sumber gambar : instagram kelas isolasi
Jum'at,14 April 2023 lalu saya mencoba memberanikan diri untuk mengikuti instagram live yang diselenggarakan oleh kelas isolasi dan mengisi khotbah dengan judul Epistemologi Filsafat Pangan di Era Antroposen - Kapitalosen. Video lengkap kegiatan ini bisa disimak ulang pada tautan berikut : Filtum Lailatul Qodar.
Apa itu Epistemologi ?Â
Pengertian dasarnya saja sudah berbeda ya dengan para filsuf atau para pakar filsafat karena memang epistemologi adalah bagian atau cabang dari ilmu filsafat pada dasarnya, namun ketika sudah sampai pada ranah publik epistemologi itu harus sengaja disebutkan karena bagian filsafat banyak seperti : logika, filsafat ilmu pengetahuan, metafisika, filsafat alam, ketuhanan, manusia, etika/filsafat moral, bahkan estetika dan termasuk epistemologi ini. Sederhananya menurut kbbi filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya. Sedangkan Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang membahas dasar-dasar maupun batas pengetahuan.Â
Nah, karena latar belakang antropologi itu selalu mengutamakan kedalaman dan hal-hal spesifik maka untuk membahas filsafat pangan yang dimulai dari epistemologi lebih mudah ditafsirkan dan sengaja disebutkan dalam judul ini untuk menegaskan bahasan filsafat pangan ini akan dibahas dengan epistemologi.Â
Epistemologi Filsafat pangan, meneropong kapasitas kodrati yang memiliki fungsi yang mengarahkan pada pencarian pengetahuan/ kebenaran hal ini karena human instrumennya selalu diawali dari sudut pandang manusia dan elemen yang mengelilinya walaupun hal ini tidak mutlak, epistemologi ketika pelacakan historis sampai pada masa yunani kuno maka sudah mulai terlihat tokohnya seperti Sokrates, Plato, Aristoteles yang memang mengakumulasikan pengetahuan indrawi dan rasional.Â
Inilah titik temu untuk menjabarkan lebih jauh dalam eksplorasi filsafat pangan hingga tidak terbatas, selalu dinamis, bahkan konsep sustainability pada sistem pangan bisa dikaji sampai mentok dari bagian pengetahuan indrawi dan rasional walaupun keduanya masih relatif, terbatas, berubah-ubah dari respon panca indera, itu tidak salah karena pada akhirnya setiap manusia punya perspektif akan cita rasa dan kebiasaan konsumsi dasar entah hasil mengunyah, mengecap, membaui, meraba, atau hanya sekedar melihat. Sedangkan pengetahuan rasional pada filsafat pangan mengacu pada hal-hal lebih objektif walaupun masih abstrak, menyeluruh dan bisa saja itu sudah bisa disebut hakiki (tergantung sejauh mana pengukurannya dalam kebaruan informasi terakhir).
Professor Justinus Sudarminta seorang guru besar ilmu filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menulis dalam bukunya yang berjudul Epistemologi : Pengantar Dasar Filsafat Pengetahuan, menyatakan ada 8 faktor epistemologi diantaranya adalah 8 faktor yaitu : Pengalaman, Ingatan, Kesaksian, Minat dan Rasa Ingin Tahu, Pikiran dan Penalaran, Bahasa, Logika, dan Kebutuhan Hidup Manusia.Â
Menerjemahkan 8 Faktor Epistemologi Pada Filsafat PanganÂ
- Pengalaman, setiap orang selalu tidak pernah terlewat dalam kegiatan dan kebutuhan makan. Jadi, seseorang akan punya rekam jejak konsumsi, kalau rajin biasanya punya food record/food diary (catatan apa saya yang dimakan dan perencanaan kebutuhan makanan baik untuk keseharian, mingguan atau bulanan), hal ini untuk membuktikan kepada ekologi sosialnya bahwa seseorang tersebut sudah mengonsumsi sesuatu seperti : sayuran buah, daging atau apalah itu yang mendefinisikan identitas rasa per individu.Â
- Ingatan, Adanya nostalgic taste atau nostalgic food (makanan atau rasa yang pernah dirasakan oleh seseorang pada setiap fase kehidupannya), hal ini runit dari bayi lahir , balita, anak-anak, remaja, dewasa, lansia bahkan dalam ritual pangan ada makanan selepas kematian dan dapat diingat.
- Kesaksian, kalau ini lebih condong pada panca indera untuk berinteraksi dengan pangan selama hidup, kemampuan dalam melihat warna-warna pangan, membaui berbagai aroma makanan, meraba tekstur untuk membedakan pangan dan makanan yang layak dikonsumsi, mendengar petikan-petikan buah atau sayuran yang dipotong, dan mencicipi berbagai rasa.
- Minat dan Rasa ingin tahu, hal ini rupanya sering dilakukan oleh setiap menusia, bahkan ada rasa baru dari snack, kopi atau camilan favorit aja sering penasaran dan ingin mencobanya. Hal ini wajar karena ada minat pada makanan atau minuman kesukaan, dan kecerdasan manusia akan selalu berkembang dengan hal-hal baru. Maka, dari itu manusia akan selalu mencari dan mencoba hal baru hanya karena penasaran. Hal ini tentu bukan konsumtif karena tidak melibatkan nafsu berlebihan ingin memiliki, batasannya hanya ingin mengetahui saja.
- Pikiran dan Penalaran, hal ini bisa terlihat dari kecerdasan setiap orang dalam memilah pangan, akan beda seseorang yang sudah teredukasi tentang informasi dan pengetahuan pangan dibandingkan dengan seseorang yang tidak teredukasi baik, hal ini tentu bisa dirasakan. Yang teredukasi bisa menempatkan pemilihan bahan pangan dan sudah paham mana yang bermanfaat mana yang hanya untuk kepuasan belaka, ada kebijaksanaan dalam pemilihan pangan dan makanan yang akan dikonsumsi, sedangkan yang tidak teredukasi cenderung akan sembarang saja memilih dan memang tujuannya hanya : kenyang, validasi sosial media dan suatu kelompok, sedangkan tubuhnya tidak membutuhkan makanan tersebut. Hal ini tentu harus dilakukan berbagai promosi kesehatan konsumsi individu agar makanan lebih bermanfaat baik untuk kesehatan, lingkungan, dan kenikmatan daya kecap. Â
- Bahasa, selalu ada nattive language untuk pangan, contoh cau dalam bahasa sunda itu pisang, tapi pisang dalam bahasa jawa itu gedang, sedangkan gedang dalam bahasa sunda itu pepaya. Maka dari itu, bahasa Indonesia saja tidak cukup untuk menyamakan persepsi dan deskripsi suatu pangan, terlebih jika pangannya berasal dari komunitas petani dan produksi lokal yang orang-orangnya tidak mengerti berbahasa nasional (contoh bahasa nasional atau bahasa kebangsaan adalah Bahasa Indonesia). Hal ini perlu disediakan penutur asli dan penerjemah untuk menyebut berbagai komoditas pangan dan makanan yang serupa.
- Logika, tentu saja setiap kalkulasi pangan dan proses bertani selalu ada perhitunganya baik pengelolaan secara mandiri, individu sampai organisasi tingkat negara dan global yang terus mengkaji dampak dalam beberapa sudut pandang yang kompleks.
- Kebutuhan hidup manusia, ini masih berhubungan dengan keilmuan psikologi, jika mengingat hierarki kebutuhan maslow dalam piramidanya menyebutkan bahwa makan dan makanan itu kebutuhan dasar sebelum melakukan kegiatan lainnya dan memenuhi kebutuhan lainnya.  Â
Kapan Era Antroposen -Kapitalosen ?
Hal ini masih menjadi perdebatan dari berbagai ahli dan referensi, bahkan ketika dilacak secara periodisasi tidak ada data pasti untuk menyebutkan tahun berapa, bahkan abad berapa juga masih prediksi belum sampai proyeksi. Sebagai ilustrasi kepopuleran era ini sama seperti anak kelahiran 90-an menghadapi tahun 2000 disebut tahun millenium, kemudian tahun 2020 disebut angkatan pandemi dan lain sebagainya, nah antroposen dan kapitalosen pun demikian adanya. Â
Karena ketidakpastian inilah, antroposen digambarkan sebagai periode geologi yang disebabkan oleh fenomena alam tetapi menitikberatkan pada aktivitas manusia dengan lingkungannya yang menyebabkan bumi ini berubah bahkan rusak. Hal ini menjelaskan bahwa manusia bukan pelestari malah dikategorikan sebagai perusak, bahkan saking menjadi perdebatan, era antroposen ini disebut era kapitalosen juga, yang dikarenakan adanya dampak sistem kapitalisme dan megakapitalisme yang berhubungan dengan kegiatan sosial, ekonomi, politik,industri yang menyebabkan manusia lebih dari konsumtif dan salah satunya terindikasi karena manusia lapar, lapar disini bisa dimulai dari kebutuhan dasar yaitu makan, manusia makan makanan, makanan dari komoditas pangan tadi. Sedangkan makanan itu perlu ditumbuhkan, dibuat, diolah, dikonsumsi, dan dieksresi menjadi tinja pada akhirnya dan hal ini apakah sudah tertib pengaturannya dari hulu ke hilir ?Â
Jika, ya. Tidak ada kerusakan ekologis. Era ini bisa saja saat ini karena banyaknya dinamika perubahan yang terjadi dan tidak bisa dihindari. Namun, masih ada harapan untuk membantu sinergitas ekologi dengan cara hal-hal kecil seperti : makanlah secukupnya dan benar-benar memilih pangan sesuai kebutuhan tubuh bukan kebutuhan kamera atau sosial media, mulailah mempertimbangkan belanja dari tempat terdekat yang tidak harus mati-matian atau macet-macetan menuju tempat belanja hanya untuk mendapatkan buah segar, bisa mulai dari akses produsen atau tempat penjualan terdekat, dan bersyukur untuk rezeki pada setiap isi piring yang dinikmati, karena masih diberi kesempatan merasakan beraneka rasa adalah kenikmatan tersendiri. Terakhir, mulailah memikirkan hibah ekologi,setidaknya memberikan umpan balik untuk keberlanjutan masa depan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H