Mohon tunggu...
Repinarsi Repinarsi
Repinarsi Repinarsi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penulis adalah seorang Guru yang bertugas di UPTD SMP Negeri 1 Pudingbesar dan mendapat amanah sebagai Wakil Kepala Sekolah BIdang Kurikulum serta Ketua MGMP IPA Kabupaten Bangka. Ibu rumah tangga yang hobi membaca, memasak, dan menulis juga terlibat aktif sebagai pengurus PGRI Kecamatan Pudingbesar dan Ketua Pokja I PKK Kecamatan PUdingbesar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bersinergi Membangun Budaya Positif dengan Berbagi dan Kolaborasi

12 September 2022   09:35 Diperbarui: 12 September 2022   09:56 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:  Dokumen Pribadi

Pengalaman yang menakjubkan ketika melaksanakan aksi nyata Modul 1.4 Pendidikan Guru Penggerak tentang Budaya Positif.  Perasaan yang fluktuatif selama proses implementasi teori segitiga restitusi kepada murid sangat saya rasakan selama prosesnya.  

Setelah memahami peran posisi kontrol saya sebagai seorang manajer, melihat, mendengar, serta membaca berbagai praktik baik yang telah dilakukan oleh Bapak/Ibu guru hebat, saya sejujurnya masih belum yakin seratus persen bahwa saya bisa menerapkan hal ini kepada murid-murid saya.  

Namun yang terjadi sangat di luar ekspektasi saya.  Sebagai seorang Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dengan beban mengajar 15 jam setiap pekan membuat saya agak jarang berinteraksi secara intens dengan murid.  

Tetapi setelah saya mempelajari modul ini saya kembali tergerak untuk membersamai dan merangkul murid-murid saya yang saat ini lebih banyak ditangani oleh guru Bimbingan Konseling, Wali Kelas, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswan dan beberapa guru lainnya.  

Keluhan yang sama diberikan bahwa murid-murid ini kalau tidak diberi hukuman pasti mengulangi lagi.  Saya tidak menyalahkan mereka, toh saya juga seperti itu dulu pada saat belum banyak belajar tentang pendidikan dari berbagai referensi dan belum mengenal Pendidikan Guru Penggerak. 

Saya menyadari ini adalah momen saya untuk "turun gunung" menangani permasalahan disiplin murid dengan sedikit bekal ilmu yang saya peroleh di modul 1.4.   Implementasi pertama adalah saya mencoba mengajak murid-murid untuk mencari nilai-nilai kebajikan universal yang perlu mereka tingkatkan dan sekolah butuhkan saat ini.  

Murid-murid saya sangat antusias, ada yang menjawab percaya diri, tanggung jawab, mandiri, saling menghormati, kebersihan, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kerja sama, persahabatan, dan beragam nilai lainnya.  

Kami  (saya dan murid-murid) mencoba mencari nilai mana yang paling penting dan paling banyak, yang akhirnya kami mendapatkan bahwa nilai beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia, mandiri, saling menghargai, kebersihan, percaya diri, dan tanggung jawab menempati posisi teratas.  

Murid-murid saya juga menyadari bahwa tidak ada satupun orang yang mau disakiti.    Setelah murid-murid di kelas saya yang terdiri dari kelas IXB, IXC, dan IXD mulai dikenalkan dengan nilai-nilai kebajikan ini dan menjadi sebuah keyakinan kelas, saya mencoba menerapkan segitiga restitusi sebagai seornag manajer dalam menangani permasalahan yang dihadapi di kelas. 

Saya ditemukan dengan Amel Sintiya Bela, murid berkebutuhan khusus di kelas IXA.  Saat upacara Bendera Amel tidak ikut karena terlambat, hari itu semua anak yang tidak ikut Upacara, saya meminta izin kepada Pembina OSIS dan Wakil Kepala Bidang Kesiswaan untuk bertemu dengan mereka.  Saya mencoba menggali penyebab keterlambatan Amel yang kemudian saya ketahui karena lupa mengaktifkan alarm dan tidak ada yang membangunkan.  

Saya bertanya apa solusi yang bisa ditawarkan Amel agar besok tidak terlambat? Saya juga mencoba mengenalkan nilai kebajikan tanggung jawab dan menghormati pada Amel.  

Ternyata, besoknya si Amel terlambat lagi.  Kebetulan saya menjadi guru pengganti untuk jam literasi hari itu di kelas IXA.  Dia meminta maaf dan menyampaikan bahwa tidak ada yang membangunkan dan batere gawainya  lowbat.  

Saya merasa sedih saat Amel mengatakan bahwa dia kecewa dengan dirinya sendiri, saya coba kuatkan Amel, bahwa semua orang pernah melakukan kesalahan dan yang paling baik adalah berusaha untuk memperbaikinya.  

Saya tidak menghukum Amel, saya hanya menawarkan solusi apa yang bisa diberikan Amel untuk mengatasi masalahnya sendiri.  Hari rabu, saya lihat dari kejauhan ke kelas IXA pada saat mereka berbaris di depan kelas, adakah Amel di sana? Ataukah dia akan terlambat lagi hari ini?  

Saya seketika terharu saat melihat dia dengan sumringah berbaris di antara kawan-kawannya.  Saya tidak bisa membayangkan betapa bahagianya saya hari itu saat Amel bisa masuk tepat waktu tanpa saya hukum.  Saya temui Amel, saya usap kepalanya, Amel sudah menjadi anak yang hebat sekarang.  Dia hanya mengatakan terima kasih Bu dengan matanya yang berbinar seolah saya bisa melihat harapan masa depan yang baik di sana.

Perasaan-perasaan yang saya alami saat membersamai Amel semakin mendorong saya untuk mengimplemntasikan segitiga restitusi kepada murid-murid yang lain.  Emosi saya jauh lebih terkontrol dan saya lebih memandang bahwa semua orang punya alasan untuk melakukan sesuatu.  Beberapa implementasi terkait keterlambatan, kasus merokok, berkelahi dengan teman, tidak ikut Upacara, Bolos di jam pelajaran, saya coba dengan pendekatan segitiga restitusi ini.  

Saya yakin bahwa seperti yang disampaikan oleh Diane Gossen (2001) bahwa disiplin adalah proses belajar, dan Ki Hajar Dewantara juga menyampaikan bahwa disiplin yang kuat akan memerdekakan murid.  Saya mencoba untuk lebih mendalami kebutuhan dasar murid-murid saya.  Meskipun hasilnya tidak bisa saya nikmati saat ini, saya percaya bahwa Allah SWT akan menggerakkan hati murid-murid saya dengan ketulusan bapak/ibu gurunya.  

Kemudian saya tersadar akan nilai dan peran saya sebagai seorang guru penggerak adalah membangun budaya positif ini hanya bisa dilakukan dengan kolaborasi dari semua warga sekolah, saya tentu akan lelah jika saya hanya bekerja sendiri.  

Oleh karena itu saya mencoba untuk membagi pemahaman konsep terhadap perubahan paradigma baru dalam budaya disiplin positif dan praktik baik kepada semua warga sekolah.  Saya kemudian merancang kegiatan diseminasi di sela-sela aktivitas bapak/ibu guru menyiapkan pembelajaran dan soal untuk Penilaian Tengah Semester.

Kegiatan diseminasi berlangsung secara interaktif dengan peserta dan saya lebih banyak memberikan pertanyaan pemantik untuk bahan refleksi bersama kami, baik terhadap diri kami sendiri sebagai guru maupun refleksi terhadap murid di sekolah sesuai dengan materi yang saya sampaikan.  Guru-guru terlihat antusias mengikuti sesi demi sesi.  

Materi pertama yang saya sampaikan adalah Perubahan paradigm dari teori stimulus-respon kepada teori kontrol.   Saya juga berbagi kepada rekan-rekan di sekolah tentang kesepakatan kelas sebelum pembelajaran dimulai dan ice breaking yang dapat mencairkan suasana di kelas.  

Setelah ice breaking dan guru-guru terlihat lebih siap, saya memberikan permainan tutup buka yang saya peroleh dari modul 1.4 untuk menguatkan bapak/ibu guru bahwa sesungguhnya kontrol untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu ada di dalam diri kita sendiri.  

Hal ini agar para pendidik tidak terjebak dalam ilusi seperti yang disampaikan oleh Dr. William Glasser.  Ilusi bahwa kita bisa mengontrol orang lain atau ilusi bahwa orang dewasa bisa memaksa untuk melakukan sesuatu.  Setelah menguatkan bahwa paradigm teori stimulus respon telah berubah menu teori kontrol.  Kontrol diri inilah yang akan menjadi dasar lahirnya disiplin positif.

Saya juga berbagi pemahaman bahwa disiplin sesungguhnya adalah proses belajar (Diana Gossen, 2001) dan menurut Ki Hajar Dewantara untuk merdeka maka manusia perlu disiplin yang kuat.  Kegiatan dilanjutkan dengan interaksi bersama bapak/ibu guru untuk menuliskan  nilai kebajikan yang paling penting menurut mereka dari lembar nilai-nilai kebajikan yang saya bagikan.   

Nilai kebajikan ini kemudian menjadi bahan refleksi untuk melihat kembali motivasi dalam bertindak yang terdiri dari 3 motivasi, yaitu menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, mendapatkan pujian/penghargaan, dan menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai nilai kebajikan dalam diri.   

Semangat guru mengikuti kegiatan ini juga terlihat dari antusias mereka memberikan tanggapan dan ternyata tidak ada guru yang setuju dengan hukuman.  Untuk merefleksi pemahaman guru tentang hukuman dan konsekuensi saya mengajak guru-guru untuk mengerjakan kuis di Kahoot! Yang soalnya saya ambil dari modul 1.4.  

Semangat para guru untuk mengikuti diseminasi terjaga sampai sesi berakhir di teori segitiga restitusi.  Para guru juga menuliskan dunia berkualitas mereka yang bisa dijadikan sebagai bahan referensi oleh Kepala Sekolah untuk melihat dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada bapak/ibu guru di sekolah.  

Refleksi guru juga menunjukkan bahwa mereka menganggap hukuman adlah hal yang baik karena belum mengetahui dan belum paham bahwa ada metode lain yang dapat menjadi alternative untuk menyelesaikan permasalahan terkait disiplin murid.

Sesi terakhir dari kegiatan  adalah sesi berbagi.  Saya mencoba membagikan beberapa praktik baik yang telah saya lakukan dengan menempatkan diri sebagai manajer melalui metode segitiga restitusi, termasuk salah satunya adalah kasus murid berkebutuhan khusus, Amel Sintiya Bela.  

Dalam video itu saya juga menyertakan testimony dan refleksi dari metode resitusi tersebut. Namun, karena kualitas audio dari speaker yang saya gunakan kurang bagus, sehingga penyampaian seri berbagi ini terasa kurang maksimal.  

Saya mengucapkan terima kasih kepada cameramen, satpam sekolah Marbawi yang telah meluangkan waktunya untuk merekam proses diseminasi ini.  Harapan saya ke depannya, saya dan guru-guru di sekolah menjadi termotivasi untuk menjadi pemelajar sepanjang hayat dan mengubah paradigma mereka tentang disiplin positif sehingga kami bisa mewujudkan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan untuk murid.  

Setelah sesi berakhir, sayapun terkejut ada beberapa guru yang kemudian mengajak berdiskusi terkait metode restitusi ini, ada yang ingin belajar cara membuat presentasi dari canva seperti yang saya sajikan, dan ada yang mengajak untuk memecahkan masalah terkait beberapa orang murid yang cukup membuat pusing Guru Bimbingan Konselingnya. 

Rasanya saya optimis bahwa dengan sinergi, berbagi, dan berkolaborasi, mimpi saya dan mimpi kita semua untuk mewujudkan pendidikan yang berpihak pada murid sesuai tujuan pendidikan Nasional akan menjadi sebuah kenyataan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun