Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Implementasi Antropologi Pangan Terapan pada Gastro Forestry sebagai Upaya Kelestarian Multikomoditas

25 Maret 2024   12:44 Diperbarui: 26 Maret 2024   00:45 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekelumit pertanyaan tentang relasi manusia dengan ekologi selalu dihubungkan dengan peranannya di planet bumi sebagai homo sapiens atau homo ekonomikus ? 

Homo Sapiens 

Penelitian yang dilakukan Chris Stinger, seorang antropolog fisik dari Inggris yang meneliti evolusi manusia, bukunya yang berjudul The Origin and Evolution of Homo Sapiens yang menggambarkan manusia modern bersumber dari catatan arkeologis dan penemuan fosil menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan homo sapiens adalah padanan dari bahasa latin yaitu homo (manusia) dan sapiens (bijaksana), hingga kata homo sapiens digunakan untuk sebutan ilmiahnya manusia. 

Homo sapiens dalam catatan fosil dibatasi pada spesimen yang memiliki sejumlah fitur turunan dengan manusia modern yang masih hidup, asal-usul spesies Homo sapiens ditempatkan pada masa Pleistosen tengah akhir di Afrika.

Stinger berpendapat bahwa adanya kemungkinan besar, catatan fosil Afrika akan mencatat anggota-anggota awal dari garis keturunan Homo sapiens yang hanya menunjukkan beberapa fitur turunan dari anggota-anggota terakhir dari garis keturunan tersebut dari data morfologi dan jejak keturunan.

Zaman pun berkembang, penelusuran dan kajian antropologis tentang manusia dan ekologi kebanyakan mengarah pada ekosistem hutan dalam jejaknya, manusia yang tinggal di hutan secara jejak historis karena keterikatan budaya turun-temurun, pusat transaksi ekonomi dengan metode barter (tukar komoditas atau species) untuk melengkapi kebutuhan, jauh sebelum itu masyarakat peramu dan pemburu sudah memaksimalkan potensi hutan. 

Homo Economikus 

Pemahaman Antropologi Ekonomi (Marshall Sahlins) 

Sumber gambar: wikipedia.org
Sumber gambar: wikipedia.org

Homo economikus lekat hubungannya dengan kiprah manusia sebagai agen logis untuk mengembangkan keuntungan pribadi dalam suatu kegiatan atau keputusan ekonomi. Dari bahasa latin Homo (manusia) dan ekonomikus asal katanya adalah oeconomicus mengarah pada oikonomikos (manusia ekonomi). 

Konsep antropologi ekonomi memandang homo ekonomikus dipandang dari antropolog Marshall Sahlins sebagai hal-hal usang dalam ekonomi konvensional, sehingga pemikiran Sahlins dituangkan pada bukunya "Stone Age Economics" yang membahas ekonomi subsisten orang-orang Pra-Agrar (orang-orang yang hidup sebelum revolusi pertanian/kondisi masyarakat beralih pada kegiatan bertani dan pertanian dalam perubahan besar diawali dari penanaman dan pemeliharaan tanaman serta perkembangbiakan hewan sehingga mempengaruhi gaya hidup kelompok pemburu dan pengumpul menuju masyarakat agraris dan titik awal mulainya peradaban perkotaan dilanjutkan dengan perkembangan rantai pasok pangan dan komoditas lainnya). 

Sahlins meneliti berbagai masyarakat prasejarah dan tradisional di seluruh dunia untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki sistem ekonomi yang berbeda dengan konsep homo ekonomikus dalam ekonomi klasik, bahwa "kekayaan material yang mendefinisikan kecukupan" dimana masyarakat pra-agrar hidup dalam keseimbangan dengan lingkungan mereka, memperoleh cukup sumber daya untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa mengejar pertumbuhan ekonomi tak terbatas dengan cara pandang masyarakat terhadap konsep kekayaan, kerja, dan nilai, serta bagaimana hal ini berbeda dengan pandangan yang dianut oleh ekonomi konvensional. 

Sahlins mengingatkan tentang pemahaman manusia tentang sifat manusia dalam hubungannya dengan ekonomi, menunjukkan bahwa masyarakat primitif tidak selalu hidup dalam kemiskinan, tetapi seringkali hidup dalam keberlimpahan yang berbeda dari kekayaan material. Mengapa manusia modern mempermasalahkan kemudahan yang diaksesnya yang tidak membutuhkan nilai tukar atau uang dalam transaksi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup ? 

Pemahaman Homo Ekonomikus dalam Ilmu Ekonomi (Adam Smith-Bapak Ekonomi Dunia) 

Sumber gambar: wikipedia.org
Sumber gambar: wikipedia.org

Homo ekonomikus versi Adam Smith selaku pemikir ekonomi neo-klasik (pemikiran teoretis yang menekankan perilaku rasional individu/seseorang, persaingan market/pasar pada hal-hal penawaran dan permintaan yang mempengaruhi hal-hal efisien pada sumber daya dengan mempertimbangkan keuntungan semata sebagai tujuan utama). 

Sedangkan Adam Smith merupakan representasi filsuf dan ekonom dari Skotlandia yang berpengaruh pada ekonomi politik modern, The Wealth of Nation adalah karya pemikirannya yang dikenal sebagai panduan teori ekonomi pasar bebas yang menjungjung tinggi konsep-konsep keuntungan komparatif dengan memberdayakan konsep struktur organisasi (divisi kerja), konsepnya disederhanakan untuk menerjemahkan bahwa : 

Tindakan individu yang logis/rasional dapat memaksimalkan keuntungan pribadi dalam aktivitas ekonomi serta memotivasi keuntungan pribadi, masyarakat banyak untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih besar. 

Dalam perspektif antropologis yang melibatkan nilai-nilai budaya dan pengetahuan tradisional yang kaya tentang cara memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. 

Kondisi homo ekonomikus menggambarkan bahwa manusia hanya akan mengambil keuntungan ekonomi semata dari eksploitasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya (mulai dari berburu, mengumpulkan hasil hutan, berdagang, bertani pada pertanian subsisten), sehingga jika berlebihan terhadap eksploitasi akan adanya kerusakan lingkungan yang tidak akan lagi menyediakan kebutuhannya. 

Tantangan menjadi homo ekonomikus akan bersamaan dengan tantangan kepentingan ekonomi pada setiap individu atau kelompok, dimulai dari aktivitas urbanisasi (pindahnya dari desa ke kota untuk kehidupan yang lebih modern dan pusat berkegiatan adanya di kota), mulai hadir beragam industri sehingga bentuk eksploitasi sumber daya alam atau manusia sesuai dengan permintaan pasar, sudah tidak lagi secukupnya karena ada harga dan keuntungan yang menjadi tujuannya, hal ini mempengaruhi dinamika masyarakat, terlihat dan terasa apabila seseorang atau masyarakat sudah menjadi homo sapiens dan homo ekonomikus, maka hadirlah berbagai tuntutan kebutuhan: primer, sekunder serta tersier walau harus mengorbankan keberlanjutan kelestarian, ketika memikirkan keuntungan pribadi saja, maka sudah hilang konsep bagaimana bersinergi dengan ekologi bahkan lupa bagaimana relasi manusia dengan alam, seakan-akan kehidupan ini hanya milik manusia ekonomi saja. 

The Forest People (Orang-Orang Hutan) 

Hutan identik dengan tempat tinggalnya suku-suku pribumi, pribumi mengarah pada pedalaman, suku asli/penduduk asli yang sudah lama hidup, bermukim, serta memiliki keturunan untuk hidup di lokasi tersebut, hutan adalah pusat sentralistik suku-suku pribumi untuk membentuk identitas dan menjaga tradisi yang bisa dilakukan di ekosistem hutan mereka secara berkelompok. 

Tidak heran jika suku-suku tersebut tinggal berabad-abad, mengandalkan pengetahuan lokal tentang cara hidup dan berelasi bahkan bersinergi dengan ekosistem hutan untuk mendapatkan berbagai manfaat sumber daya alam bagi kehidupan manusia (komoditas potensial yang dibutuhkan suku tersebut seperti : sumber pangan, obat-obatan, bahan bangunan untuk tempat tinggal) sehingga suku-suku tersebut hidup dalam kondisi subsisten (cukup untuk bertahan hidup, hidup mandiri, memperoleh makanan, mencukupi kebutuhan dasar lainnya). 

Hal subsisten lainnya adalah suku-suku tersebut mampu mengisolasi kehidupan dari ancaman luar serta menjaga keseimbangan alam dan keanekaragaman hayati, hari ini hutan terancam secara kompleks dari beragam kepentingan, hal ini mengancam suku-suku didalamnya yang banyak tidak mendapatkan kesetaraan atas kehadiran yang telah lama menempati hutan. 

Antropolog (Inggris-Amerika) yaitu Colin Macmillan Turnbull (Populer dengan sebutan Colin Turnbull) dalam kajiannya berjudul The Forest People (tentang suku Mbuti di Zaire, sekarang Republik Demokratik Kongo tepatnya di hutan Uturi) menjelaskan secara etnografis (berbasis budaya) selama tiga tahun penelitiannya bahwa gaya hidup suku Mbuti yang tinggal di hutan dengan penduduk kota Afrika yang tinggal di dekatnya, serta mengevaluasi interaksi antara kedua kelompok tersebut. Suku Mbuti menghormati Turnbull dan berusaha menunjukkan kepadanya prospek budaya mereka sebagai kelompok masyarakat hingga terjadi perubahan drastis dalam gaya hidup mereka. 

Sumber gambar: wikipedia (Colin Turnbull) 
Sumber gambar: wikipedia (Colin Turnbull) 

Sumber gambar: amazon.com
Sumber gambar: amazon.com

Turnbull menggunakan pendekatan personal yang tidak hanya bertindak sebagai pengamat/peneliti, namun memposisikan diri sebagai teman suku Mbuti yang senantiasa belajar tentang adat istiadat mereka dan berbagi dalam kehidupan keseharian mereka, bahwa mereka mencintai dunia hutan dan memperlihatkan pada Turnbull selaku peneliti bahwa hutan bagi mereka berfungsi sebagai penyedia, pelindung, dan dewa yang memenuhi setiap kebutuhan mereka sebagai balasan atas kasih sayang dan kepercayaan mereka. 

Sekilas tentang suku Mbuti adalah suku yang menempati hutan Uturi yang sering mengadakan pesta berburu, gaya kehidupan dan tinggalnya adalah dengan perkemahan nomaden dan selalu mengadakan upacara tradisional seperti molimo, elima, dan upacara sunat nkumbi yang memaknai hidup bahwa hutan membuat mereka lebih dari sekadar eksistensi kehidupan, suku ini juga merasakan berbagai kompleksitas di dalam hutan, adanya masalah/konflik kelompok, tragedi kehidupan dengan dampak ekologis berdampak pada kegembiraan dan kesedihan suku tersebut. 

Sumber gambar: wikipedia.org
Sumber gambar: wikipedia.org

Ketika Hutan Merespon Manusia Akan Kebutuhannya (Sandang, Pangan, Papan)

Ini adalah cuplikan bedah buku How Forest Think Toward an Anthropology Beyond the Human karya Eduardo Kohn, seorang antropolog yang mengembangkan teori semiotika yaitu teori yang melibatkan :  simbol, tanda, dan pesan diinterpretasikan dalam hubungannya dengan alam. Ini melibatkan analisis simbol-simbol alami, tanda-tanda lingkungan, dan makna budaya yang terkait dengan persepsi dan pengalaman manusia terhadap hutan dan lingkungan alam. 

Sinopsis singkatnya buku ini mengingatkan keberadaan hutan yang tidak boleh dirusak bahkan dihilangkan, karena hutan akan menyangga kesalahan-kesalahan ekologis dari para pendatangnya/penghuninya seperti tindakan manusia dan species lain,itulah respon ekosistem hutan jika beberapa bagiannya sengaja dirusak, diganggu, dan dialih-fungsikan dengan dampak memberikan disfungsi alam sehingga berakibat merugikan. 

Maka, kebutuhan yang bisa dikembangkan dari hutan seperti : sandang,pangan,dan papan akan menjadi sedikit bahkan tidak ada sama sekali, karena kelestariannya diganggu sehingga terganggu. 

Di sinilah petaka relasi manusia dengan ekologi, dimana hutan akan menjadi ancaman, sehingga jika hutan membahayakan, akan difungsikan menjadi industri tanpa memandang fungsi ekologisnya. Hal ini membunuh semua sumber kehidupan perlahan yang saling memberikan manfaat. 


Sumber video : Youtube Center for Study Indonesian Food Anthropology 

Implementasi Antropologi Pangan Terapan Pada Gastro Forestry 

Gastro Forestry mengintegrasikan kegiatan pertanian dan kehutanan untuk produksi pangan dan pengobatan serta memanfaatkan tanaman berkhasiat kesehatan dalam desain agroforestri atau wanatani. Tujuannya adalah menciptakan sistem pertanian berkelanjutan dan menyediakan sumber daya pangan dan komoditas non-pangan yang beragam. 

Filosofi Gastro Forestry diambil dari Gastronomi dan Forestry adalah aktivitas hutan, dimana sumber pangan hutan selalu tersedia untuk dinikmati dan mudah dibudidayakan karena indukan yang dijadikan benih atau bibit komoditas pangan berlimpah, penyesuaian hanya pada proses pemindahan pada tempat untuk ditanam dan dibudidayakan. 

Antropologi Pangan sudah bukan bidang baru lagi, hal ini sudah menjadi konekivitas antara kegiatan berbudaya dan berbudidaya per ekosistem dengan sumber daya komoditas pangan tersedia, maka pikiran kritis antropologi tidak hanya dituangkan pada acara konferensi para pemikir saja, namun perlunya tindakan dan aksi nyata sebagai implementasi dari berbagai teori antropologi pangan yang dipahami, salah satunya adalah Gastro Forestry, inilah tindakan kritis untuk melawan krisis pangan, sengketa lahan, dan kerawanan pangan serta ada aktivitas sosial yang terus lestari, karena adanya gotong royong antara masyarakat tradisional, penduduk pedesaan, dan pemilik lahan-lahan kebun yang bekerja sama menjaga dan melestarikan hutan sebagai sumber kehidupan, inilah kolaborasi menjadi manusia yang bijak (Homo Sapiens) dan manusia yang mengeksploitasi manfaat keberadaan hutan untuk menciptakan kreativitas sosial dengan mengolahnya secara cukup (Homo Ekonomikus Beradab). 

Teori antropologi seperti Ekologi, Kesehatan, Ekonomi, dan Budaya mendukung pemahaman tentang interaksi manusia dengan lingkungan dan nilai-nilai budaya terkait penggunaan tanaman obat dan hutan dalam Gastro Forestry ini. Keholistikan pendekatan ini penting dalam memahami hubungan manusia dengan keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan manusia dan ekologi dari berbagai ekosistem yang tersedia. 

Sumber gambar: dokumentasi pribadi 
Sumber gambar: dokumentasi pribadi 

Kegiatan Gastro Forestry 

Pembenihan dari komoditas hutan selalu menghasilkan benih dan bibit terbaik karena diambil dari ekosistem yang mendukung dimulai dari kesehatan tanahnya yang berkualitas karena unsur hara, secara fisik tampilan lebih segar karena semua nutrisi tanaman menyerap kompos alami dan cukup air, sehingga jika dibudidayakan akan menghasilkan komoditas berkualitas dalam jumlah banyak. 

Sumber gambar: dokumentasi pribadi
Sumber gambar: dokumentasi pribadi

Pengumpulan tanah humus, memang untuk media tanam dalam pembenihan, domestikasi, dan kegiatan bercocok tanam memerlukan media yang berkualitas, tanah dari hutan yang mengalami endapan dedaunan yang menjadi kompos alami memberikan dampak yang cukup baik, buktinya tanah-tanah ini memberikan kualitas yang merangsang pertumbuhan benih jika ditebar mudah tumbuh, beda dengan media tanam buatan atau campuran yang mudah kering dan tidak merespon dengan cepat pada penanaman benih sehingga menghambat pertumbuhan tanaman pangan. 

Sumber gambar: dokumentasi pribadi
Sumber gambar: dokumentasi pribadi

Eksploitasi secukupnya pada multikomoditas hutan (pangan dan kayu) untuk kebutuhan konsumsi dan peralatan keseharian (misalnya kriya yang diukir menjadi kebutuhan alat masak, salah satunya talenan kayu yang hanya menggunakan kayu-kayu dari hutan, hal ini berdampak pada perkembangan ekonomi dan penghematan finansial, itulah fungsi keberadaan hutan yang dikelola bersama dengan baik dan legal, hasilnya bisa dinikmati selain untuk kebutuhan keseharian, bisa menjadi tempat rekreasi penghilang penat. 

Sumber gambar: dokumentasi pribadi
Sumber gambar: dokumentasi pribadi
Sumber gambar: dokumentasi pribadi 
Sumber gambar: dokumentasi pribadi 

Apakah tertarik melakukan Gastro Forestry ? Komoditas apa yang akan dibudidayakan ? Sudahkah merasakan nikmatnya bergotong royong kembali di era modern ini yang sudah mulai individualistik ? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun