Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngahuma: Pertanian Subsisten Orang Sunda di Dalam Hutan

14 Juli 2023   14:25 Diperbarui: 14 Juli 2023   14:33 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : dokumentasi pribadi

Ngahuma itu membakar hutan ! merusak lingkungan ! Praktik Tradisi Yang Merusak ! 

Tunggu dulu, ngahuma adalah teknik berladang secara tradisional yang memanfaatkan ekologi hutan untuk menanam padi pada umumnya yang dilakukan sesaat, yang dikatakan membakar hutan dan semak belukar adalah ketika hutannya atau lahannya menutupi akses untuk bercocok tanam, hal ini tidaklah besar, hanya sepetak dua petak karena subsiten (diperuntukan untuk kehidupannya sendiri dan tidak menjadi hal komersil, karena tujuannya adalah bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan harian, terlebih makanan pokok yang masih belum tergantikan secara populer yaitu nasi dari beras dan itu tanaman padi, dimana sering dikaitkan dengan Nyai Sri/Dewi Sri dalam berbagai mitologi atau nyai pohaci/dewi pohaci). Lokasi yang dimaksud seperti ini, sehingga perlu membuka lahan untuk keperluan bercocok tanam, dan hasil pembakaran semak belukarnya digunakan untuk keperluan pupuk.  

sumber gambar : dokumentasi pribadi
sumber gambar : dokumentasi pribadi

Hal ini bukanlah hal halusinasi, karena ini termasuk dengan legenda (Cerita kuno, mitos populer, warisan budaya, cerita heroik, cerita rakyat, mitologi) dimana cerita ini sebetulnya secara logis memberikan pesan-pesan bahwa jika sebutir nasi tidak habis atau nasi bersisa, maka nasinya menangis itu janganlah dianggap serius, masyarakat berbudaya cara kampanye sosial dan lingkungan atas fenomena permasalahan sosial  bukan dengan hasil akademis, tapi dari cerita-cerita turun temurun, kembali pada cerita nasi menangis jika tidak dihabiskan, itu menyampaikan bahwa berladang itu lama, jika nasi dibuang begitu saja, menuju waktu panen itu lama, sedangkan ketersediaan pangan terbatas. Intisarinya begitu, agar tidak menjadi sampah makanan yang mubadzir. Namun, ketika zaman semakin modern, hal seperti legenda, fabel (cerita hewan), folklor seakan dianggap bukan sastra lokal, padahal hal demikian memang imajinatif dimana ada pesan intrinsik dan ekstrinsik jika dikaji dari segi sastra dan budaya. Itu gunanya literasi (Kemahiran membaca, menulis, memahami teks, berpikir kritis, mengkomunikasikan ide melalui tulisan, pengetahuan budaya). 

Ngahuma

Ngahuma adalah metode berladang tradisional masyarakat Sunda terutama yang berkumin di perbukitan, kebun, bahkan hutan (sekarang banyak yang dikelola menjadi hutan sosial / sosial forestri oleh dinas setempat/instansi pemerintah). Langkah-langkah ngahuma meliputi persiapan lahan dengan membersihkan vegetasi (tumbuhan, pepohonan, gulma, atau tanaman yang tumbuh di suatu wilayah), penanaman bibit padi, jagung, ubi, dan sayuran, pemeliharaan melalui penyiraman dan pengendalian gulma, serta panen saat tanaman matang, serta ada tahapan pemindahan hasil ngahuma ke sawah yang akan diolah dan dibajak hingga panen. Ngahuma sifatnya sementara sampai benih padi siap dipindahkan, biasanya sawahnya ada di bawah dari permukaan lahan hutan. 

sumber gambar : dokumentasi pribadi
sumber gambar : dokumentasi pribadi

Namun, perlu diingat bahwa metode ini untuk beberapa ekologi bisa saja tidak efisien atau tidak akan berkelanjutan secara lingkungan. Karena jika diperuntukkan untuk kebutuhan industri dan komersial, maka hutan akan rusak karena lahan-lahan lain akan dialihfungsikan, maka dari itu sistem ngahuma ini hanya dilakukan petani yang sudah dipercaya menurut adat, tradisi, bahkan rekomendasi sesepuh, jadi tidak sembarangan, memang kekuatan tradisi dan budaya melekat, ibarat kata sesepuh tidak boleh, ya berarti tidak boleh, itulah kekuatan organisasi sosial yang masih mengutamakan orang-orang terdahulu yang memang sudah penuh dengan berbagai pengalaman, baik mengerti dampak ekologis atau dampak sosial. 

Pentingnya Keseimbangan Ekosistem 

Keseimbangan ekosistem bukanlah wacana saja, ketika sudah sampai praktik dan mendapatkan banyak manfaat, maka perlulah orang-orang kantoran yang hidup jauh dari ekosistem alam mengetahui bahwa efek kerusakan lingkungan memang merugikan banyak pihak bahkan mengganggu rantai pasok, memang tidak akan terlihat namun terasa, dan sumbangan kerusakan ekologis tidak pandang bulu, langsung mengarah pada ketidakberdayaan, misalnya untuk petani tradisional yang melestarikan alam dimana sumber perbelanjaan atau swalayannya mereka adalah hutan, maka hutan tidak boleh dialihfungsikan secara brutal untuk kepentingan yang tidak darurat atau malah menjadi kepentingan pariwisata yang menghilangkan fungsi krusial yang sudah turun-temurun terjaga bahkan lestari. 

Begitu juga dengan masyarakat yang tidak melakukan aktivitas pertanian, lonjakan harga dan ketersendatan rantai pasok selain terhambat akan dimainkan pasar, karena permintaannya jelas untuk kebutuhan. 

George David Tilman seorang pakar ekologi dari Amerika dalam berbagai penelitian biodiversitasnya menyimpulkan bagaimana ekosistem alami dan dikelola dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik itu untuk makanan, energi, atau layanan ekosistem. Penelitiannya yang paling terkenal membahas Extinction Debt. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun