Ironisnya, ditengah semangat birokrasi yang bersih, efisien dan efektif sebagai amanat reformasi, duo Tarmizi Karim-Mohd. Tanwier justru melecehkan ruh reformasi dengan “tarian” politik aji mumpung. Mumpung ada kekuasaan, jadi harus dimanfaatkan se-efisien dan se-efektif mungkin.
Parasit Demokrasi
Politik aji mumpung ini merupakan parasit demokrasi. Karena demokrasi memosisikan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi. Sementara politik aji mumpung mengutamakan persekutuan kepentingan pribadi/kelompok, maka otomatis memengaruhi kebijakan publik sang pemimpin. Dimana yang ia utamakan bukan lagi kehendak publik (res-publica) tapi kepentingan dan kehendak pribadi (res-privata).
Sorotan MG soal kebijakan Mohd. Tanwier yang cendrung main terabas adalah bukti nyata dari kemudharatan politik aji mumpung. Boleh jadi pengangkatanya sebagai penjabat sama sekali tak melalui pertimbangan kompetensi, kualitas, kepatutan dan kelayakan. Tapi bulat-bulat sebagai implementasi politik aji mumpung. Hitung-hitung balas budi selagi ada kekuasaan.
Politik aji mumpung dalam konteks apapun tidak akan pernah membawa kemaslahatan selain menimbulkan kemudharatan bagi msyarakat luas. Untuk itu, kita harus belajar dari kasus ini, agar hal serupa tidak terjadi lagi. Sehingga kita bisa merdeka menentukan kemana kita bawa daerah ini.
Tulisan ini pernah di muat Media Online Lintas Gayo
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI