Kamis. 14 Maret 2024 saya tergabung pada komunitas Temu Sejarah, Komunitas penggemar buku sejarah di Indonesia
yang sedang aktif melakukan diskusi buku sejarah setiap kamis malam via daring. Selaku seorang gastronomist terpantik menanyakan apakah ada yang sepeminatan untuk membahas buku sejarah pangan, budaya. atau gastronomi ? teman-teman komunitaspun menyambut dengan aktif bahwa sejarah makanan, pangan, hidangan, menu, bahkan pabrik makanan menjadi sesuatu yang terlewatkan namun seru dibahas karena elemen "pangan, makanan, menu" adalah hal yang tidak asing dan intensitas menikmatinya hampir sering bahkan inilah kebutuhan primer yang selalu bertransformasi dengan zaman.Â
Ada satu buku menarik yang kutemui dari rak toko buku yang dari sampul bukunya cukup menarik untuk dimiliki, buku ini ditulis oleh seorang kolumnis makanan yaitu Kevindra Soemantri yang judulnya : Jakarta A Dining History dan buku inilah yang dibahas dalam temu sejarah ini, berikut tayangan diskusinya jika ingin menyimak yang didokumentasikan pada kanal Youtube member Temu Sejarah : Tiwi Kasavela.Â
Sebelumnya Komunitas Temu Sejarah memberikan informasi tentang diskusi buku ini pada akun instagramnya bahwa akan ada bahasan sejarah makanan dan bangunan yang dimoderatori oleh : Bulan, hal yang patut disyukuri adalah jenis diskusi ini adalah gratis dan terbuka untuk umum atau siapapun, dan disediakan berbagai tautan jika ingin bergabung bagi para pecinta buku sejarah dan yang memiliki ketertarikan pada sejarah. Secara personal bergabung pada komunitas sejarah dan membahas berbagai bukunya seperti implementasi nyata bahwa sebagai manusia tetap diingatkan kembali dan mengambil pelajaran berharga dari masa lalu.Â
Sinopsis Buku Jakarta A Dining HistoryÂ
Apa yang terbayang dari bangunan tua di Jakarta selain bangunan arsip, museum, perkantoran, dan lapangan ? pernahkan membayangkan selintas tentang bangunan tua namun sebagai tempat makan ? restoran ? kafe ? atau hotel tenpat berkumpulnya sosialita ? buku ini membahas bangunan-bangunan tersebut, hidangan dan kebudayaan yang berkembang per zamannya dimulai dari Jakarta (Batavia) Baru Adab ke-19 diawali dari keberadaan bangunan megah pusat gaya hidup Hindia Belanda, adanya klub sosial hingga pengaruh masakan Perancis yang erat kaitannya dengan Hotel Des Indes.Â
Kawasan Gongdangdia, Menteng, dan Wilayah Sekitarnya, mengingat lokasi ini maka ada bangunan klasik yang sampai saat ini digunakan sebagai galeri seni dan restoran yaitu Bataviasche Kunstkring yang sekarang dikenal dengan Tugu Kuntskring Palais Jakarta, tempat yang sangat terlihat klasik dari gaya arsitekturnya, terkenang adanya aktivitas menikmati wine dan adanya restoran yang diberi nama Stam en Weijns. Tidak hanya Gondangdia, Cikini (Tjikini) pun menjadi memori arsitektur yang berkorelasi dengan perkembangannya seperti hadirnya Toko Es Krim (Tjan Njan) yang berada di Jalan Cikini hal ini karena sudah ada pemasok susu ke Batavia, alat pendingin dan pembuatan es. Jaka
Jakarta pun berubah seiring berkembangnya zaman dan banyaknya ekspatriat yang datang setelah kemerdekaan Republik Indonesia, buku ini membahas Jakarta tahun 1960-an yang ditandai dengan adanya Hotel Indonesia dan Lahirnya Kebayoran Baru. Pesta dan Buffet (parasmanan mewah sudah mulai disediakan dan tempat inilah seringkali dihadiri negarawan, tokoh nasional dan pusatnya pertemuan diplomasi negara), tak heran jika peradaban di Jakarta pada saat itu berkembang pesat dan hal ini berpengaruh pada hidangan yang disantap oleh orang-orangnya.Â
Sedangkan Kebayoran baru didesain oleh arsitek Mohammad Soesilo (perancang tata kota) yang juga muridnya Thomas Karsten (arsitek/insinyur asal Belanda yang berkontribusi besar terhadap arsitektur dan perencanaan perkotaan di Indonesia selama dijajah Belanda bahkan sempat mengajar di Institut Teknologi Bandung sebutan sekarang). Kebayoran Baru hadir sebagai penyangga metropolis dari Jakarta dengan banyaknya kawasan elit, perkantoran dan pusat perbelanjaan serta integrasi lengkap transportasi publik sehingga memudahkan masyarakat untuk bermobilisasi.Â