Jakarta pada tahun 1970-1980-an hadirnya Hotel Bintang Lima, Budaya Pop (Kultur Pop) dan Jakarta Metropolitan. Secara umum dan sederhana bahwa yang disebut dengan Hotel Bintang Lima adalah kelas hotel termewah yang memiliki jumlah minimal kamar standar 100 dengan luas minimal 26 m dan 5 kamar suite (kamar yang lengkap tidak hanya untuk tidur namun sudah ada dapur/mini pantry didalamnya) dengan luas minimal 52 m. Hotel ini memiliki : restoran, bar, kolam renang, tempat rekreasi, dan staf yang multiprofesional.Â
Sedangkan Budaya Pop mendefinisikan Budaya populer adalah kumpulan gagasan, pandangan, perilaku, dan fenomena yang diterima secara luas dalam budaya, terutama di Barat pada abad ke-20 dan abad ke-21. Dipengaruhi oleh media massa, budaya populer menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat. Meskipun sering dianggap sepele dalam pencarian penerimaan arus utama, budaya populer sering kali mendapat kritik keras dari kelompok non-arus utama, seperti kelompok agama, karena dianggap konsumeris dan superfisial. Istilah "budaya populer" awalnya merujuk pada pendidikan dan budaya kelas bawah pada abad ke-19, tetapi saat ini lebih terkait dengan konsumsi massa, khususnya di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II. Budaya populer sering diasosiasikan dengan budaya massa atau mass culture, yang diproduksi dan dikonsumsi secara masal. Ini menunjukkan perbedaan dari budaya tinggi yang dihubungkan dengan kelas elit. Budaya populer, pada dasarnya, adalah produk budaya yang diproduksi secara pabrikan dan tersedia luas tanpa usaha khusus untuk mengaksesnya.
Di Jakarta Metropolitan, budaya populer memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pertumbuhan urbanisasi dan globalisasi, pengaruh budaya populer semakin terasa dalam aspek seperti musik, film, mode, dan gaya hidup. Restoran, kafe, dan tempat hiburan yang dipenuhi dengan referensi budaya populer menjadi titik pertemuan bagi warga kota yang beragam. Perkembangan hidangan di Jakarta Metropolitan juga tercermin dari perpaduan budaya populer. Restoran-restoran yang menyajikan hidangan dari berbagai belahan dunia dengan sentuhan lokal semakin populer di kota ini. Makanan jalanan yang menggabungkan cita rasa tradisional dengan inovasi modern juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung.Dengan demikian, hubungan antara budaya populer dan perkembangan hidangan di Jakarta Metropolitan mencerminkan dinamika perkotaan yang terus berkembang, di mana budaya populer menjadi elemen penting dalam membentuk identitas dan gaya hidup warga kota sehingga sudah banyak hadirnya berbagai restoran, restoran cepat saji, bahkan restoran akulturasi yang tidak hanya menyajikan masakan Eropa namun hidangan Jepang pun sudah hadir.Â
Jakarta 1990-an ditandai dengan hadirnya shopping mall, dimana akses untuk makanan dan perbelanjaan modern semakin beragam dan banyak jenisnya yang bisa dinikmati masyarkaat metropolis dan inilah cikal bakal kemacetan di Jakarta karena sudah banyak kendaraan pribadi dan kendaraan umum sebagai akomodasi masyarakat untuk sampai ke beberapa area pusat perbelanjaan dan berkumpul dengan kolega di beberapa tempat makan.Â
Istilah-Istilah Jalan di Jakarta Secara Historis :
Penulis membuat mini glosarium untuk mendefinisikan area-area di Jakarta dengan sebutan bahasa Belanda seperti :Â
- Weltevreden (wilayah harmoni, medan merdeka, lapangan banteng, juanda, veteran, pasar baru, dan menteng).Â
- Noordwijk (wilayah Jalan Juanda)
- Molenvilet (wilayah Jalan Gadjah Mada menuju Jalan Hayam Wuruk)Â
- Risjwijk (wilayah Jalan Veteran)Â
- Citadelweg & Citadel Prins Frederik (wilayah Masjid Istiqlal
- Koningsplein (wilayah Monumen Nasional)Â
- Waterlooplein (wilayah Lapangan Banteng)Â
- Niew Gondangdia (wilayah Menteng)Â
- Laan Holle (wilayah Jalan Sabang)Â
Setelah Membaca Jakarta A Dining History (Refleksi)Â
Bangunan dan makanan akan mengikuti perkembangan masyarakatnya dan rantai pasok komoditas pangan dengan balutan kebijakan pangan, pertanian, agraria dan perdagangan. Hal ini jika melirik studi yang dilakukan oleh Food, Culture and Society dan bahasan perpustakaan digital : JSTOR Daily yang membahas pengaruh bangunan, makanan dan peradaban yang dikaji oleh Ari Ariel (Sejarawan dari Iowa - Fakultas Seni Liberal dan Ilmu Pengetahuan, Amerika) bahwa : Makanan tidak hanya sebagai kebutuhan fisik, tetapi juga mencerminkan kelas, perubahan selera, dan perbedaan regional. Label makanan mencerminkan "gastronationalisme," menjaga makanan sebagai bagian dari warisan nasional. Ini menghasilkan perbedaan antara sampanye dan anggur berbusa biasa. Namun, kebanggaan pada makanan juga memperlihatkan kompleksitas hubungan antara makanan, nasionalisme, keaslian, dan globalisasi, Hal ini sejalan dengan muatan buku Jakarta A Dining History yang ditulis oleh Kevindra Soemantri bahwa peradaban Jakarta mengikuti perkembangan penduduknya, kegiatannya, kepentingannya, dan Budaya Pop serta Pasca-budaya pop yang berkembang, makanan dan bangunan senantiasa mengumpulkan pecahan ingatan dari generasi ke generasi lewat dokumentasi dan memori gastronomi para penikmatnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H