Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Membahas Sejarah Hidangan dan Bangunan Jakarta dengan Komunitas Temu Sejarah

18 Maret 2024   08:10 Diperbarui: 18 Maret 2024   08:13 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : https://www.kemangvillage.co.id/ (Jalan Juanda) 

Kamis. 14 Maret 2024 saya tergabung pada komunitas Temu Sejarah, Komunitas penggemar buku sejarah di Indonesia
yang sedang aktif melakukan diskusi buku sejarah setiap kamis malam via daring. Selaku seorang gastronomist terpantik menanyakan apakah ada yang sepeminatan untuk membahas buku sejarah pangan, budaya. atau gastronomi ? teman-teman komunitaspun menyambut dengan aktif bahwa sejarah makanan, pangan, hidangan, menu, bahkan pabrik makanan menjadi sesuatu yang terlewatkan namun seru dibahas karena elemen "pangan, makanan, menu" adalah hal yang tidak asing dan intensitas menikmatinya hampir sering bahkan inilah kebutuhan primer yang selalu bertransformasi dengan zaman. 

Ada satu buku menarik yang kutemui dari rak toko buku yang dari sampul bukunya cukup menarik untuk dimiliki, buku ini ditulis oleh seorang kolumnis makanan yaitu Kevindra Soemantri yang judulnya : Jakarta A Dining History dan buku inilah yang dibahas dalam temu sejarah ini, berikut tayangan diskusinya jika ingin menyimak yang didokumentasikan pada kanal Youtube member Temu Sejarah : Tiwi Kasavela. 


Sebelumnya Komunitas Temu Sejarah memberikan informasi tentang diskusi buku ini pada akun instagramnya bahwa akan ada bahasan sejarah makanan dan bangunan yang dimoderatori oleh : Bulan, hal yang patut disyukuri adalah jenis diskusi ini adalah gratis dan terbuka untuk umum atau siapapun, dan disediakan berbagai tautan jika ingin bergabung bagi para pecinta buku sejarah dan yang memiliki ketertarikan pada sejarah. Secara personal bergabung pada komunitas sejarah dan membahas berbagai bukunya seperti implementasi nyata bahwa sebagai manusia tetap diingatkan kembali dan mengambil pelajaran berharga dari masa lalu. 

Sinopsis Buku Jakarta A Dining History 

Apa yang terbayang dari bangunan tua di Jakarta selain bangunan arsip, museum, perkantoran, dan lapangan ? pernahkan membayangkan selintas tentang bangunan tua namun sebagai tempat makan ? restoran ? kafe ? atau hotel tenpat berkumpulnya sosialita ? buku ini membahas bangunan-bangunan tersebut, hidangan dan kebudayaan yang berkembang per zamannya dimulai dari Jakarta (Batavia) Baru Adab ke-19 diawali dari keberadaan bangunan megah pusat gaya hidup Hindia Belanda, adanya klub sosial hingga pengaruh masakan Perancis yang erat kaitannya dengan Hotel Des Indes. 

 sumber gambar : wikipedia (hotel des indes) 
 sumber gambar : wikipedia (hotel des indes) 

Kawasan Gongdangdia, Menteng, dan Wilayah Sekitarnya, mengingat lokasi ini maka ada bangunan klasik yang sampai saat ini digunakan sebagai galeri seni dan restoran yaitu Bataviasche Kunstkring yang sekarang dikenal dengan Tugu Kuntskring Palais Jakarta, tempat yang sangat terlihat klasik dari gaya arsitekturnya, terkenang adanya aktivitas menikmati wine dan adanya restoran yang diberi nama Stam en Weijns. Tidak hanya Gondangdia, Cikini (Tjikini) pun menjadi memori arsitektur yang berkorelasi dengan perkembangannya seperti hadirnya Toko Es Krim (Tjan Njan) yang berada di Jalan Cikini hal ini karena sudah ada pemasok susu ke Batavia, alat pendingin dan pembuatan es. Jaka

sumber gambar : wikipedia (kunstkring) 
sumber gambar : wikipedia (kunstkring) 
Jakarta pun berubah seiring berkembangnya zaman dan banyaknya ekspatriat yang datang setelah kemerdekaan Republik Indonesia, buku ini membahas Jakarta tahun 1960-an yang ditandai dengan adanya Hotel Indonesia dan Lahirnya Kebayoran Baru. Pesta dan Buffet (parasmanan mewah sudah mulai disediakan dan tempat inilah seringkali dihadiri negarawan, tokoh nasional dan pusatnya pertemuan diplomasi negara), tak heran jika peradaban di Jakarta pada saat itu berkembang pesat dan hal ini berpengaruh pada hidangan yang disantap oleh orang-orangnya. 

 sumber gambar : pinterest.com (HI tahun 1960-an) 
 sumber gambar : pinterest.com (HI tahun 1960-an) 

Sedangkan Kebayoran baru didesain oleh arsitek Mohammad Soesilo (perancang tata kota) yang juga muridnya Thomas Karsten (arsitek/insinyur asal Belanda yang berkontribusi besar terhadap arsitektur dan perencanaan perkotaan di Indonesia selama dijajah Belanda bahkan sempat mengajar di Institut Teknologi Bandung sebutan sekarang). Kebayoran Baru hadir sebagai penyangga metropolis dari Jakarta dengan banyaknya kawasan elit, perkantoran dan pusat perbelanjaan serta integrasi lengkap transportasi publik sehingga memudahkan masyarakat untuk bermobilisasi. 

sumber gambar : T. Karsten via tirto.id 
sumber gambar : T. Karsten via tirto.id 

Jakarta pada tahun 1970-1980-an hadirnya Hotel Bintang Lima, Budaya Pop (Kultur Pop) dan Jakarta Metropolitan. Secara umum dan sederhana bahwa yang disebut dengan Hotel Bintang Lima adalah kelas hotel termewah yang memiliki jumlah minimal kamar standar 100 dengan luas minimal 26 m dan 5 kamar suite (kamar yang lengkap tidak hanya untuk tidur namun sudah ada dapur/mini pantry didalamnya) dengan luas minimal 52 m. Hotel ini memiliki : restoran, bar, kolam renang, tempat rekreasi, dan staf yang multiprofesional. 

Sedangkan Budaya Pop mendefinisikan Budaya populer adalah kumpulan gagasan, pandangan, perilaku, dan fenomena yang diterima secara luas dalam budaya, terutama di Barat pada abad ke-20 dan abad ke-21. Dipengaruhi oleh media massa, budaya populer menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat. Meskipun sering dianggap sepele dalam pencarian penerimaan arus utama, budaya populer sering kali mendapat kritik keras dari kelompok non-arus utama, seperti kelompok agama, karena dianggap konsumeris dan superfisial. Istilah "budaya populer" awalnya merujuk pada pendidikan dan budaya kelas bawah pada abad ke-19, tetapi saat ini lebih terkait dengan konsumsi massa, khususnya di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II. Budaya populer sering diasosiasikan dengan budaya massa atau mass culture, yang diproduksi dan dikonsumsi secara masal. Ini menunjukkan perbedaan dari budaya tinggi yang dihubungkan dengan kelas elit. Budaya populer, pada dasarnya, adalah produk budaya yang diproduksi secara pabrikan dan tersedia luas tanpa usaha khusus untuk mengaksesnya.

Di Jakarta Metropolitan, budaya populer memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pertumbuhan urbanisasi dan globalisasi, pengaruh budaya populer semakin terasa dalam aspek seperti musik, film, mode, dan gaya hidup. Restoran, kafe, dan tempat hiburan yang dipenuhi dengan referensi budaya populer menjadi titik pertemuan bagi warga kota yang beragam. Perkembangan hidangan di Jakarta Metropolitan juga tercermin dari perpaduan budaya populer. Restoran-restoran yang menyajikan hidangan dari berbagai belahan dunia dengan sentuhan lokal semakin populer di kota ini. Makanan jalanan yang menggabungkan cita rasa tradisional dengan inovasi modern juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung.Dengan demikian, hubungan antara budaya populer dan perkembangan hidangan di Jakarta Metropolitan mencerminkan dinamika perkotaan yang terus berkembang, di mana budaya populer menjadi elemen penting dalam membentuk identitas dan gaya hidup warga kota sehingga sudah banyak hadirnya berbagai restoran, restoran cepat saji, bahkan restoran akulturasi yang tidak hanya menyajikan masakan Eropa namun hidangan Jepang pun sudah hadir. 

Jakarta 1990-an ditandai dengan hadirnya shopping mall, dimana akses untuk makanan dan perbelanjaan modern semakin beragam dan banyak jenisnya yang bisa dinikmati masyarkaat metropolis dan inilah cikal bakal kemacetan di Jakarta karena sudah banyak kendaraan pribadi dan kendaraan umum sebagai akomodasi masyarakat untuk sampai ke beberapa area pusat perbelanjaan dan berkumpul dengan kolega di beberapa tempat makan. 

Istilah-Istilah Jalan di Jakarta Secara Historis :

Penulis membuat mini glosarium untuk mendefinisikan area-area di Jakarta dengan sebutan bahasa Belanda seperti : 

  • Weltevreden (wilayah harmoni, medan merdeka, lapangan banteng, juanda, veteran, pasar baru, dan menteng). 

 sumber gambar : wikipedia (Bekas Harmoni Central Busway) 
 sumber gambar : wikipedia (Bekas Harmoni Central Busway) 
  • Noordwijk (wilayah Jalan Juanda)

sumber gambar : https://www.kemangvillage.co.id/ (Jalan Juanda) 
sumber gambar : https://www.kemangvillage.co.id/ (Jalan Juanda) 
  • Molenvilet (wilayah Jalan Gadjah Mada menuju Jalan Hayam Wuruk) 
  • Risjwijk (wilayah Jalan Veteran) 
  • Citadelweg & Citadel Prins Frederik (wilayah Masjid Istiqlal
  • sumber gambar : https://ekonomi.bisnis.com/ (masjid istiqlal) 
    sumber gambar : https://ekonomi.bisnis.com/ (masjid istiqlal) 
  • Koningsplein (wilayah Monumen Nasional) 
  • Waterlooplein (wilayah Lapangan Banteng) 
  • Niew Gondangdia (wilayah Menteng) 
  • Laan Holle (wilayah Jalan Sabang) 

sumber gambar  : tripadvisor.co.id (Jalan Sabang) 
sumber gambar  : tripadvisor.co.id (Jalan Sabang) 

Setelah Membaca Jakarta A Dining History (Refleksi) 

Bangunan dan makanan akan mengikuti perkembangan masyarakatnya dan rantai pasok komoditas pangan dengan balutan kebijakan pangan, pertanian, agraria dan perdagangan. Hal ini jika melirik studi yang dilakukan oleh Food, Culture and Society dan bahasan perpustakaan digital : JSTOR Daily yang membahas pengaruh bangunan, makanan dan peradaban yang dikaji oleh Ari Ariel (Sejarawan dari Iowa - Fakultas Seni Liberal dan Ilmu Pengetahuan, Amerika) bahwa : Makanan tidak hanya sebagai kebutuhan fisik, tetapi juga mencerminkan kelas, perubahan selera, dan perbedaan regional. Label makanan mencerminkan "gastronationalisme," menjaga makanan sebagai bagian dari warisan nasional. Ini menghasilkan perbedaan antara sampanye dan anggur berbusa biasa. Namun, kebanggaan pada makanan juga memperlihatkan kompleksitas hubungan antara makanan, nasionalisme, keaslian, dan globalisasi, Hal ini sejalan dengan muatan buku Jakarta A Dining History yang ditulis oleh Kevindra Soemantri bahwa peradaban Jakarta mengikuti perkembangan penduduknya, kegiatannya, kepentingannya, dan Budaya Pop serta Pasca-budaya pop yang berkembang, makanan dan bangunan senantiasa mengumpulkan pecahan ingatan dari generasi ke generasi lewat dokumentasi dan memori gastronomi para penikmatnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun