Baru baru ini semakin kencang rilis dari beberapa Lembaga Survei yang menunjukan hasil survei elektabilitas Capres (Calon Presiden) dan Cawapres (Calon Wakil Presiden) dimana memperlihatkan dominasi capres O2 diurutan pertama dikuti oleh capres 01 dan diposisi terakhir menempatkan capres 03. Bahkan terkadang sebaliknya 03 diposisi ke dua dan 01 diposisi ke tiga.
Menjadi pertanyaan besar terhadap hasil survei apakah menjadi rujukan kongkret serta sahih dalam menentukan hasi pada Pemilu Februari mendatang?
Perlu kita ulas terlebih dahulu apa sebenernya survei itu sendiri, bagaimana survei dilakukan, dan mengapa dijadikan acuan dalam menentukan elektabilitas calon? Perlu kita ketahui jika survei merupakan metode ilmiah yang sedari dulu sudah diakui keberadaannya bahkan metode ini disinyalir lebih terpercaya bahkan lebih hebat dari dukun politik.
Metode survei merupakan metode ilmiah yang menggunakan ilmu statistik. Metode survei menjadi terpercaya karena melibatkan banyak unsur statistik, metode survei bukanlah metode sembarang karena dalam prosesnya melibatkan Keterukuran metodologi dan yang paling penting bukan merupakan asumsi, persepsi atau pikiran liar melainkan memiliki sistematis cara bekerja seperti acak sampling atau yang paling dapat dianggap konkret desain by name by address.
Lalu apakah hasil survei bisa menjadi rujukan terhadap hasil pemilu? Diketahui jika hasil survei merupakan hasil potret per-hari ini, sampel hari ini, dan data hari ini atau lebih jelasnya jika hasil survei merupakan hasil yang diambil ketika melakukan survei itu sendiri, sehingga data tersebut tidak dapat digunakan pada kemudian hari atau di capture.
Demikian senantiasa terjadi karena keterpengaruhan perkembangan situasi politik atau peristiwa fluktuasi politik, atmosfir politik, tensi politik, skandal politik, isu politik, blunder politik, sampai pada polarisasi politik.
Hal tersebut menjadi pemicu terhadap naik turunnya variabel politik sehingga berpengaruh terhadap hasil akhir. Hasil survei hari ini bisa dipastikan bukan hasil akhir atau lebih bisa dipastikan jika hasil survei bukan merupakan kiamat. Demikian terjadi karena banyak dari hasil survei dengan hasil akhir itu berbeda, pun tidak bisa melakukan polarisasi jika suatu lembaga survei salah dalam menentukan hasil hal ini berkenaan dengan terdapat banyaknya fenomena lain yang terjadi pada arus politik seperti masih akan terjadi vote buying atau lebih dikenal dengan money politics pada penghujung pemilu.
Bahkan strategi survei juga mengakar terhadap dilakukan nya survei pada beberapa media sosial atau platform digital. Menjadi pertanyaan besar bahkan kritik penulis terkait metodologi serta demografi responden yang berkemungkinan tidak refresentatif.
Menjadi perhatian khusus jika hasil survei lebih akan berpengaruh terhadap mental serta effort relawan sehingga terdapat fenomena malas bekerja karena menganggap hasil survei yang negatif sehingga menjadi bagian penting agar perlu diketahui bahwa terdapat strategi efek yang terdapat pada hasil survei sehingga menyebabkan mental menjadi down.
Diakhir penulis menyampaikan jika hasil survei yang dilakukan lembaga terkait pemilu 2024 bukan hasil akhir bahkan kiamat semua akan dipastikan pada 14 Februari 2024. Namun dalam kerangka acuan tentu kita menginginkan jika hasil lembaga survei mengacu pada kerangka demografi menggunakan sampel yang refresentasif sebagai kepastian serta kebenaran ilmu statistik.