 (dua puluh delapan) kabupaten/kota pada tahun 2013, menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia tengah berada dibawah ancaman patronase. Patronase merupakan salah satu sistem korupsi dimana para pejabat publik yang bertugas bukan untuk melayani kepentingan masyarakat umum, melainkan kepentingan-kepentingan penguasa yang menempatkan mereka pada poisisi-posisi tertentu dalam pemerintahan.
Menurut Sarah Birch, korupsi dalam pemilu akan menghasilkan orang yang 'salah' sebagai pemenang. Pemerintahan yang dihasilkan pun kurang representatifdan akuntabel. Karena politisi yang terpilih tidak akan mengutamakan kepentingan rakyat. Selain itu, korupsi dalam pemilu dapat mendorong korupsi di sektor-sektor lain.
Manajemen pemerintahan yang korup akan berdampak pada buruknya kualitas dari pelayanan publik. Kualitas pelayanan publik yang buruk dapat menyebabkan minimnya kualitas dari sumber daya manusia di Indonesia. Jika kondisinya sudah demikian, maka bukan tidak mungkin indeks pembangunan manusia (IPM) menurun, angka kemiskinan dan pengangguran melonjak, dan pada akhirnya bangsa Indonesia menjadi terbelakang dan tidak berdaya.
3. Merusak Paradigma Bangsa