Mohon tunggu...
Raina Widy
Raina Widy Mohon Tunggu... Guru -

Terbuka dengan perbedaan pendapat rainawidy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meninggal Muda, Kenapa?

28 Desember 2017   11:27 Diperbarui: 29 Desember 2017   04:37 3384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini saya cukup sering mendapatkan dan membaca berita duka orang-orang yang meninggal dalam usia yang relatif muda, di bawah 40 tahun. Apa Anda juga sering mendengar hal yang sama? Dari banyaknya ucapan belasungkawa yang diberikan pasti terselip kepo,

"Meninggal karena apa?"

"Katanya sih tumor otak. Duh ga nyangka padahal masih muda"

"iya, keliatannya baik-baik aja ga tau kalo lagi memendam sakit parah"

Ini dialog yang pernah saya baca di sebuah postingan belasungkawa atas meninggalnya seseorang yang mereka anggap seperti tidak punya masalah malah terlihat selalu ceria.

Bagi kebanyakan orang kematian adalah sesuatu yang menakutkan bahkan membicarakannya saja bisa merusak selera, selera makan atau juga selera obrolan. Padahal sejatinya semua yang bernyawa akan mati namun mungkin usia dan caranya saja yang berbeda.

Meninggal dunia yang ingin saya tulis di sini bukan meninggal dalam keadaan yang tidak wajar seperti pembunuhan atau bunuh diri melainkan penyakit. Eits bukan pula aneka penyakit akibat gaya hidup seperti LGBT yang sedang gandrung sekali dibahas di berbagai media sosial.

Ada yang meninggal masih berstatus single alias belum pernah menikah karena konon katanya orang-orang yang belum menikah rentan mengalami kesepian dan berujung pada depresi atau komplikasi penyakit hehee... Apakah ada semacam riset atau minimal kajian ilmiah yang membahas ini? Mbuh.

Ada pula yang saya dapati mereka yang meninggal dalam usia produktif ini adalah mereka yang sudah menikah. "Aduh kesian sekali masih muda. Anak-anaknya masih kecil udah yatim/piatu." Begitulah komentar yang sering saya dengar. 

Terlepas dari status masih lajang atau sudah menikah, meninggal karena penyakit bisa menyerang siapa saja. Dalam beberapa artikel atau kisah nyata riwayat orang dengan penyakit berat ada yang disebabkan oleh emosi negatif yang tidak terselesaikan, tidak dikeluarkan, kepedihan, kebencian yang mendalam, kemarahan yang tertahan, dendam lama serta menyalahkan dan menyangsikan keberadaan Tuhan. 

Energi negatif yang berlebihan ini  bisa jadi menimbulkan penyakit, diperparah dengan gaya hidup dan pola makan yang tidak sehat menjadikannya kombinasi yang pas.

Pernah suatu ketika saya mengalami kegagalan yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Dia datang begitu saja, seperti halilintar di siang bolong. Saya tidak menyiapkan diri untuk menghadapinya. Karena saya pikir semua akan berjalan sesuai dengan rencana. Saya menangis terus-menerus, kehilangan nafsu makan dan akhirnya saya merasakan sakit kepala yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Saya kira itu perpaduan stres dan kelelahan. 

Ya Allah, why me??

Why not??

Lantas saya mau apa? Beberapa hari saya bertahan dalam kondisi tersebut sampai saya pikir jika saya begini terus, saya tidak akan pernah menyelesaikan apapun. Padahal kegagalan ini harus saya lalui jika masih ingin terhubung dengan masa depan.

Saya memilih untuk memaafkan kesalahan yang saya lakukan agar saya dapat memperbaikinya. Saya juga memilih untuk tidak mendendam tepatnya mengabaikan orang-orang yang membuat saya berada dalam keadaan tersebut. 

Memangnya memaafkan semudah itu? Tentu tidak apalagi jika pengalaman pahit yang kita alami berlangsung lama. Namun, memendamnya juga tidak ada gunanya. Itu yang saya kira akan menjadi depresi atau penyebab penyakit berat. Saya tidak ingin berlama-lama dalam keterpurukan maka saya memutuskan untuk berdamai dan menerima keadaan.  

Setelah bertahun-tahun berlalu, saya masih dalam proses 'berdamai' tadi. Kadang masih terbawa dalam mimpi, terbangun dengan perasaan was-was. Saya kira masih ada yang tersisa dalam alam bawah sadar saya sehingga bayang-bayang buruk tersebut sewaktu-waktu muncul kembali. 

Sudah berdamai dan memaafkan pun masih begitu efeknya, bagaimana dengan mereka yang masih berlarut-larut dalam kesedihan yang sama? 

Tidak perlu pura-pura kuat, bahagia, karena percayalah membangun tampilan ini berat sekali bagi jiwa yang sedang tidak baik-baik saja. Jangan berdiri sendiri jika dirasa sudah tidak mampu. Bicaralah pada orang lain, mintalah bantuan dan yang pasti jujurlah pada diri sendiri bahwa kita sedang tidak baik-baik saja.

Saya bukan ingin mengingkari takdir bahwa kematian masih hak prerogati Tuhan bahkan cara dan dimana kita meninggal pun hanya Dia yang tahu. Namun, slogan mencegah penyakit berat lebih baik daripada mengobati juga tepat bagi jiwa yang masih dalam keadaan terpuruk. Meninggal dalam keadaan tenang dan damai bukankah lebih baik?

Sesekali bersantailah sedikit, hidup ini perlu dinikmati baik menikmati kebahagiaan dan kesedihan yang disajikannya. Yah namanya juga hidup. 

Salam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun