Penny Universities ternyata inklusif pada masanya, artinya semua golongan bisa bertemu hanya berbekal membeli kopi dan semua pelanggan mulai bisa berdiskusi dengan para penikmat kopi lainnya termasuk masyarakat yang tidak bersekolah atau berkuliah bisa turut partisipatif menjadi intelektual di Penny Universities ini.Â
Para penikmat kopi di Penny Universities dikunjungi oleh para intelektual, pemikir, ilmuwan, penulis, politisi, penulis, jurnalis/juru tulis, filsuf, ekonom, matematikawan, biolog sampai masyarakat tanpa latar belakang profesional menikmati kopi, inilah cikal bakal era demokrasi dan kebebasan yang diimpikan oleh orang-orang dengan berbagai keterbatasan akses, karena inklusivitas inilah maka peranan kedai kopi/Penny Universities ini mmendobrak gagasan pencerah, revolusioner, bahkan menuju pada demokrasi karena partisipatifnya pengunjung untuk berdiskusi dan saling bertukar pikiran dan gagasan, bahkan sudah biasa menyaksikan debat publik di Pennyhouse/Penny Universities ini dimana hal ini membahas perkembangan sosial, politik, ekonomi, industri dan kebijakan penguasa.Â
Buku The Coffeehouse: A Cultural History ditulis oleh Markman Ellis (Professor yang spesialisasinya membahas Studi Abad ke-18) dari Queen Mary University of London menjelaskan bahwa kondisi era demokrasi bisa ditelusuri dari sejarah keberadaan kedai kopi/Penny Universities sampai bahasan revolusi Amerika dan revolusi prancis, kopi dalam konteks abad ke-18 adalah katalisator perubahan demokratis.Â
Di kedai kopi, isu-isu politik, sosial, dan ekonomi dibahas secara bebas, yang membantu membentuk opini publik dan gerakan revolusioner, termasuk Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis.
Oleh karena itu, kopi tidak hanya berperan sebagai minuman tetapi juga sebagai katalisator (pemicu) perubahan demokratis. Ellis membahas beberapa hal penting tentang kopi dan demokrasi di Inggris yang diawali pada abad ke-17.
Saat itu biji kopi diimpor dari Timur Tengah hingga akhirnya kopi hanya bisa dinikmati oleh para bangsawan Inggris saja atau kelas atas sehingga hal ini rasanya tidak adil untuk masyarakat Inggris kala itu di mana aroma kopi terasa sangat menggoda ketika diseduh hingga akhirnya komoditasnya berkembang dan rantai pasok kopi pun berkembang sehingga komoditas kopi bisa memenuhi permintaan yang tidak hanya diperuntukkan hanya bagi kelas bangsawan atau kelas atas di Inggris.Â
Kedai kopi di Inggris banyak melahirkan sastrawan dan jurnalis-jurnalis kritis yang saling bertukar informasi dan pandangan transformatif sosial, budaya dan politik sehingga kedai kopi menjadi area publik yang berisi banyak gagasan baru dan segar karena diskusi dan debat publik terus dilakukan dengan terjangkau cukup bermodalkan menikmati segelas/secangkir kopi saja, hingga akhirnya masyarakat pun menjadi tidak takut untuk lebih kritis karena merasakan suasana kebersamaan, kesetaraan dan kekompakkan dalam berbeda pandangan.Â
Bagaimana hubungan kopi dan masyarakat hari ini di negara demokrasi, Indonesia misalnya?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H