Mohon tunggu...
Raina Widy
Raina Widy Mohon Tunggu... Guru -

Terbuka dengan perbedaan pendapat rainawidy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dikritik Sri Mulyani, Kok Tidak Terima?

11 Juli 2018   16:27 Diperbarui: 11 Juli 2018   20:46 1432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: ekonomi.kompas.com

Dalam sebuah forum, Ibu Sri Mulyani mengeluarkan sebuah pernyataan yang membuat kebanyakan guru sepakat memiliki komentar yang sama yakni tidak terima!

Beliau menyebutkan bahwa ada kecenderungan guru hanya ikut sertifikasi sebagai syarat untuk kenaikan pangkat yang ujungnya agar bisa mendapatkan tambahan tunjangan profesi.

Pemerintah sudah berupaya menyejahterakan guru namun tunjangan sertifikasi yang besarannya cukup banyak ini ditenggarai tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kompetensi guru. 

Benarkah demikian?

Suatu ketika sebuah stasiun televisi swasta menyusuri jejak guru di daerah terpencil. Pagi datang untuk absen ke sekolah, memberi catatan atau tugas saja, kemudian pergi nongkrong ke warung kopi dan berakhir di sebuah pasar dan terakhir kembali ke sekolah untuk absen. Di mana kepseknya? Tak tentu rimbanya pula. Santai sajalah. Toh, tidak ada yang mengawasi juga.

Padahal ada banyak anak yang sungguh-sungguh datang ke sekolah melewati lembah, sawah, menyebrangi sungai, jauh sekaligus berbahaya, hanya untuk hadir mendapatkan ilmu dari bapak/ibu guru yang mulia. Sayangnya, guru yang ditunggu tak kunjung datang ke sekolah. Kalaupun datang tak serius pula mengajar. Apakah masih salah anak-anak ini menjadi generasi yang tertinggal?

Lantas, mengapa tidak terima?

Jika pola mengajar yang digunakan masih sama: menyuruh mencatat, menjawab soal, kemudian metode out of date yang dilakukan berulang, terus menerus tanpa ada perubahan yang berarti, tapi mengharapkan peningkatan kualitas pendidikan yang wow, hmm... Sungguh pepatah bagai pungguk merindukan bulan, cocok untuk kondisi pendidikan kita saat ini.

Kenapa marah? 

Jika motivasi mengajar dan meningkatkan kualitas diri rendah, malas. Ketika menggunakan media mengajar baru sebatas karton, spidol warna, dan gambar padahal anak didik yang diajar sudah punya gadget di tangan dan fasilitas sekolah sudah memadai terutama bagi para guru di kota-kota besar.

Berapa banyak guru yang masih gagap menggunakan teknologi? Jangankan paham menggunakan multimedia berbasis TIK, menjalankan microsoft word saja banyak yang masih kebingungan.

Masih misuh-misuh?

Ketika uang sertifikasi yang diberikan pemerintah mestinya juga dipakai untuk meningkatkan kualitas diri sebagai pendidik dan membeli perlengkapan mengajar, malah lebih enak dihabiskan di jalan lain.

Coba hitung berapa uang sertifikasi yang dihabiskan untuk membeli alat penunjang mengajar, buku, atau untuk mengikuti seminar, pelatihan, kursus, dan lain sebagainya? Sedikit, sedikit sekali. Malah tidak sedikit pula guru yang masih menyalahkan pemerintah karena tidak menyiapkan dana untuk kebutuhan tersebut. 

Ibu menteri memang berhak mengkritisi kinerja guru, mengingat anggaran negara yang dialokasikan untuk pendidikan tidak sedikit. Namun, output pendidikan kita malah makin menurun. 

Maka, terimalah kritikan Ibu Sri Mulyani sebagai kritikan yang membangun. Bukan hanya infrastruktur saja yang yang perlu dibangun tapi kualitas manusia Indonesia ini yang lebih mendesak sekali untuk ditingkatkan, diperbaiki. 

Sebelum membangun kualitas anak didik, jelas kualitas guru yang menjadi sorotan. Kita tidak bisa mengharapkan output yang bagus jika tenaga pendidiknya saja belum bisa dikatakan layak mengajar. 

Tidak perlu jugalah menyerang ibu Sri Mulyani sebagai menteri perekonomian dalam kaitannya dengan hutang-hutang negara. Ini hal-hal yang tidak kita pahami. Hutang-hutang negara jelas berbeda dengan hutang-hutang yang kita ajukan pada bank dengan mengadaikan SK PNS untuk pembelian barang yang nilai jualnya terus menurun, misalnya.  

Jangan ge-er dengan menyebut gurulah yang paling berjasa menghantarkan siswanya menjadi besar karena bisa jadi anak-anak yang sukses itu belajar secara otodidak, mandiri, atau belajar pada guru-gurunya di tempat kursus dan bimbel, dosen di universitas, serta dukungan dan doa dari orangtua mereka sendiri.

Tidak perlu pula terus-terusan menyebut diri sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang tidak dihargai. Karena jika begitu adanya, lantas siapa yang bertanggungjawab atas anak-anak yang sekarang menjadi koruptor atau malah sudah menjadi kriminal sejak masih di bangku sekolah? Tentu guru tidak mau disalahkan sebagai satu-satunya pihak yang gagal mendidik. 

Namun, ada baiknya jika memang sudah sangat memberatkan lebih baik mengundurkan diri. Menjadi guru itu pekerjaan berat karena kita berjuang bukan untuk sekedar mencari recehan tapi menyiapkan generasi yang akan menjadi masa depan negeri tercinta ini.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa untuk menjadi kaya jangan menjadi guru tapi pedagang, pengusaha. Hidup ini adalah juga kumpulan dari pilihan dan keputusan yang kita buat. Jika pilihan profesi guru hanya akan menjadi beban seumur hidup, maka buatlah pilihan profesi lain saja. 

Perlu disadari pula bahwa semua profesi yang digaji oleh rakyat tidak terlepas dari kritikan tak terkecuali guru. Jadi, kritikan yang dilontarkan beliau atau siapapun yang menaruh kepedulian terhadap pendidikan kita adalah hal yang sangat wajar.

Mari bijak memandang bahwa luas Indonesia ini tidak hanya selemparan batu atau sejauh mata melepas pandangan. Indonesia kita ini luas, luas dalam arti yang sebenarnya.

Mungkin di daerah, tempat kita mengajar, kesadaran guru dalam mendidik sudah tinggi. Tapi, tidak ada jaminan bahwa hal yang sama persis juga terjadi di daerah lainnya. Masalah kualitas guru adalah masalah yang serius jika sebuah negara ingin maju.

Alhamdulillah-nya di antara yang tidak terima kritikan ini, masih banyak guru yang memilih untuk introspeksi diri dan tulus mengajar serta mendidik tanpa perlu disebut sebagai pahlawan. Semoga guru yang membaca ini juga salah satunya.

Kritikan ibu Sri Mulyani ini juga sudah semestinya menjadi perhatian bagi pejabat terkait, pembuat kebijakan dan pemerintah secara luas. Salam. 

Referensi: https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/10/151719026/sri-mulyani-kritik-guru-yang-kejar-sertifikasi-demi-gaji-semata 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun