Masalah pemilu serentak menjadi persoalan tatkala perbincangan publik, lebih seksi, lebih bising terhadap pembicaraan menyoal calon Presiden
Sehingga persoalan legislatif, caleg atau partai politik hilang bak ditelan bumi hampir kebanyakan elemen baik pengamat, politikus, sampai pada mahasiswa tidak mendiskusikan soal legislatif, caleg, atau partai politik. Pertanyaan paling serius  apakah kondisi tersebut menguntungkan atau merugikan?
Secara objektif keberlangsungan demokrasi  demikian mampu diamini sebagai kondisi yang merugikan. Faktanya semua masyarakat dalam hal ini negara demokrasi tidak hanya ingin terkonsentrasi pada Pilpres perlu terdapat upaya agar masyarakat pun ikut berkonsentrasi pada caleg dan partai politik sehinggga dengan adanya momentum pemilu serentak 2024 membuat konsentrasi publik bukan hanya terhadap Capres.
Konteks pelaksanaan pemilu serentak menjadi praming dalam upaya menekan partisipasi politik karena dapat memilih lima kertas suara dalam satu bilik. Hal ini tentu menjadi unsur yang penting tatkala tetap dibutuhkan kehati-hatian masyarakat terkait pengawasan terhadap Caleg, DPD, dan partai politik. Banyak dari masyarakat tidak mengerti atau memahami visi misi, program, kompetensi, kapasitas, dan personaliti caleg.
Banyak platform dari kelompok digital cenderung membahas Pilpres karena pembahasan seputar caleg tidak efektif dan partai politik dianggap tidak menarik.
Akhirnya isu-isu caleg, isu partai politik apalagi isu ingin mengetahui program serta ingin mengetahui ideologi, visi misi, historical, dan kaderisasi dari bawah, serta bagaimana partai mempunyai kemampuan mengambil keputusan politik, mengambil kebijaksanaan politik untuk menetapkan hal-hal yang bersifat agenda besar tidak sampai pada publik.
Salah satu pemahaman yang gagal terkait isu partai politik yakni menyoal bagaimana kaderisasi nya sehingga banyak menyengat publik terkait partai politik menjadi pertanyaan besar karena banyak diketahui jika partai politik sendiri tidak mengikat pada sistem kaderisasi sehingga banyak dari kader partai politik atau yang bukan kader partai bisa menjadi mudah menjadi ketua umum partai.
Kasus kasus demikian banyak mencengangkan publik demikian istilah tersebut adalah melawan kaderisasi dari bawah atau meritokrasi. Efek demikian disinyalir karena hilang nya budaya meritokrasi atau partai politik lebih melihat orang-orang populer, orang kaya yang pada akhir nya kader-kader yang berprestasi, yang berdarah-darah yang tidak memiliki elektoral tidak memiliki logistik tidak dipakai.
Demikian sebenernya menjadi tamparan terhadap wajah masyarakat, dimana kita melihat begitu pragmatis begitu transaksional nya partai politik. Kita ingin bahwa partai politik memiliki idelogi yang jelas, memiliki platform yang jelas, programatik yang konsisten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H