Anak muda mana yang tidak tergiur dengan pendanaan pengembangan usaha, kreativitas, dan gagasan canggih yang bernilai milyaran hingga triliunan dari para investor (penanam modal) dengan berbekal layanan/produk solutif dengan terintegrasi teknologi hingga bisa terakses oleh gawai termudah yaitu ponsel pintar dengan target pasar yang luas ?Â
Kembali mengingat ketika perusahaan rintisan (start-up) bermunculan dimulai dari tahun 2010-an hingga akhirnya muncul masalah-masalah manajerial yang mencengangkan publik, dimana publik pun langsung merespon "yaelah korupsi ga tua ga muda, sibuk memperkaya diri dari penyelewengan dana".Â
Apa itu Perusahaan Rintisan (Start-Up) ?Â
Rasanya perlu ditegaskan kembali definisi perusahaan rintisan ini, agar tidak banyak anak muda FOMO (Fear of Missing Out)/takut ketinggalan. Start-up itu perusahaan rintisan bukan merintis perusahaan, ini sering yang salah kaprah, sehingga semua mengarah pada hal-hal instan dengan risiko yang tidak dipikirkan.Â
Buku Disrupted: My Misadventure in the Start-Up Bubble pernah didiskusikan di acara Talks at Google yang banyak digandrungi anak muda yang selalu heboh meraup keuntungan milyaran-triliunan dari ide kreatif atas nama inovasi, ditulis oleh Dan (Daniel) Lyons seorang penulis berkebangsaan Amerika dengan fokus tulisannya tentang analisis teknologi dan kebaruan kabar-kabar para inovator yang mengguncang dunia dengan ide-ide nyeleneh namun bisa memperkaya usaha rintisannya (bukan merintis usahanya ya).Â
Jadi, Start-up itu singkatnya dijelaskan secara sederhana seperti ini :Â
Start-up adalah perusahaan rintisan yang berfokus pada inovasi dengan perkembangan pesat dengan tujuan pertumbuhan yang pesat dan signifikan (hal ini karena pangsa pasar dan target pasar sudah terkelola bahkan terproyeksi), dimulai dari ide/gagasan baru yang solutif atas semua berbagai permasalahan yang ada dengan menawarkan model bisnis yang berpotensi mengubah cara-cara kaku sebuah industri dengan mengutamakan teknologi canggih dan mutakhir sehingga menciptakan produk dan layanan baru yang mengagumkan (berbeda dari biasanya), semakin lama Start-up ini membutuhkan biaya operasional untuk tetap bertumbuh dan berkembang sehingga tidak heran sumber pendanaan yang paling sering dijumpai selalu mengandalkan investor. Namun, banyak para pengamat Start-up menilai bahwa Start-up sering tidak mandiri dari sisi finansial, karena terlalu ambisius buka cabang dan memperbanyak karyawan, lantas mau mengalahkan industri secara idealis ? Maka, tidak heran banyak Start-up yang bangkrut karena terlalu banyak pengeluaran.Â
Dan Lyons mengamati dan mengkritik Start-up dalam bukunya bahwa Start-up ini selalu memperlihatkan kekayaan duniawi dengan gaya hidup yang glamor (seakan-akan perusahaan raksasa dimana para foundernya kaya raya dan bisa menguasai dunia), padahal budaya kerja di Start-up menurut Lyons justru sangat berlebihan dibanding industri yang mau dikalahkan oleh Start-up, lantas dimana sisi efektif dan efisiennya ? Lyons mengkritik sangat tajam bahwa Start-up sering mendorong karyawannya bekerja lebih lama tanpa adanya keseimbangan jam kerja dengan kebutuhan hidupnya sebagai manusia sangat hipokrit dengan jaminan jam kerja fleksibel yang nyatanya tidak sefleksibel itu juga.Â
Dalam investigasinya Lyons menemukan banyak Start-up punya masalah ketidakpastian ekonomi yang berpengaruh pada manajerial keuangan Start-up itu sendiri (walaupun pendirinya/foundernya kaya raya namun seiring berjalannya operasional tidak sedikit Start-up kehabisan dana dan menyebabkan ketidakjelasan struktur didalamnya bahkan budaya kerjanya yang memang informal semakin banyak menciptakan ketimpangan).Â
Start-up itu overrated/berlebihan dalam hal ini Lyons menjelaskan bahwa layanan dan produk Start-up itu hanya heboh ketika dipresentasikan di depan investor/audiens namun realitanya layanannya cenderung mahal lama-lama dan produknya tidak lebih baik daripada produk industri karena tidak menyelesaikan masalah sama sekali malah menambah biaya tambahan seperti biaya administrasi dan biaya layanan teknologi lainnya, hal ini terjadi karena kebiasaan Start-up itu didanai dari pihak eksternal jadi seringkali tidak meminimalisir risiko keuangan dan banyak yang menghamuburkan dana diawal (ini digunakan untuk membanting harga industri agar terkesan lebih murah, istilah di Indonesia sering disebut "bakar-bakar duit", istilah globalnya adalah Burn Rate), dan tidak disangka pula bahwa Start-up pun gila kuasa terlebih dilakukan oleh jajaran Direksi atau C-Level (dalam struktur organisasi sudah biasa penyebutan C-Level ini seperti ini : CEO, COO, CFO, CTO, CIO, CMO, CHRO, CPO, CSO, dan CCO.Â
Mengapa Start-Up Menjamur ?Â
Keberadaan Start-up tentu tidak tiba-tiba seperti barang-barang hits, awalnya Start-up itu tercipta justru dari keresahan perusahaan yang kebanyakan pada saat itu industri juga menjadi fokus utama yang perlu diubah, dimana para pekerja banyak kelelahan karena jam kerja yang padat, layanan suatu instansi pun lambat misalnya bank konvensional yang cara-cara melayani nasabahnya itu tradisional dan manual (harus antri) dan menghabiskan waktu tunggu berjam-jam hingga berhari-hari hanya untuk suatu transaksi, sehingga Start-up punya ide ke arah efisiensi dan efektif dengan fintech/financial technology dimana nasabah tidak perlu ke bank tapi cukup terhubung dengan internet dan beberapa registrasi akun serta verifikasinya transaksi sudah bisa dilakukan, tentu dengan plus minusnya (biasanya pada biaya tambahan/biaya layanan).Â
Start-up mulai menjamur diawali kemunculan layanan dan produk yang terhubung dengan digitalisasi (penggunaan teknologi serta terhubung internet) misalnya muncul di beberapa sektor seperti : media sosial yang sudah berubah menjadi pasar media sosial/social commerce ,layanan transportasi, toko daring (e-commerce), teknologi finansial, bioskop daring tanpa batas waktu nonton dengan berbagai karya-karya cineas yang mudah diakses dengan biaya langganannya, box musik tak terbatas tanpa iklan dengan kualitas suara yang memuaskan pendengarnya, layanan antar makanan dan barang (kurir), dan banyak sektor yang tidak umum seperti layanan software pengembang, pemasaran digital lintas benua, produk teknologi premium dll.Â
Kemunculan Start-up Pertanian dan Pangan Hanyalah Latah SosialÂ
Hingga Start-up di sektor pertanian dan pangan pun bermunculan dengan keunikannya ditambah informasi cerita-cerita para pendirinya yang meromantisasi kisah-kisah from zero to hero (dari ga punya apa-apa hingga sekaya ini loh), tercitrakan bisa berpenghasilan milyaran bahkan triliunan dan diliput majalah bisnis "Sukses sebelum 30 tahunan/Sukses di usia 30 tahun", intinya para pengusaha ini diberitakan sukses di usia muda dengan keajaibannya dari sepak terjang di dunia usaha yang baru dirintisnya.Â
Ya secara logika berpikir saja pengusaha yang sudah malang melintang belasan dan puluhan tahun dengan jatuh bangunnya pasti mengerutkan dahi sejenak seperti banyak merespon negatif :Â
"Usaha udang baru 3 tahun sudah dapat omset milyaran tuh punya berapa hektar dan berapa ribu karyawan ?"Â
"Jualan buah-buahan pake label organik bisa mahal ratusan ribu tuh ada yang beli tiap hari tiap waktu ? kalau busuk gimana ? ini di pasar lokal ga segini harganya, mahal diongkos ini "Â
"Sayur-sayur organik, ayam organik, sapi organik, ikan organik, tetep aja pemilik warteg dan rumah makan nyari murah biar untung lebih, belinya langsung ke petani, peternak, paling bener ke pasar sama distributor siap antar lebih murah, dapet bonus sekarung buat langganan"Â
"Dapet pendanaan 1 Milyar tuh dikasih lepas atau pinjaman lunak yang ada bunganya ? hati-hati tuh jebakan finansial ! Â ga masuk diakal soalnya dikasih uang 1 Milyar gitu aja kecuali menang lotre hadiah dari bank juga paling cuma motor bebek yang beneran terundi, bayarnya gimana ini ? sedangkan barangnya belum tentu laku karena saingannya sama industri besar dan supplier grup bisnis, anak muda ga mumet apa ya sama tagihan nantinya ?"Â
Itulah beberapa respon acak dari beberapa pengusaha di sektor pangan ketika mengetahui keberhasilan Start-up dengan pemberitaan keberhasilannya yang memang tidak masuk akal pada saat itu, ternyata di tahun 2023 dan 2024 pemberitaan Start-up terlebih di sektor layanan transportsi, jasa keuangan, pertanian dan pangan banyak yang bangkrut dan bermasalah, memang ketika zaman pandemi adalah zaman dimana Start-up diminati karena kemudahan serta harga yang ditawarkan tidak logis alias "kemurahan bahkan ada yang nol rupiah, apa ga rugi ?". Ternyata mereka sedang melakukan "bakar-bakar duit" alias Burn Rate dimana dananya ya memang dana investor, yang akhirnya dana tersebut berakhir pada utang-piutang yang harus dibayarkan, alih-alih strategi bisnis agar diminati konsumen ternyata menjadi senjata makan tuan.Â
Di Indonesia sendiri Start-up sektor pertanian dan pangan masih tidak memberikan dampak positif yang masif (mengapa harus masif ? karena percepatan pertumbuhan ekonomi yang menjadi hal ambisius dari Start-up ini secara cepat dan ekspansif/luas). Banyak pemberitaan keberhasilan, ya namanya Start-up pendanaan 1 Milyar memangnya murni dihabiskan untuk operasional ? ya dipotong untuk pendirinya dulu dong sebagai honor, belum lagi bagi-bagi jatah untuk C-Level. Hingga pada akhirnya untuk operasional bersisa ratusan juta bahkan bisa saja hanya 200 jutaan rupiah dari total dana eksternal 1 Milyar. Miris kan ?Â
Kemunculan Start-up sektor pertanian dan pangan pun seperti latah sosial dimana hal ini dibahas pada teori fenomena budaya sosial organisasi, teori antropologi yang sering membahas tentang : latah sosial dan imitasi sosial dalam konsumsi budaya organisasi disebut dengan Teori Sosial Budaya (Cultural Social Theory)Â dimana secara sosiologi terlihat bahwa individu atau kelompok sering tenggelam dalam tren-tren dunia baik itu bisnis, inovasi, teknologi, musik, investasi, marketing dll bahkan tak tanggung-tanggung mengikuti secara asal/iseng dalam mengadaptasi budaya biasanya lebih banyak mengadopsi konteks dunia bisnis dimana yang paling latah sosial adalah Perusahaan rintisan ini yang populer disebut dengan Start-up.Â
Latah sosial yang diliputi imitasi sosial ini biasanya terlihat gejalanya pada para pendiri Start-up atau C-Level inti biasanya CEO dimana imitasi sosial ini sering menjadi formula pasaran seperti karena sebutannya CEO maka yang ingin diperlihatkan ke publik ya mereka itu sukses dan prestisius serta kalangan kelas atas karena kesuksesan, hal ini pun merembet pada budaya Start-upnya dimana konsumsi budaya ini akan merepotkan individu atau kelompok karena berlebihan dalam mengiklankan layanan dan produknya sebagai simbol-simbol sosial tertentu, misalkan "ayo gunakan layanan ini,maka disebut sebagai pelanggan silver, gold dan sebutan-sebutan yang menggambarkan konsumennya akan loyal pada layanan/produknya". Hal ini lama-lama membosankan sehingga performa Start-up ini menjadi biasa saja dan kalah saing, terlebih untuk konsumen di Indonesia ini selalu dibandingkan dengan harga.Â
Latah sosial dalam Teori Sosial Budaya ini melihat tren bisnis Start-up yang sama sekali tidak mendalam memahami bahkan tidak siap pada layanan dan produknya namun terlalu dipaksakan bahkan prototipenya saja sulit dilacak, padahal aslinya layanan dan produk yang diciptakan Start-up mudah dijumpai, lantas mengapa selalu menghadirkan produk baru atau layanan baru mengapa tidak mentransformasikan barang/layanan yang sudah ada.Â
Misalnya konteks Start-up perikanan (yang dijual adalah mesin pakan ikan yang terintegrasi dengan ponsel pintar), hal ini justru tidak efisien jika dikembangkan di pelosok karena tidak ada elektrifikasi dan ponselnya masih bukan ponsel pintar atau poliponik yang tidak terintegrasi dengan internet, mengapa tidak gunakan saja alarm manual klasik yang bisa membunyikan jika waktunya untuk tebar pakan, ini justru lebih murah, walau praktiknya tradisional namun solutif dan tidak banyak biaya.Â
Pun dengan Start-up penyedia pangan organik, kebanyakan mahal ongkirnya, sudah gitu harus download/unduh aplikasi di ponsel pintar juga (ponsel pintar kan harus terhubung dengan internet dan beli kuota itu bebannya ada biaya tambahan yang harus mengaktifkan fungsi aplikasinya di ponsel pintar ini), padahal dengan menampung nomor-nomor whatsapp para penjual pangan organik cukup menggunakan grup facebook atau whatsapp per wilayah, kemudian maksimalkan 1 nomor pemesanan yang terintegrasi pada layanan antar sangat murah dan efektif bahkan lebih cepat terdata pesanannya, tidak perlu menghabiskan uang untuk membuat websitenyalah, aplikasinyalah, bahkan afiliatornya (apa bedanya dengan reseller kalau fungsinya menjual kembali barang dan layanan ?).Â
Disinilah kebangkrutan Start-up akan mulai terhilat, terlalu banyak beautifikasi pada ornamen-ornamen bisnisnya namun melupakan esensi dan fungsi solusi yang ditawarkan. Hal ini dalam antropologi ekonomi disebut dengan gagalnya aspirasi sosial yang tertangkap oleh para pebisnis, sehingga inovasinya ya sia-sia. Dan akhirnya ambisiusnya semakin membara dengan meningkatkan jiwa mengemis ke investor. Padahal layanan dan produknya ya belum layak dan berisiko terhantam kompetitor mass production yang jauh lebih murah dan efisien.Â
The Logic of Practice karya Pierre Bourdieu (Sosiolog - Antropolog) yang menjelaskan tentang habitus (sistem, norma, kebiasaan) yang terbentuk dalam kehidupan seseorang/kelompok yang akhirnya mempengaruhi : pemikiran, ucapan, tindakan hingga perilaku, walaupun ada faktor eksternal misalnya lingkungan, namun habitus muncul karena faktor internal juga yang lama kelamaan terbentuk dari pengalaman sosial dari waktu ke waktu. Nah,hal ini berhubungan dengan fenomena Start-up dan pendiri-pendiri Start-up karena adanya habitus yang disalahartikan dalam representasi ke publik akhirnya terjatuh sendiri akibat citra diri yang sering melangit atau terlalu tinggi padahal secara internal ya tidak ada sejarah pretisius tersebut, hal itu tentu bisa dicapai, namun ada prosesnya dan tidak instan. Hal inilah yang menjadi belenggu utama untuk para pendiri Start-up yang tercitrakan istimewa, apalagi jika eksposur berlebihan dan tidak bisa kontrol diri.Â
Studi Kasus Kebangkrutan Start-up Sektor Pertanian & Pangan
Dari perspektif dan analisis antropologi ekonomi pangan akan menampilkan kebangkrutan Start-up sektor pertanian dan pangan yang akan dijadikan studi kasus.Â
Pertama adalah Start-up Farmigo (Amerika, didirikan pada tahun 2009, CEO Benzi Ronen dan CTO Yossi Pik) yang merupakan pasar petani daring/online yang menghubungkan : konsumen - tempat bekerja konsumen - sekolah anak-anak konsumen - kompleks elit seperti apartemen dan pusat kegiatan masyarakat yang terhubung dengan para petani lokal. Lokasi operasionalnya hanya ada di tiga lokasi saja. Karena melihat antusiasme dan idenya unik, maka Start-up ini pun mendapat pendanaan dari Investor seperti Sherbrooke Capital , RSF Social Finance dan Benchmark Capital.Â
Permasalahan dimulai dari :Â
- Farmigo hanya berfokus pada distribusi pangan langsung dari petani ke konsumen via online platform yang memang layanannya hanya pengantaran produk pertanian segar.Â
- Model bisnisnya kurang cocok, yang akhirnya menyebabkan Farmigo mengalami kesulitan finansial untuk operasional hingga akhirnya Farmigo diakuisisi oleh GrubMarket (tahun 2021). Istilah akuisisi dalam bisnis yaitu proses dimana perusahaan/Start-up lain membelinya untuk memperluas pasar, menggabungkan layanan teknologi, atau meningkatkan aliran dana untuk memperkuat finansial dan opersional perusahaan/Start-up yang sudah sekarat.Â
- Farmigo walaupun menggunakan teknologi digital, namun tetap saja kembali manual-konvensional dimana pasar daring yang ditawarkan sering tidak sejalan dengan idealisme petani lokal sebagai penyuplai pangan segarnya (ya mereka terbiasa dengan penjualan di tempat dan konsumen berdatangan, tidak usah melalui pengiriman via kurir/jasa antar dimana keuntungannya kadang tidak jelas dari pasar daring ini). Hal ini pun membuat Farmigo tidak bisa merawat hubungan sosial dengan komunitas petani lokal.Â
- Harga Logistik Mahal, tentu jika farmigo hanya menawarkan layanan pasar daringnya saja, lantas semua logistik sarana dan prasarana diatur oleh siapa ? tentu kembali ke produsen, bikin ribet pedagang saja. Adapun jika disediakan Farmigo, berarti ada biaya tambahan untuk biaya kirim/ongkir. Konsumen jika mahal tidak akan tertarik bukannya solutif, malah konsumtif. Lebih baik belanja ke pasar tradisional saja yang bisa ditawar, lebih murah, dan sama segarnya.
- Biaya penanganan pangan segar, tentu hal ini akan memerlukan tempat, wadah, bungkusan untuk pengemasan agar kualitas pangan tetap segar ketika sampai ke konsumen. Alangkah pusingnya bukan ? mau memberikan solusi mahal mahal, makanya kadang tidak realistis karena kalau makin mahal, harusnya hentikan segera model bisnisnya dan mulailah mencari alternatif dengan memaksimalkan potensi terdekat dengan survei lapangan yang betul-betul dibutuhkan oleh konsumen terdekat.
- Kompetisi Pasar Pangan dan Platform Daring bermunculan, ya namanya usaha, pasti ada kompetitor, maka Start-up harusnya bisa jadi alternatif bukan malah menambah problem baik untuk konsumen bahkan untuk Start-upnya sendiri. Daya saing perusahaan/industri agribisnis itu partai besar, ya Start-up punya modal apa ? hanya modal aplikasi dan website saja ? ya itu bisnis jasa bukan bisnis pangan segar, tentu kalah oleh perusahaan besar. Jangankan kalah oleh perusahaan, bahkan oleh tukang sayur keliling pun akan kalah saing dari sisi layanan dan harga.Â
- Start-up terlalu idealis dan sering merasa ekslusif, ya hal ini menyebabkan pasarnya tidak bisa berekspansi, ya mau ekspansi bagaimana harga di daerah jangkauannya saja sudah tidak terjangkau, apalagi mau ekspansi. Farmigo juga kewalahan dengan skala bisnisnya sendiri dimana penyakit Start-up kalau sudah merasa tidak berdaya adalah : PERLU DANA CEPAT untuk TERUS BERTUMBUH & BERKEMBANG. Alias ketergantungan pada investor/dana eksternal dimana dana ini kan bukan dana dari hasil keuntungan penjualan layanan dan produknya Farmigo.Â
- Didirikan tahun 2009, isu tutup layanan tahun 2016. Cukup singkat perjalanan bisnisnya, bukan ? Hanya 7 tahun.Â
- Pendanaan yang tidak mudah lagi, ternyata walau sudah menjadi Start-up. Farmigo juga kesulitan mendapatkan dana investor karena dari pendanaan pertamanya dari para investor nyatanya tidak memperlihatkan keberlanjutan malah banyak problem dari mulai mahalnya dana logistik.Â
- Akhirnya tahun 2021 sudah diakuisisi, dan hasilnya model bisnis dan jangkauan farmigo diperluas karena GrubMarket punya kekuatan finansial yang cukup kuat, jadi melihat Farmigo itu hanya bisnis skala kecil saja.
Antropologi Ekonomi Pangan : Substantivisme & Dekadensi Kejatuhan Start-up Sektor Pertanian dan PanganÂ
Hingar bingar dunia Start-up di Indonesia seakan-akan mengalihkan perhatian berbagai kalangan mulai dari : anak muda, pemerintah, pihak bank, pemberi dana/pendonor, bahkan investor asing dimana keberadaan pedagang dan produsen kecil yang tidak punya akses seperti tertinggal jauh dari para Start-up ini, namun dibalik itu semua pedagang dan produsen kecil ini masih sanggup bertahan tanpa banyak pencitraan cerita sukses dan tentu layanan dan produknya lebih dibutuhkan konsumen sebenarnya.Â
Tahun 2024 ini banyak sekali pemberitaan Start-up dalam negeri sektor pertanian dan pangan yang berjatuhan dimulainya banyaknya pemecatan (layoff) pekerja besar-besaran, disusulnya banyak permasalahan seperti penggelapan dana dll. Apa yang terjadi ? tentu itu masalah internal perusahaan yang tidak umum dicampuri. Namun, ketika Start-up ini sudah menerima pendanaan dari pihak eksternal misalnya pendanaan investor, maka sistem manajerial keuangannya harus selalu diaudit, karena risikonya ya dikorupsi oleh C-Level yang menurut Lyons, banyak yang hipokrit.Â
Pendekatan yang paling sederhana yang bisa dimengerti oleh publik bahkan awam adalah pendekatan antropologi ekonomi pangan (cabang antropologi yang mempelajari dan membahas tentang sistem produksi, distribusi, dan konsumsi pangan) yang dihubungkan dengan hal-hal sosial, budaya bahkan ekonomi masyarakat sehingga sektor pangan dalam balutan usaha baik itu industri, perusahaan, bahkan Start-up dan wirausaha ini bisa mengarahkan pada cerminan : kekuasaan, nilai budaya organisasi, dan hubungan ekonomi di dalam Start-upnya sendiri yang berdampak pada konsumen, misal yang paling terasa ada tambahan biaya yang ditawarkan oleh layanan/produk Start-up.Â
Marvin Harris (Antropolog)Â menuliskan Cannibals and Kings: The Origins of Cultures yang menjelaskan ketika pola konsumsi pangan merupakan kebutuhan ekologis dan ekonomi masyarakat maka akan ada pihak-pihak oportunis (seperti Start-up) yang akan menciptakan ketidaksetaraan pada komoditas dalam sistem pangan modern. Padahal ini Marvin Harris ini membahasnya di tahun 1977, namun teorinya tentang ketergantungan kebutuhan komoditas, maka akhirnya sekelas komoditas pangan pun diperjualbelikan atas nama inovasi dan teknologi dengan sugesti kemajuan, bisa dirasakan akhir-akhir ini bahwa hal yang awalnya mudah malah jadi rumit ketika Start-up sektor pertanian dan pangan ini bermunculan di Indonesia, dimulai dari :Â
- Kemitraan yang tidak menguntungkan.Â
- Pembagian keuntungan tidak merata.Â
- Supplier banyak merugi karena dikurasi harus selalu produk terbaik.Â
- Egoisme teknologi (website, aplikasi, digital).Â
- Tidak efisien dalam teknologi mutakhir (perekrutan tenaga kerja besar-besaran, mau diberi upah darimana ?)Â
- Kontrak yang tidak jelas.Â
- Tidak mementingkan Ketenagakerjaan (Jaminan Sosial dan Kesehatan).
- Para pendiri bukan ahli di sektor yang sedang dijalankan, misalnya pendiri start-upnya berkecimpung di dunia pangan air, ya minimal mengerti ilmu pangan air, ini hanya mengandalkan teknologi saja ya semua permasalahan di lapangan tidak bisa diselesaikan oleh teknologi dan inovasi.Â
Substantivisme & DekadensiÂ
Kedua istilah ini sangat populer pada antropologi ekonomi pangan, Karl Polanyi (Antropolog ekonomi) sering membahas susbtantivisme, bahasannya bisa dibaca pada bukunya yang berjudul The Great Transformation : The Political and Economic Origins of Our Time. Substantivisme menekankan pada ekonomi ini tidak hanya tentang perhitungan rasional tentang angka seperti untung dan rugi (mekanisme pasar) namun pergerakan ekonomi itu tentang bagaimana konsumen (manusia) bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menikmati sistem-sistem yang ditawarkan oleh konteks sosial, budaya dan lingkungan (istilah ini disebut dengan sistem yang tertanam/embedded system).Â
Substantivisme ini mengingatkan kembali pada Start-up sektor pertanian dan pangan bahwa ekonomi ini tidak berdiri sendiri (Start-up dan investor saja) namun ada jaringan hubungan sosial dan budaya, apalagi jika targetnya adalah masyarakat (ingatlah bahwa masyarakat itu tidak bisa lepas dari tradisi, norma dan institusi lokal), inilah yang dinamakan sebagai aktivitas sosial, sudahkah bisnis start-up ini menjawab kebutuhan masyarakat ?.Â
Polanyi sering mempertanyakan pada ekonomi formal dengan pasar bebas yang sering mengabaikan aspek-aspek sosial dan budaya yang justru jika berbisnis harusnya bisa meraih dan menjawab problema sosial sehingga betul-betul dibutuhkan, sulitkan melepaskan ego ini ?Â
Hal ini sulit karena Start-up terbelenggu pada jaringan/hubungan dominasi kapitalisme yang justru merusak hubungan sosial antar manusia, melunturkan gotong royong dan melanggar hal-hal yang sudah tertata rapi dalam idealisme masyarakat lokal yang sudah tidak ada masalah apa-apa, kemudian Start-up ini hadir seakan-akan bisa mengatasi semua permasalahan. Polanyi mendefinisikan biasanya anak-anak muda yang menggandrungi bisnis-bisnis kapitalis seperti ini sering terjebak dalam pasar modern yang memisahkan ekonomi kerakyatan yang mensejahterakan menjadi jebakan-jebakan ekonomi modern seperti anak muda sering banyak terlilit utang demi ambisi-ambisinya dan akhirnya melakukan praktik-praktik ketidakadilan bagi dirinya, perusahaannya/organisasinya, bahkan target marketnya/konsumen yang menikmati layanan/produknya.Â
Polanyi menjelaskan lebih lanjut bahwa substantivisme ini sering melakukan eksploitasi pada krisis sosial, kemiskinan dan ketidakberdayaan sebagai narasi-narasi inovasinya dimana akhir dari plot cerita/kisah ini adalah layanan/produknya yang ternyata tidak terjangkau, balutan dan godaan modernisme pun memperburuk gengsi karena yang diutamakan lama-lama hanya keuntungan semata tanpa mempertimbangkan lagi dampak sosial dan budayanya hingga semua DNA organisasinya/lini bisnisnya akan terpuruk atas kegagalan sistemik yang terus dirawat.Â
Polanyi mengingatkan dalam perubahan ekonomi bahwa bisnis yang berumur panjang justru bisnis yang bisa membawa kesejahteraan dari setiap divisi bisnisnya, tidak hanya memikirkan keuntungan semata, didalamnya perlu dipupuk kebermanfaatan layanan/produknya, kesejahteraan komunitas bisnisnya termasuk : mitra bisnis, pekerja, dan semua yang terhubung dengan bisnisnya serta mudah beradaptasi dengan kebutuhan konsumen (konsumen perlunya pangan murah dan berkualitas, ya ciptakan itu, bukan pangan sampah alias mahal di harga kemasan/packaging menarik, itu poin sekian). Â Start-up harus menurunkan ego terlebih dalam fokus profitabilitas tapi mulailah sengan menghindari jebakan kapital yang destruktif dimana model bisnisnya harus lebih inklusif, sehingga kepercayaan konsumen akan teralihkan ke Start-up karena menjawab alternatif dari pasar-pasar kapital yang telah lama hadir.Â
Dekadensi dalam antropologi ekonomi pangan adalah kondisi ekonomi dan sosial gagal beroperasi bahkan menyimpang dalam menjalankan sistemnya walaupun sudah direncanakan dengan gagasan inovasi hebat, tetap saja dalam dekadensi ekonomi pangan terlihat adanya kemerosotan/kemundural moral, baik itu dari budaya kerja yang dipengaruhi para pendirinya yang C-Level itu, atau dari komposisi gemuk struktur organisasinya/Start-upnya misalnya seperti adanya CFO apa bedanya dengan bendahara biasa ? apakah semua ketua harus selalu dianggap Chief ? ini berpengaruh pada gaji/upah dari jobdesk yang menyebabkan kas Start-up mudah menyusut (ibaratnya : banyak mengupah tenaga kerja, tapi deskripsi kerja gitu-gitu aja atau sederhana sekali, bahkan lebih melelahkan jadi admin chat bot dan customer service melayani komplain pelanggan tapi upahnya tidak layak kalah dengan posisi C-Level).Â
Dekadensi ini pun sering memporak-porandakan Start-up karena imajinasinya terhadap solusi yang tidak terukur dan sesuai dengan kebutuhan realita (fenomena ini disebut dengan fenomena jebakan eksploitasi kapitalistik) dimana Start-up sering masuk perangkap agar terus bergerak, menciptakan sesuatu, membuat suatu gebrakan, namun kondisi finansialnya kopong alias tidak berdaya sama sekali sehingga jebakan utang-piutang demi reputasi sering membutakan Start-up dan menuju kehancuran (Zombie Start-up : ada sih keberadaannya namun jika tidak disuntik dana investor akan sangat tergopoh-gopoh).Â
Marshall Sahlins (Antropolog Budaya dan Ekonomi) menjelaskan dengan sangat mudah dipahami tentang Dekadensi ini, dalam bukunya Stone Age Economics mengingatkan bahwa ketergantungan pada pasar bebas akan mengorbankan nilai-nilai sosial dan menghasilkan ketidakadilan merata untuk semua sektor bisa lambat laun bahkan secepat kilat sekalipun, hal ini karena godaan keuntungan yang masih dalam imajinasi dalam perhitungan ekonomi yang tidak pasti dan tuntutan ekspansi cepat untuk pelaporan sang penyuntik dana yang ingin merasakan cepat hasil investasinya (sebaliknya yang melakukannya misalnya Start-up tercekik-cekik) dalam hal ini kondisinya disebut dengan overpromising (kondisi dimana ide besar/gagasan inovatif menjadi komoditas yang diperjual-belikan dengan isu-isu keberlanjutan yang memiliki dampak sosial namun nyatanya ada paksaan prioritas investor yang di luar nalar sehingga timbul disonansi (pemicu kehancuran seluruh sistem).Â
Terakhir, dekadensi ini merugikan konsumen pada setiap layanan dan produk yang ditawarkan seperti terlalu banyak komodifikasi berlebihan. Komodifikasi merupakan menaikan harga komoditas/layanan dari harga-harga normal sewajarnya karena dihubungkan dengan nilai-nilai sosial, budaya, emosional, dll sehingga barang/layanan terkesan jauh lebih baik daripada barang/layanan yang sama pada umumnya.Â
Contoh : Serbuk minuman serai jahe dihargai 50 ribu rupiah untuk 3 saset karena serbuk ini bisa membuat rileks. Padahal serbuk seperti harga normalnya di kedai jamu yang sudah ada standar BPOMnya hanya dijual 1 sasetnya 5 ribu rupiah dan jika diseduh ditempat hanya 7 ribu rupiah. Serbuk minuman serai yang dihargai 50 ribu rupiah ini sering dikemas dengan kemasan berlebihan seakan-akan menjual nilai sosialnya daripada fungsi utama dari manfaat serbuk serai jahe pada esensinya. Â Komodifikasi ini sering mendapat banyak mendapatkan kritik dari layanan konsumen karena terlalu menggunakan klaim-klaim berlebihan melebihi standar harga pada umumnya. Sepremium-premiumnya ketika kategori komoditasnya memang harganya tidak mahal, maka jika hal tersebut terjadi, artinya konsumen terkena tipuan sedangkan pengusaha/Start-up yang melakukannya jelas mempraktikkan komodifikasi layanan/produk, sehingga dari keberlanjutannya tidak lama, karena karakter pembeli tetap saja efisiensi pengeluaran, dimana keterjangkauan lebih utama.Â
Menjadi kaya pada saat usia muda memanglah mudah, banyak jalur-jalur cepat via akselerator dan investor, namun tetap sehat, waras dan berkecukupan hingga usia tua adalah berkah tak ternilai (Repa Kustipia - Konsumen setia barang-barang dan layanan terjangkau namun berkualitas).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H