Mohon tunggu...
Redining Nila Astuti
Redining Nila Astuti Mohon Tunggu... Freelancer - penikmat yang bukan pengila

menulis bukan hanya di kertas, pemimpi yang ingin bergerak dengan mata terbuka

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toxic Relationship: Jangan Pacaran, Udah Serius Aja

14 Mei 2020   12:17 Diperbarui: 18 November 2020   19:43 1031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini banyak sekali saya mendengar cerita-cerita dari hubungan yang kurang baik yang kemudian berakhir perpisahan. 

Perpisahan terjadi dalam sebuah hubungan yang sudah menjadi toxic relationship --yang bisanya terjadi dalam hubungan berpacaran atau bila engga di sebut begitu bisa diganti di sebut dengan berkomitmen. Banyak penyebap tentang sebuah perasaan kenapa bisa memudar.

1. Tingkat kepercayaan: Di mana salah seorang di dalam sebuah hubungan sudah tidak percaya atau semua ucapan yang telah di katakan pasangannya di angap sebuah bualan. 

Terlalu pencemburu, bisa menjadi salah satu menjadi terkikisnya perasaan. Seperti pasir yang di gengam terlalu keras, perlahan apa yang di gengam hilang meski di pegang erat-erat.

2. Komunikasi: Ada beberapa orang bilang, dewasa itu tanpa berkomunikasi bisa saling mengerti asal sehati. 

Tapi kalau menurut pandangan dari saya, segala sesuatunya haruslah di komunikasikan, tidak secara terus menerus sepanjang hari selama 24 jam tidak apa-apa, asalkan memiliki frequensi yang berkualitas untuk terus menjaga hubungan tidak terputus. 

Bagaimana bisa sebuah hubungan berjalan baik tanpa sebuah komunikasi, padahal komunikasi adalah sebuah kendaraan untuk menuju suatu tujuan yang sama agar sepaham kemudian sehati.

3. Beda Prinsip dan Prioritas: Salah seorang teman saya pernah bilang, diawal sebuah hubungan bisa jadi bukan sebuah cinta tapi ialah sebuah suka, cinta itu muncul seiring berjalannya waktu. 

Terkadang ada seseorang yang terburu-buru mengungapkan perasaan, yang padahal orang tersebut adalah orang yang baru di kenalnya. Konteknya masih dalah istilah "suka". 

Kemudian menjalani hubungan dan di perjalanan ternyata di temukan beberapa perinsip atau sebuah prioritas yang berbeda. Sebuah penelitian yang dilakukan di University College London dan diterbitkan dalam NeuroImage menemukan, mengenai efek jatuh cinta. 

Otak area hipotalamus menghasilkan senyawa euforia yang menurunkan penilaian negatif terhadap orang yang di sukai sehingga sebenarnya penilaiannya tidak objektif terhadap orang yang disukai.

***

Perasaan suka atau cinta dikatakan dapat menghilang sedikit demi sedikit. Hal ini disebapkan produksi senyawa seperti dopamine, nenopinephrine, endropin dan oksitosin (senyawa dalam tubuh yang membuat efek rasa nyaman atau mengebu-gebu ketika bertemu seseorang yang disukai) tidak berlangsung secara terus menerus. 

Pada saat rasa ketertarikan itu memudar, maka otak akan tetap berusaha untuk memproduksi senyawa selama seseorang yang berpasangan berusaha saling melengkapi dan menghagai dalam keharmonisan.

Hubungan toxic itu adalah hubungan yang di jalankan bila salah satu nya merasa baik-baik saja dan salah satu lainnya memiliki permasalahan sendiri di dalam pemikirannya. 

Jahatnya apabila di lanjutkan akan menggantukan harapan terlalu lama padahal tidak memiliki tujuan lagi (pernikahan). Kenapa saya bilang jahat, karna tidak mengadili untuk keduanya. 

Ketika salah satunya merasa ada suatu hal yang salah, si pemikir dalam sebuah toxic relantionship  tersebut beberapa kebanyakan memilih menghilang tanpa sebuah kata pamit. kemudian menyakiti satu sama lainnya tanpa sebuah kepastian penyelesaian.

Hubungan komitmen yang benar-benar baik dalam berpasangan adalah sebuah pernikahan, ikatan suci yang berhubungan secara langsung dengan Tuhan sang pecipta. 

Ketika masing-masing individu yang berpasangan di dalamnya merasakan sebuah kepastian dan merasa aman, kemudian keduanya bisa lebih saling menjaga dan mengenal, memberikan perhatian dan bercerita tanpa ada rasa bertanya (apa benar dengan dia?) sehingga otak akan terus memproduksi senyawa yang membakitkan letupan rasa saling melengkapi kehidupan. 

Orang Jawa memiliki Filosofi dalam memilih jodoh yakni berdasarkan bibit bobot bebet, bibit yang berarti di lihat dari faktor genetic atau keturunan, yang di lihat bukan hanya dari fisik tapi juga bisa jadi dari sifat bawaan (pendiam, pemarah, cerewet, dominan atau pasif). Bobot merupakan kualitas lahir batin seseorang tentang potensi yang ada dalam diri.

Menurut Ayah Edy penggagas Gerakan Indonesia Strong From Home, cara menilai bobot pasangan adalah dengan memperhatikan ketika ia berbicara, apakah ia memiliki visi, tujuan dan rencana hidup. 

Sedangkan Bebet adalah asal usul keluarga, mungkin yang di maksud adalah keluarga baik-baik dengan pola pengasuhan yang di terapkan kepada si calon.

Pasangan memiliki tujuan yang sama tak jarang mereka yang langeng adalah yang memiliki pola pikir yang sama meskipun dengan beda karakter untuk saling melengkapi. 

Nah, yang mampu saling mendukung impian dalam kebaikan atau bisa di bilang satu frequensi agar sinyal dapat terdengar suara (ilustrasi radio) di komunikasikan dan saling membawa ketenangan.

Selamat mencari, udah serius aja..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun