Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Mengingat Kembali Protokol Kyoto, "Kompos Mengurangi Emisi CO2"

11 Juli 2023   08:52 Diperbarui: 11 Juli 2023   15:23 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.instagram.com/indonesianfoodanthropology/

Beberapa berita dari ibu kota dan kota-kota besar lainnya tentang lingkungan sangat ironis sekali terdengar dan disimak dari pedesaan, beritanya tidak jauh dari pembahasan kualitas udara, polusi, penyakit pernafasan kronis, sampah yang menumpuk, polusi suara, hingga kemacetan yang tidak pernah terurai, berita paling wajar yang mengabarkan lalu lintas adalah jalanan ramai lancar, namun hindari jalur di jam-jam kerja. 

Artinya kan memang sepadat dan sekompleks itu masalah lingkungan dirasakan, namun hal ini tidak pernah disiasati secara serius yang masif bahkan menjadikannya kondusif. 

Memang ada beberapa komunitas, instansi, gerakan sosial yang beraksi pada pelestarian lingkungan, namun jika perusak dan faktor kerusakan lingkungan jauh lebih tinggi, hal ini sudah harus dikembalikan kepada tingkat individu dan bersama secara berturut-turut. 

Berbicara tentang kerusakan lingkungan karena emisi karbondioksida, polusi, dan efek rumah kaca. Maka, sekilas mengingat kembali hasil pertemuan global dalam suatu kerangka pemikiran para pengambil kebijakan yaitu Protokol Kyoto. 

Protokol Kyoto 

Protokol Kyoto adalah perjanjian internasional yang ditandatangani pada 1997 untuk mengatasi perubahan iklim. Protokol ini bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca dengan target pengurangan bagi negara-negara maju. 

Protokol ini juga mencakup mekanisme penyesuaian untuk membantu negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim. 

Meskipun penting, beberapa negara besar tidak meratifikasi (proses resmi menyetujui dan mengesahkan suatu perjanjian internasional) protokol ini, dan tantangan dalam mencapai target emisi terjadi. 

Perpanjangan periode komitmen kedua dilakukan hingga 2020. Dan bagaimana hasilnya? Rasanya bisa dirasakan bersama ya akhir-akhir ini bahwa suhu selalu naik, lebih sering gerah, pohon-pohon sudah ditebang karena kepentingan pemukiman namun tidak ada lahan gantinya untuk ditanami, maka ekologi tidaklah seimbang dengan sirkulasi yang terjadi sebagai timbal balik. 

Intisari isi dari Protokol Kyoto secara global merangkum: 

  • Target pengurangan emisi gas rumah kaca bagi negara Annex I sebesar 5,2% di bawah tingkat tahun dasar 1990 pada periode 2008-2012. 
  • Melakukan 3 mekanisme fleksibilitas: penerapan bersama, pembangunan bersih, dan perdagangan emisi (bermaksud untuk negara Annex I memenuhi target emisi melalui target proyek di negara lain/perdagangan kredit emisi). 
  • Protokol Kyoto tidak mengharuskan negara-negara berkembang mengurangi emisi secara langsung, namun berpartisipasi dalam mekanisme Pembangunan Bersih untuk proyek pengurangan emisi dan pembangunan berkelanjutan.
  • Protokol Kyoto memiliki mekanisme penyesuaian untuk membantu negara-negara rentan terhadap perubahan iklim menghadapi dampak negatif melalui transfer teknologi, bantuan keuangan, dan peningkatan kapasitas.
  • Protokol Kyoto menerapkan sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi yang ketat untuk memastikan negara-negara Annex I memenuhi komitmen pengurangan emisi serta negara tersebut harus melaporkan berkala tentang emisi gas rumah kaca dan tindakan pengurangan harus disampaikan.
  • Pada akhirnya negara-negara ini pun tidak bisa menanggulangi perubahan iklim secara komprehensif. Jadi? Kelanjutannya ada pada Paris Agreement yang melibatkan seluruh negara. 

Negara-negara Annex I: (negara-negara inilah menurut Protokol Kyoto yang sering mengeluarkan emisi). 

Sedangkan, efek rumah kaca sendiri adalah peningkatan suhu di permukaan bumi akibat penumpukan gas-gas rumah kaca di atmosfer. Gas-gas tersebut, seperti CO2 (karbon dioksida) dan CH4 (metana), menahan panas dari sinar matahari di atmosfer, menyebabkan pemanasan global. Efek ini dapat mengakibatkan perubahan iklim, peningkatan suhu global, pencairan es, naiknya permukaan air laut, dan gangguan lingkungan yang serius.

Peningkatan kadar CO2 dan CH4 di atmosfer disebabkan oleh aktivitas manusia seperti: pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, pertanian, limbah, dan industri merupakan penyebab utama. 

Penggunaan energi fosil menghasilkan emisi CO2, sedangkan deforestasi mengurangi kemampuan penyerapan karbon oleh pohon. Aktivitas pertanian, terutama peternakan, menghasilkan emisi CH4 melalui pencernaan hewan dan pengelolaan limbah. 

Industri dan pengolahan limbah juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Penyebab ini mempengaruhi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. 

Kompos dan Protokol Kyoto 

Sumber gambar: https://www.instagram.com/indonesianfoodanthropology/
Sumber gambar: https://www.instagram.com/indonesianfoodanthropology/

Jika membaca buku Compost (The Natural way to make food for your garden) yang ditulis oleh seorang ekologis Ken Thomson, Mengompos memiliki banyak manfaat yang dapat melindungi lingkungan dari kerusakan limbah dan eksploitasi gambut (lapisan bahan organik yang terbentuk dari tumbuhan yang terurai di lingkungan yang lembab dan tidak teroksigenasi). 

Daur ulang limbah rumah tangga dapat mengurangi penggunaan lahan dan meminimalkan limbah yang dibakar atau dibuang ke tempat pembuangan sampah. Para tukang kebun bisa membuat kompos dengan limbah mereka sendiri, menghemat uang, dan menggantikan penggunaan gambut dalam produk tanah dan pupuk. 

Dengan lebih banyak orang yang terlibat dalam mengompos, kita dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, menciptakan keberlanjutan, dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam yang terbatas.

Limbah organik dan pembakaran limbah menyebabkan polusi dan efek rumah kaca. Kompos mengurangi emisi CO2 dengan mengembalikan materi organik ke tanah. Penggunaan kompos dapat membantu upaya pengurangan emisi CO2 dan mempromosikan keberlanjutan dengan memanfaatkan limbah organik.

Kompos membutuhkan bahan yang tepat, air, kehangatan, dan udara. Mikroorganisme kompos membutuhkan karbohidrat, nitrogen, fosfor, dan memahami dasar-dasar kompos penting untuk mempercepat penguraian bahan organik.

Proses pengomposan membutuhkan udara yang cukup. Udara lebih penting daripada makanan dalam tumpukan kompos. Pengadukan tumpukan kompos memperkenalkan udara, tetapi kebutuhan ini dapat menjadi tantangan. Memastikan udara cukup penting dalam pengomposan yang efektif.

Pengomposan klasik melibatkan pengumpulan limbah nitrogen dan karbon dalam tumpukan kompos. Tumpukan harus memiliki ukuran minimal satu meter kubik dan perlu diberi air jika terasa kering. Proses ini perlu diulang tiga kali, tetapi pendekatan klasik seringkali rumit.

Limbah kayu memiliki tantangan tersendiri dalam pengomposan. Sedangkan, kompos realis dalam konteks pengomposan seperti mengolah limbah kayu, limbah dari taman, limbah rumah tangga, dan rumput yang dipotong untuk membuat kompos secara realistis.

Penggunaan kompos yang lebih luas oleh petani dan tukang kebun dapat memberikan kontribusi penting terhadap upaya pengurangan emisi CO2 sesuai Protokol Kyoto. 

Hal ini tentunya sudah terbiasa dilakukan oleh para peladang, petani, tukang kebun bahkan individu di pedesaan yang menggunakan sisa-sisa bahan baku untuk memberikan nutrisi bagi tanah agar tidak membeli pupuk sintesis dan menggemburkan tanah secara alami serta mengurangi sampah basah dari sisa-sisa pangan rumah tangga, mengapa orang desa bisa mudah dengan mengompos? 

Karena makanan yang dikonsumsi cenderung alami dengan pengolahan sederhana, sehingga minim sampah pangan bahkan minim kemasan. 

Sampah rumah tangga untuk campuran kompos| Sumber gambar: Dokumentasi pribadi 
Sampah rumah tangga untuk campuran kompos| Sumber gambar: Dokumentasi pribadi 

Sudah pernah membuat kompos? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun