Mohon tunggu...
Muhamad Hamka
Muhamad Hamka Mohon Tunggu... -

"Yang tertulis akan abadi"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tikus, Poli-tikus, Politikusasi

6 September 2014   12:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:28 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semua kita pasti mengenal binatang “pencuri” kelas wahid ini, tikus. Para petani kita, boleh jadi orang yang paling akrab dengan si tikus. Pasalnya, saban hari tikus selalu bergumul dengan tanaman para petani, terlebih di hamparan sawah (padi) yang mulai menguning. Tanpa mengenal rasa belas kasihan, tikus membabat padi yang mulai menguning tadi dengan tanpa ampun.

Itulah tikus, tabiatnya tersebut memang merupakan aktus alamiah yang melekat dalam dirinya. Menjadi paradoks ketika aktus tidak berperikemanusiaan ini di lakukan oleh makhluk beradab, manusia. Tabiat pencuri ala tikus diatas bahkan sudah menjadi hal yang wajar dalam dinamika kehidupan manusia. Persis tabiat tikus yang dengan rakus dan tanpa malu menggasak tanaman petani, manusia (poli-tikus) ini menggasak uang rakyat dengan tanpa merasa berdosa.

Nurani mereka tergerus di bawah pantatnya yang penuh dengan bau busuk kejahatan. Betapa tidak, kemanusiaan mereka tak sedikit pun terusik melihat nestapa rakyat di seantero negeri. Rakyat yang seyogianya harus hidup sejahtera sebagaimana yang dengan tegas di perintahkan dalam pembukaan UDD 1945, justru di perkosa kesejahteraanya oleh poli-tikus kemaruk yang hasratnya tak ada bedanya dengan tikus.

Ironisnya, “pedang dewi keadilan” hanya tajam buat rakyat kecil yang terpaksa mencuri karena terdesak oleh kelaparan. Sementara poli-tikus yang menjarah uang rakyat hingga ratusan milyar bahkan triliyunan rupiah, “pedang dewi keadilan” justru meliuk dengan genit sambil mengajak sang poli-tikus mengadu syahwat dalam permufakatan jahat.

Para poli-tikus ini, disamping piawai membangun janji untuk menjarah simpati rakyat, mereka juga jago membangun retorika serta piawai membual yang ujungnya untuk menutupi segala tabiat kebusukannya tersebut. Mereka tidak segan-segan mempraktikan segala cara—bahkan berani mengobral ayat Tuhan—guna melancarkan tipu muslihatnya tersebut.

Poli-tikus busuk yang penuh dengan bau anyir kejahatan ini merupakan duri yang menikam kesejahteraan rakyat. Daya rusak akibat kejahatan (pencurian/perampokan) atau dalam bahasa hukumnya korupsi yang mereka lakukan sangat dahsyat. Bayangkan, gedung-gedung publik yang seharusnya berdiri dengan kokoh menjadi ambruk, karena sebagaian dananya sudah digasak oleh maling berdasi ini.

Jalan-jalan yang seharusnya beraspal kokoh menjadi cepat rusak karena kualitasnya sudah disunat oleh nafsu serakah poli-tikus ini. Rakyat yang seharusnya hidup sejahtera, namun harus ikhlas hidup dalam kenestapaan dan kelaparan karena APBN yang diperuntukan bagi hajat hidup mereka justru di rampok oleh poli-tikus bandit ini. Begitu juga anak-anak Indonesia yang seharusnya memperoleh pendidikan yang berkualitas, tapi justru tertatih-tahih dalam labirin keprihatinan, karena sebagaian anggarannya di ‘perkosa’ oleh poli-tikus tadi dengan seringai penuh keculasan. Kesehatan pun menjadi begitu mahal, sehingga tak heran seorang bayi yang tak berdosa menghembuskan nafasnya karena tak punya biaya.

Dan ironisnya, para poli-tikus ini susah disentuh oleh “dewi keadilan.” Perampokan yang sudah jelas mereka pelakunya malah di politikusasi menjadi persoalan politik. Politikusasi kerap di jadikan senjata pamungkas oleh para garong tak tahu diri ini. Politikusasi akan pencurian dan perampokan uang negara yang nyata-nyata mereka pelakunya semakin menegaskan bahwa para poli-tikus ini memang bermental tikus, yang kerjanya hanya menciptakan kerusakan di muka bumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun